Tidak mudah untuk menjabarkan sebuah falsafah dalam sebuah film. Â Sekalipun film bukan saja mempunyai fungsi hiburan, tetapi juga fungsi edukasi untuk masyarakat. Memang ada yang datang menonton film ke bioskop karena kebutuhan "intelektual", Â tetapi lebih banyak yang datang ke bioskop hanya ingin hiburan, bahkan untuk melepas suntuk, stress.Â
Film Lima yang diproduksi oleh  Lola Amaria maunya menjabarkan amalan lima sila dari Pancasila dalam sebuah cerita untuk menjadi contoh yang bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat.  Lola tampaknya berkeyakinan bahwa keluarga seharusnya jadi tempat bersemainya Pancasila.
Opening scene film ini dimulai dengan Adi mencat kuku (kuteks) ibunya Maryam di hari terakhirnya di rumah sakit. Â Kemudian terungkap bahwa Maryam, seorang muslim menikah dengan pria yang beragama nasrani dan mempunyai tiga anak. Â Di antara tiga anak itu, hanya Fara (Prisia Nasution) yang muslim.
Ketika Maryam meninggal, muncul persoalan soal pemakamannya, termasuk apakah boleh Aryo yang beragama nasrani memasukan jenazah ibunya ke liang lahat? Â Persoalan itu selesai dan waktu pemakaman selain ada doa dalam agama Islam, Â ada juga nyanyian rohani nasrani dari keluarga almarhum suami Maryam. Â
Bagian ini dimaksudkan bahwa sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dijabarkan, termasuk juga soal toleransi yang jadi isu besar saat ini. Â Terkait dalam soal ini ialah penafsiran yang disebut sebagai tolerasi seperti apa menjadi perdebatan.Â
Ada yang menfasirkan toleransi ialah sampai mengucapkan selamat hari raya agama lain, menyanyi lagu rohani agama lain sebagai hal yang biasa, menghadiri acara ibadah penganut agama lain, tetapi ada yang membatasi toleransi sebatas tidak menganggu umat beragama lain beribadah, serta selebihnya "agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku."
Kembali  ke film Lima, apakah bisa ditangkap oleh penonton kalau kategori yang ingin dicapai produser untuk 13 tahun ke atas? Saya kira cukup berat ditangkap untuk anak-anak usia, kecuali didampingi orangtua mereka. Prosesi pemakaman seperti  yang digambarkan dalam film Lima tidak pernah saya lihat dan jarang diekspos.  Lola Amaria dan kawan-kawannya mencoba bersikap adil dengan memasukan lagu rohani Islam dalam prosesi pemandian jenazah Maryam.
Cerita bergulir ke kehidupan ketiga anak Maryam dan Bik Ijah, pekerja rumah tangga mereka. Â Fara diceritakan mantan atlet renang, kini menjadi pelatih renang. Â Klubnya mendapat jatah satu slot untuk 100 meter gaya bebas putra untuk Asian Games.Â
Ada atlet yang bernama Kevin yang sangat disiplin dan mempunyai prestasi catatan yang bagus, dibanding Andre yang sering telat dan catatan waktunya di bawah Kevin. Â Fara lebih memilih Kevin, tetapi karena ia keturunan Tionghoa, pemilik klub tidak setuju dan menginginkan wajah pribumi yang jadi wakil Indonesia. Terungkap juga masalah politik dalam hal ini, karena Andre diceritakan putra Kalimantan Timur dan didukung oleh politisi setempat.
Lola memberikan solusi yang "win-win solution" untuk masalah ini. Tampaknya Lima ingin menjabarkan sila "Persatuan Indonesia" untuk  cerita Kevin dan Andre ini.  Digambarkan hubungan Kevin dan Andre sangat cair dan tidak setegang hubungan antar Fara dan pemilik klub. Apakah Lola ingin menafsirkan bahwa persoalan pribumi dan pribumi adalah persoalan elite dan bukan di grass-root?  Â
Masalah pribumi dan non pribumi menjadi isu besar di negeri ini, Â namun saya kira dalam masalah olahraga tidak sepelik dalam persoalan ekonomi dan politik. Bukankah dalam tim sepak bola ada naturalisasi dan itu juga terjadi di negara lain? Â Selama ini banyak keturunan Tionghoa di cabang bulutangkis tidak menjadi masalah.