Sampah sudah lama menjadi salah satu masalah yang sulit dipecahkan Pemerintah Kota Bandung. Â Belakangan para pemangku kepentingan di kawasan Bandung Raya melemparkan gagasan menggunakan teknologi insinerasi (pembakaran sampah). Â Teknologi ini akan digunakan di bakal TPA Legok Nangka, Kabupaten Bandung.
Alat untuk melakukan pembakaran itu disebut insinerator. Alat pembakar sampah ini dioperasikan dengan menggunakan teknologi pembakaran pada suhu tertentu, sehingga sampah terbakar habis. Beberapa tahun lalu peneliti LIPI Anto Tri Sugianto mengungkapkan, Insinerator dalam sakla besar dengan pembakaran sampah di atas 500 ton per hari, menghasilkan panas dan bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik, yang bisa didistribusikan ke masyarakat (1).
Penggunaan teknologi ini didukung Perpres No 18/2018 tentang Percepetan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah pada 2 November 2016. Perpres itu antara lain menyebutkan,  teknologi yang diarahkan untuk digunakan adalah insinerator, gasifikasi dan pyrolysis. Tujuannya untuk mengatasi dua masalah sekaligus, solusi penanganan sampah, sekaligus  pasokan sumber energi baru (2).
Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan pada 5 Maret 2018 menyatakan penolakannya. Â Menurut dia, teknologi insinerator sama sekali tidak sesuai dengan semangat memulai konsep nol sampah. Para pemimpin daerah di Bandung harus berani menyatakan sikap seperti itu.
Dadan bilang, Perpres No 18/2016 telah dibatalkan setelah digugat Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah pada Februari 2017. Sementara Dirut PD Kebersihan Kota Bandung Deni Nurdyana menyatakan  Legok Nangka jauh dari masyarakat.Â
Ia juga sudah melakukan kunjungan ke Kawasaki Jepang beberapa tahun lalu untuk mengetahui bagaimana penggunaan teknologi ini. "Teknologi Insinerator sekarang jauh lebih bagus," ucap dia (3).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat Apung Hadiat Purwoko mengakui masukan pakar lingkungan bahwa insinerator memberikan dampak buruk karena residu udaranya menjadi bahan pertimbangan.
Dia juga memahami insenerator membutuhkan smapah 1000 ton per hari, sementara Kabupaten Bandung Barat hanya memproduksi 145 ton sampah per hari. Itu sebabnya diperlukan TPA secara regional (4). Â Kalau digabungkan dengan kota Bandung yang memproduksi sampah 1500 ton per hari (5), maka jumlah itu pasti terpenuhi (5).
Loh siapa yang benar dalam hal ini? Â Bukankah sebetulnya insinerator kalau dipikirkan sekilas merupakan terobosan dalam penanganan sampah di Kota Bandung? Lalau saya mengajak ngobrol seorang kawan saya yang pernah mendesain Insinerator, Primabudi.
Alumni Teknik Kimia ITB itu mengatakan yang kurang benar adalah penempatan di TPA. Walaupun bisa saja semua sampah domestik direduksi di inserator, tetapi tetap tidak cocok. "Ada konsep yang lebih cocok dibandingkan insinerator di TPA," ujar dia.
Hingga saat ini kata dia, penanganan sampah hanya dengan sistem buang dan timbun. Â Dari sumbernya sampah diangkut menggunakan gerobak ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS). Dari TPS sampah diangkut menggunakan truk ke TPA. Â Akibatnya sampah menumpuk di TPA.