Kantong plastik pertama kali dikenal di Indonesia, setidaknya pada awal 1960-an. Saya melihat sepotong iklan mempromosikan menggunakan kantong plastik di Pikiran Rakjat masa itu. Namun hingga 1970-an awal seingat saya penggunaan kantong plastik untuk berbelanja belum populer. Sewaktu kecil saya kerap menemani ibu berbelaja di pasar tradisional membawa keranjang dan pulang membawa banyak bungkusan kertas atau daun.Â
Baru ketika pusat berbelanjaan modern muncul awal 1980-an, seperti Aldiron Plaza di Blok M, Jakarta kantong plastik mulai marak dan dianggap praktis dan menjadi solusi melindungi barang dari terpaan air hujan dan debu hingga lebih mudah dibawa.
Apa yang tadinya menjadi solusi menjadi bencana ketika diketahui sampah plastik membawa dampak bagi lingkungan karena sampah yang tidak bisa diurai. Jumlahnya juga makin membesar dengan presentase yang mengkhawatirkan dibanding sampah organik
Kota bandung, misalnya. Setiap hari warga Kota Bandung menghasilkan 1.600 ton sampah. Sekitar30 persen sampah non organic, di antaranya sekitar 100 hingga 150 ton merupakan sampah plastik, sampah yang tidak mudah terurai di tanah. Pemerintah kota Bandung sedang mempersiapkan Peraturan Wali Kota terkait dengan larangan pengunaan bahan plastik di pusat perbelanjaan.
Peraturan tidak akan mudah berjalan mengingat sulit mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur menganggap kantong plastik solusi yang paling baik untuk membawa barang belanjaan dan paling mudah dibersihkan.
Namun saya kira penggunaan kantong plastik bisa lebih mudah digantikan dengan kantong berbahan olahan singkong atau jagung yang sedang digagas Pemkot Bandung.
Yang lebih sulit ialah penggunaan plastik untuk kebutuhan lain, seperti botol plastik untuk produk air mineral, misalnya praktis untuk dibawa dalam perjalanan dibanding dengan produk dari botol kaca. Kalau pecah tidak akan membawa risiko melukai penggunanya.
Solusi untuk itu bisa saja menggunakan botol air minum yang kerap harus diisi. Tetapi ketika habis, bagaimana mengisinya? Tetap saja membeli air mineral di warung, minimarket atau pasar swalayan.
Yang saya alami membawa botol air minum sediri solusi untuk perjalanan jangka pendek, misalnya seputar Jakarta, yang bisa mendapatkan akses air minum masak. Tidak untuk perjalanan antar kota yang panjang.
Tak mengherankan ketika saya hiking di kawasan Tahura Bandung atau Jayagiri, Lembang botol plastik air mineral atau minuman lain adalah sampah yang menjengkelkan.
Mengapa mereka tidak membawa saja botol plastik yang kosong dan membuangnya di tempat sampah yang tersedia? Berapa beratnya setelah kosong dan bisa dilipat?