Sultan  juga mengirim surat pada 1675 kepada Raja Inggris Charles II. Utusan Banten bernama Ngabehi juga dikirim ke London pada 1682.
Hasan Muarif Ambary dan Jajat Burhanudin,dengan bukunya Menemukan peradaban: jejak arkeologis dan historis Islam Indonesia, 1998 juga mengatakan, pengusaha Muslim Banten mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman orang Tionghoa dan Eropa. Bahkan ada resimen non muslim ikut mengawal Sultan. Vihara bagi agama Buddha dengan nama Vihara Avalokitesvara berdiri sejak 1652. Letaknya hanya sekitar 800 meter dari Masjid Agung Banten. Kedua bangunan ini masih ada hingga sekarang
Sementara orang Asia yang berdiam berasal dari Tionghoa, Tamil, Moor, Persia, Benggala, Indochina, hingga suku-suku lain di Indonesia, dari Bali, Bugis, Mandar, Makassar, Melayu, yang datang berlindung ke Banten setelah negerinya diduduki Belanda. Dengan demikian Banten  menjadi kota kosmpolitan di Nusantara masa itu.
Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi aset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai 'mesin uang Kesultanan' selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.
Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa. Berapa literatur juga menyebutkan etnik Tionghoa juga berjasa mengajarkan masyarakat Banten untuk bercocok tanam.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng membangun kanal-kanal Ciujung- Cidurian dengan penerapan Kincir Angin ( model di Amsterdam ) yang dipesan dari Batavia. Proyek ini untuk perluasan area pertanian ini dimulai tahun1671 hingga 1680-an. Sultan Ageng dengan pribadinya yang egaliter dan moralitasnya yang kuat mempercayakan kepada 2 orang Tionghoa ( Kiyai Ngabehi Kaytsu dan Kiyai Ngabehi Cakradana
Pada 1678 jumlah penduduk Banten masa itu sekitar 150 ribu jiwa termasuk wanita, anak-anak dan jompo, serta pemukim-pemukim berbagai bangsa.
Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan kesultanan Banten. Kecuali dengan  VOC yang bercokol di Batavia, Banten harmonis dengan tetangganya. Masyarakat Baduy di pedalaman selatan tidak diganggu.
Semangat keterbukaan, multikulturalisme, sikap toleransi, sistem zonasi pemukiman, dan sistem transportasi air yang dibangun oleh pemerintahan kesultanan Banten pada masa lalu adalah bentuk dari filosofi "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis". Filosofi itu dapat diartikan "Membangun Kota dan Benteng dari bata dan batu karang".
Akhir dari Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Abdul Fathi punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota adalah putranya yang tertua, Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci, Makkah, guna menunaikan ibadah haji.