Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Sinema Anak, Belajar dari "Petualangan Sherina"

31 Maret 2018   16:38 Diperbarui: 2 April 2018   11:39 3743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Sherina pada 1999, sewaktu syuting

Produsernya sama: Mira Lesmana. Laskar Pelangi bukan saja sarat nilai tentang anak-anak miskin yang harus berjuang mendapatkan pendidikan. Tiba-tiba saja Ibu Muslimah guru di SD Muhamadyah yang menjadi latar film itu populer hingga ke tingkat nasional. Laskar Pelangi menjadi legenda, seperti Petualangan Sherina.

Petualangan Sherina tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu yang lalu drama musikalnya dihidupkan kembali dengan pelaku yang lain. Drama musikal itu digelar di Taman Ismail Marzuki.   Itu artinya cerita dan lagu-lagunya tidak lekang di makan zaman.

Lagu-lagunya "Dia Pikir", lirik dan nadanya masih tergiang di telinga saja, Dia pikir, dia yang paling hebat, merasa paling jago dan paling dahsyat.  Lagunya enak dan koreografernya dalam filmnya juga ciamik.

Petualangan Sherina menjadi "pop art", "pop culture",  termasuk apa yang melekat di dalam film itu seperti permen berwarna-warni Piwi, jam kuning merek Baby-G, hingga mengenalkan kembali tempat peneropongan bintang Bosscha.  Begitu juga potongan rambut Saddam. Apa yang dilakukan Sherina dan Saddam dicontoh anak Indonesia pada masa itu.  

Apa yang bisa diambil dari Petualangan Sherina? Sineas harus cerdik mengamati perubahan zaman, tren yang diinginkan anak-anak sekarang apa. Mereka suka jajan apa, gaya pakaian seperti apa. Pop art bukan hanya milik remaja, tetapi juga anak-anak, karena adanya televisi dan sekarang gawai. Dari pada anak-anak mencontoh yang tidak sesuai dengan usia mereka,  sineas film dengan inovasinya bisa membentuk pop culture atau pop art yang positif dan sesuai dengan usia anak dan kepribadian Indonesia.

Yang tidak mudah membuat cerita dan menyelipkan nilai edukasi tanpa menggurui. Sampai saat ini tidak ada terobosan lain. Film anak Indonesia memang miskin inovasi.

Irvan Syafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun