Banten, suatu hari dalam 1672. Permusuhan antara Kesultanan Banten dengan VOC di Batavia membuat para pedagang bangsa Barat di luar Barat juga menjadi tidak nyaman. Di  satu sisi  mereka juga bersaing dengan bangsa Belanda, di sisi lain mereka harus menjaga kepentingan orang-orangnya tidak saja hanya berdagang, tetapi juga secara sosial, misalnya untuk beribadat.
Jean Baptiste Guilhen melangkah dengan berlahan dengan rendah hati menghadap pengusaha Banten waktu itu Sultan Ageng Tirtyasa.  Pelaut Prancis ini sadar betul sebagai Ketua Loji yang mengepalai sekitar seratus orang Prancis, apa yang ia lakukan akan berakibat  buruk.  Guilhen diutus masyarakatnya meminta Sultan Ageng untuk mengizinkan seorang pastor untuk kebutuhan rohani orang-orang Prancis di sana.Â
Di dalam pikirannya hal yang sulit didapat mengingat dia berada di wilayah sebuah Kesultanan Islam yang masyarakatnya sangat taat. Namun ia mendengar bahwa Sultan Ageng megizinkan orang Tionghoa membangun tempat peribadatannya, yaitu sebuah kelenteng di dalam kota dengan biarawannya.
Dia tahu hubungan orang Tionghoa dengan orang Banten sudah terjalin semenjak Kesultanan ini berdiri. Bahkan arsitek Masjid Banten adalah orang Tionghoa. Sultan Ageng pernah mempunyai seorang syahbandar keturunan Tionghoa bernama Kaytsu unt uk memulihkan perdagangan internasional
Ternyata, bukan saja Sultan Ageng mengizinkan orang-orang Prancis mendatangkan pastor, tetapi malah mengizinkan orang Prancis membangun tempat peribadatan orang Katolik di loji orang Prancis. Bahkan kalau perlu ruma kediaman Sultan bisa menjadi tempat persinggahan pastor yang didatangkan. Tidak ada masalah bagi pemerintah Banten dan Masyarakatnya.
Cerita di atas bukan dari sumber Banten, tetapi dari sumber Barat. Diungkapkan dalam buku karya Claude Guillot, Banten: Sejarah Peradaban Abad V-XVIII. Disebutkan terdapat lima bangsa Eropa yang mendiami Banten, yaitu Belanda, Inggris, Portugis, Prancis dan Denmark.
Cerita tersebut merupakan bukti bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, lahir pada 1631,naik tahta pada umur 20 tahun, yaitu 10 Maret 1651, menggantikan kakeknya Sultan Abdul Mafakhir. Namanya sebenarnya Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Tirtayasa diperoleh ketika dia memindahkan keratin ke dusun Tirtayasa.
Di masa pemerintahannya, Sultan Ageng Titayasa mengembangkan proyek besar kanalisasi kali Ciujung dan penataan tata ruang pemukiman dan pertanian di daerah Pontang dan Tanara kedua daerah ini berada di timur teluk Banten.
Percaya pada Pluralisme
Titik Pudjiastuti dalam bukunya Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten menyebutkan Sultan Abdul Fath (nama Sultan Ageng Tirtayasa) mengirim surat kepada Raja Denmark  Christian V pada 1670-an. Hal ini juga ditulis Voorhoeve dalam artikelnya berjudul "Two Malay Letters in The National Archives of Denmark" yang menyebutkan Sultan dan Syahbandar juga mengirim surat pada 1670-an kepada Raja Frederic III dari Denmark. Sultan menyebutnya sebagai Raja Kristen dalam suratnya.
Surat itu menyebutkan orang Denmark boleh menetap dan berdagang di Banten dan diberikan lahan, pengiriman 176 bahara lada melalui Kapten Adeler, hingga permintaan pembelian meriam, bedil dan peluru untuk pertahanan Banten, hingga tindakan curang yang dilakukan dua orang pedagang Denmark.