"Dudun, Dudun, Dudun!" Panggilan sayup di tengah malam membuat karyawan pabrik bernama Dudun (Alex Abbad) terjaga di asramanya dengan wajah yang ketakutan.  Panggilan sayup dan penampakan sosok yang diyakininya sebagai Suzzanna (Luna Maya) yang telah menjadi sundel bolong, diikuti dengan penyamaran  hantu itu menjadi wanita pemijat membuat hidup Dudun penuh ketakutan.  Dia menjadi korban pertama pembalasan sundel bolong.
Dudun punya alasan untuk gentar terhadap Sundel Bolong itu. Â Pasalnya dia dan tiga kawannya, Umar (Teuku Rifnu Wikana), Jonal (Verdi Solaiman) dan Gino (Kiki Narendra) merampok rumah atasannya Satria (Herjunot) yang sedang berpergian ke Jepang. Â Dalam perampokan itu Suzzanna terbunuh ketika sedang mengandung. Dalam folkfore, perempuan yang mengandung mati menjadi setan Sundel Bolong.
Sekalipun tewas, arwah sundel bolong masih bisa berinteraksi dengan ketiga asisten rumah tangganya bahkan dengan suaminya. Â Sampai mereka sendiri mengetahui apa yang terjadi. Arwah Suzzanna pun terus menuntut balas atas perbuatan para pembunuhnya.Â
Kehadiran dukun, pengajian yang bisa membuat sundel bolong gentar, bumbu komedi dari para asisten rumah tangga yang ketakutan hingga plot cerita cerita pembalasan sundel bolongnya  yang mengingatkan pada film yang dibintangi legenda horor Indonesia 1970-an hingga 1980-an Suzzanna Martha Fredricha van Osch menjadi bahan film ini, tentunya dengan rasa baru.
Film yang disutradarai oleh Rocky Soraya dan Anggi Umbara ini memang dipersembahkan untuk legenda ratu horor itu.  Sekaligus juga menandakan kembalinya back school horor atau horor klasik (tentunya sekali lagi dengan rasa baru) seperti pendahulunya Pengabdi Setan besutan Joko Anwar dan Asih yang disutradarai Awi Suryadi.  Saya duga akan muncul lagi remake yang lain.
Kelebihannya, departemen artistik saya beri nilai sempurna.  Bukan saja Luna Maya bisa disulap menjadi Suzzanna , tetapi juga settingnya pada akhir 1980-an cukup cermat, telepon analog jadul, mobil, gaya pakaian,pertunjukan layar tancap, televisj analog  juga sinematografinya nyaris seperti film 1980-an yang direstorasi. Â
Hanya saja para tokoh antagonisnya digambarkan tidak jahat-jahat benar. Mereka punya motif sosial soal kurangnya gaji, serta kehidupan buruh yang standar hidupnya masih miris yang menjadi isu pada masa Orde Baru. Â Beda dengan film klasik sundel bolong.Â
Dari departemen kasting, saya tidak terlalu terkesan dengan Luna Maya yang lebih tertolong karena make up dan cara bertuturnya mirip Suzzanna. Â Tetapi malah terkesan dengan para pemeran antagonisnya termasuk Alex Abbad yang seperti bunglon, mampu memainkan karakter berbeda di setiap filmnya. Â Juga Rifnu Wikana, pemeran Umar cara dia mencium pakaian dalam Suzzanna pas menggambar sosok yang terobsesi pada istri atasannya. Â Begitu juga pemeran dukun Turu (Norman R Akyuwen) manusiawi.
Kekurangannya sebagai film horor tidak lagi mencekam, setidaknya  saya yang sudaha terbiasa menonton horor Hollywood dan Asia kontemporer.  Saya merasa aman kok menonton film ini bahkan ikut tergelak bersama penonton, karena tahu sundel bolong tidak akan mengganggu orang tak bersalah. Jadi saya menikmati film ini hanya sebagai pameran artistik dari para sutradara, juru kamer, juru rias dan tata suara yang luar biasa.  Bagus untuk referensi penggemar film horor.
Irvan Sjafari
   Â