Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1960, Mahasiswa, Plonco dan Studi Terpimpin

14 Desember 2017   21:50 Diperbarui: 14 Desember 2017   22:21 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekurangan minyak tanah, kekurangan gula, kekurangan buku dan diktat, kekurangan ruangan sekolah, kekurangan dosen, ketegangan politik bagi mahasiswa seharusnja bukankah merupakan bahan untuk menjatakan rasa tidak puas, tetapi seharusnja bahan untuk dipelajari, ditelaah dan diselesaikan, Pangdam Siliwangi Kolonel Ibrahim Adjie di depan 3000 mahasiswa Unpad di Aula Dipati Ukur, 12 Oktober 1960 (Pikiran Rakjat, 14 Oktober 1960).

Pada Agustus 1960 terjadi pergantian pimpinan Panglima Siliwangi dari tangan Kosasih ke tangan Kolonel Ibrahim Adjie. Pergantian ini penting karena Ibrahim Adjie perwira di Siliwangi menyokong kebijakan Soekarno dan berbeda dengan perwira sebelumnya.

Pernyataan ini menarik pada satu sisi kesulitan hidup makan dirasakan rakyat kebanyakan. Harga Beras melambung hingga Rp10 per kilogram pada pertengahan September 1960. Padahal awal Agustus 1960 harga beras masih bertahan Rp9 dan naik Rp9,50 per kilogramnya. Mungkin soal kekurangan yang diungkapkan Ibrahin Adjie dirasakan mahasiswa, namun mereka lebih banyak diam.

Di sisi lain hingga akhir 1950-an tidak terlalu banyak mahasiswa yang tertarik pada dunia politik.  Setidaknya itu yang saya temukan. Apa yang disebut sebagai "Buku, Pesta dan Cinta" adalah gaya hidup mahasiswa.  Dewan Mahasiswa baru dibentuk di UI pada 1955 dengan Emil Salim sebagai ketua pertama. Sementara di Bandung baru pada 1960.

Apa yang digambarkan dalam "Tiga Dara"-nya Usmar Ismail, seperti itulah gambaran dunia anak di perkotaan, Jakarta dan Bandung setidaknya.  Dalam tulisan saya di Kompasiana sebelumnya beberapa kali mengupas soal dansa dan gaya hidup anak muda di Bandung. Sementara Soekarno inginnya mahasiswa ikut dengan dinamika revolusi Demokrasi Terpimpinnya.      

Pada pertengahan Februari ,Soekarno membuka resmi Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Bandung. Kongres  yang  berlangsung sejak 15 hingga 21 Februari 1960 ini dihadiri oleh peserta dari 21 daerah swatantra dan 55 organisasi pemuda,  pelajar dan mahasiswa. Total 1365 peserta hadir.

Kongres ini bersamaan dengan Pekan Olahraga Kesenian Indonesia  yang diikuti 2973 peserta. Beberapa cabang olahraga yang dipertandingkan seperti sepak bola, voli putra, ping pong dan bulutangkis (Pikiran Rakjat, 15 dan 16 Februari 1960).   

Tetapi tampaknya perhatian mahasiswa lebih pada hal yang kedua.  Hanya sebagian mahasiswa dan umumnya bergabung dengan organisasi ekstra mahasiswa yang tertarik pada dunia politik.   

Pemberitaan Kongres Pemuda sendiri tenggelam oleh kedatangan orang nomor satu Uni Soviet Nikita Kurchov ke Indonesia dan di antaranya singgah ke Kota Bandung pada 19 Februari 1960.  Namun pada akhir kongres secara aklamasi dibentuk Front Pemuda dan Dewan Pemuda (Pikiran Rakjat, 22 Februari 1960). Jelas kongres diarahkan untuk mendukung kebijakan politik Soekarno.

Prof Dr. Moestopo dalam ceramahnya di Gedung Unpad pada 21 Mei 1960 meminta mahasiswa Unpad tidak meniru gaya hidup mahasiswa di Amerika Serikat dan Eropa. Gaya hidup para mahasiswa dianggap tidak cocok dengan budaya Indonesia karena hidup bebas (Pikiran Rakjat, 23 Mei 1960).   

Pernyataan itu indikasi bahwa akar rumput kalangan mahasiswa lebih peduli pada musik dan dansa. Berbagai lomba Serampang Dua Belas memang bisa mengalihkan perhatian kepada budaya Timur itu, tetapi artinya mereka lebih peduli pada "Buku, Pesta dan Cinta".

Sekalipun gaya hidup  bebas di sini apakah sudah sampai menyangkut moralitas, misalnya tinggal bersama atau hubungan seks laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan, gaya hidup liberal? Atau hanya sampai pulang malam?

Tetapi setelah pernyataan Ibrahim Adjie ada upaya melibatkan mahasiswa untuk mendukung kebijakan Soekarno.  Tidak jelas apakah memang inisiatif mahasiswa atau inisatif pihak petinggi kampus  pada  Minggu pagi, 16 Oktober 1960 sekitar 3000 mahasiswa Unpad tingkat Muda/i  dan tingkat Madya/wati mengelar Pawai Karnaval Usdek. 

Pawai Karnaval yang mencerminkan 10 fakultas di lingkungan Unpad ini mendapat sambutan meriah dari penduduk Bandung terutama sepanjang Jalan Braga dan Asia Afrika.  Di antara pawai ada sebuah jeep yang memuat seorang sarjana mendidik mahasiswanya dengan bertuliskan USDEK.

Dalam Pawai Karnaval jang didahului oleh Bendera Dewan Mahasiswa Unpad jang kemudian didampingi bendera Senat2 Mahasiswa ke 10 Fakultas lingkungan Unpad terdapat sindiran2 seperti Harga Buku Hukum jang mestinja Rp200,- digambarkan berharga Rp3000-. Pembesar-pembesar dengan mobil bagus dengan 2 wanita di sampingnja, tamatan SMA djadi tukang betjak dan tukang loak, keadaan arsip negara jang awut-awutan. Hal2 diataslah dikemukakan dengan maksud agar mahasiswa mengetahui Hal2 diataslah jang mendjadi tantangan jang harus diatasi. (Pikiran Rakjat, 17 Oktober 1960).

Dalam pawai karnaval itu mahasiswa dari Fakultas Djurnalistik dan Publitistik menyerukan mahasiswa adalah calon "dokter masyarakat" yang mendiagnosa masalah yang ada. Sementara mahasiswa sejarah FKIP menggambarkan pertumbuhan manusia dan peradabannya.

Pada September-Oktober merupakan masa dimulai tahun ajaran baru.  Pada masa perkenalan itu sebanyak 1585 mahasiswa muda/mudi  dan mahasiswa madya/wati dari fakultas-fakultas di lingkungan Unpad melakukan kerja bakti menghaluskan Jalan Cibadak yang di Kota Bandung dikenal sebagai jalan yang paling buruk. 

Kerja bakti ini dipimpin oleh Biro Teknik Kotapraja Bandung pejabat Departemen Pengerahan Tenaga, anggota BPH Hussein bin Narwawi dan pimpinan mahasiswa Fakultas Unpad. Yang berhasil direhabilitasi panjangnya 2 kilometer dari simpang empat Jalan Astanaanyar sampai Simpang Empat Jalan Cibadak/ Jalan Raya Barat.  

Menjadi tanda tanya saya hanya itu kepedulian mahasiswa yang saya temukan terhadap situasi dan politik hingga akhir 1960. Nyaris tidak ada gerakan yang berarti.

Perploncoan dan Studi Terpimpin

Kecuali dua isu yang lebih dapat perhatian dari grass root. Yang pertama adalah perploncoan.  

Masa perkenalan mahasiswa Unpad mendapatkan protes dari 14 organisasi ekstra di Bandung, sepeti CGMI, CSB, GMKI, GMRI, GMS, HMB, HMI, PMB, Perhimi, PMKRI, DAMAS, GMB dan Imaba.  Pada 14 Oktober 1960, organisasi-organisasi ekstra ini mengkritik masa perkenalan yang mengarah ke arah perpoloncoan.  Mereka menuntut perploncoan dihapus dan dalam jangka waktu 1 x24 jam protes direalisir.

Menurut organisasi ekstra ini perploncoan menyimpang dari tujuan semula, yakni mengenal kehidupan almamater. Perploncoan memperkosa kebebasan mahasiswa dalam menuntut ilmu.

Dewan Mahasiswa Unpad menanggapi protes itu dengan balik menuding bahwa 8 dari 14  organisasi ekstra itu juga menggunakan cara perploncoan untuk menerima anggota baru. Masa perkenalan Unpad dimaksudkan untuk memupuk jiwa korps untuk kepentingan studi.  Seperti seorang "Kost-jongen" yang harus menyesuaikan diri dengan tata cara hidup rumah tangga itu.

Pernyataan organisasi ekstra itu cukup menjadi tanda tanya karena kontradiksi dengan aksi mereka sebelumnya. Akhir Agustus 1960 Delegasi mahasiswa Ekstra Universitas di Kota Bandung bersama petugas Kodam menemui Ketua DPRD Kota Bandung Teddy Kardiman. Mereka memprotes larangan terhadap perploncoan bukan saja di kampus, tetapi juga untuk organisasi ekstra mahasiswa. 

Teddy Kardiman tokoh muda PKI yang namanya mencuat setelah kiprahnya di Ikatan Pelajar Pemuda Indonesia membuat perpecahan organisasi itu.    

Para mahasiswa menuding politisi mencampuri urusan internal mahasiswa. Perploncoan yang dilakukan di kalangan internal organisasi ekstra kurikuler dianggap sudah terlalu jauh.  Pada 1960 pelarangan perploncoan di Kotapraja Bandung tampaknya merupakan agenda dari PPPK dan tepatnya oleh Pemerintah Soekarno dengan dalih tidak cocok dengan kepribadian Indonesia.

Teddy Kadirman menyebut dia tidak bermaksud mencampuri urusan internal mahasiswa, tetapi diharapkan agar USDEK dan Manipol menjadi ladasan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. "Hendaknya mahasiswa memberikan teladan dan adil," ujar Teddy Kadirman.

Melihat begitu gencarnya aksi organisasi ekstrakurikuler Dewan Mahasiswa Unpad menyatkan organsiasi mahasiswa Indonesia harus disederhanakan. Dualisme ekstra dan intra universitas tidak menjamin terciptanya keutuhan potensi mahasiswa.

Polemik perploncoan menimbulkan pertanyaan apakah hanya soal moralitas atau rebutan mempegaruhi mahasiswa baru?

Isu lainnya yang lebih menarik perhatian ialah apa yang disebut sebagai Studi Terpimpin yang mulai diperkenalkan di dunia kampus. Intinya kalau dulu masa studi mahasiswa begitu longgar, padasitem Studi Terpimpin tidak demikian. Yang tidak lulus ujian setelah diberi kesempatan, diminta mengundurkan diri (lebih tepat dikeluarkan). Kalau tidak lulus screening, maka mahasiswa istilah sekarang drop out.

Isu itu kencang karena itu artinya akan ada pengeluaran mahasiswa secara masal.  Badan Pertimbangan Senat Mahasiswa Departemen Ilmu Teknik iTB  di satu sisi membenarkan maksud dari kebijakan Dewan Perancang Nasional itu ialah menghasilkan sarjana teknik dalam waktu singkat dan jumlah besar, serta mencegah ketidakpastian mahasiswa setiap angkatan.

Sebanyak 13 mahasiswa bagian mesin sulit melanjutkan studinya sudah membuat kegaduhan. Senat Mahasiswa ITB dalam pernyataan ditandatangani Soegianto meminta rumusan dan prinsip yang lebih jelas.  

Dicontohkan mahasiswa tingkat rangkap III/IV telah lulus 90 persen dari mata kuliah yang ditempuh dan pada tingkat IV telah lulus 50% mata kuliah lolos dari screening. Pertanyaannya kalau itu diterapkan rakyat akan terkejut kehilangan 100 mahasiswa yang harus meninggalkan ITB.  

Menanggapi ada September 1960, Presiden ITB  Ir. O. Kosasih (ir. Raden Otong Kosasih) melontarkan bahwa dalam pelasanaan Studi Terpimpin ada tempat untuk retooling dan screening. Mahasiswa yang tidak sanggup lagi menyelesaikan studinya dalam waktu yang wajr akan dikenakan kebijakan ini.  

Mahasiswa tingkat I-III diberikan kesempatan tiga kali ikut ujian dan menyelesaikan sarjana muda dalam empat tahun, sebelum melanjutkan sarjana .  Pada awal Desember 1960 sebanyak  178 mahasiswa ITB dikeluarkan memperhatikan faktor di luar angka ujian.

Menurut Profesor Soegiono mahasiswa dikeluarkan kemungkinan karena dua hal, tidka berbakat atau bodoh. Kalau tidka berbakat, mungkin tidak berbakat di bidang teknik, tetapi bisa ternama di bidnag hukum atau kedokteran.  Dia menyebut bagian elektro yang dapat lulus dalam 3 tahun (sarjana muda) hanya 70 persen dari jumlah mahasiswa.

Hal yang serupa menimpa Unpad. Pada Juli 1960  Sidang Lengkap panitia Fakultas Ekonomi Unpad meminta sebanyak 50 mahasiswa ekonomi Unpad  diminta meninggalkan fakultas.  Mereka tidak memenuhi aturan yang ditetapkan pimpinan fakultas.

Masa perkenalan ini untuk melaksanakan Studi Terpimpin, karena masa perkenalan pada disiplin yang keras. Dalam Studi Terpimpin hanya mahasiswa yang disiplin saja yang berhasil. Mahasiswa yang masuk Unpad sukarela dan tidak dipaksa. Mereka yang diterima harus merasa beruntung, karena banyak yang tidak diterima .

Peminat menjadi mahasiswa di Kota Bandung saja begitu besar, Dari 10 ribu tamatan SMA A, B maupun C hanya 30% yang bisa tertampung di ITB dan Unpad.  Mochtar Kusumatamadja dari Fakultas Hukum Unpad menyebut FH Unpad hanya meneirma maksimal 300 mahasiswa. Itu menghadapi persoalan karena jumlah mahasiswa Tingkat I sebelumnya yang belum lulus juga masih banyak .

Namun kegaduhan itu senyap pada akhir 1960. Untuk sementara mahasiswa di Bandung lebih realistis dan mematuhi kebijakan.  Terkecuali kalangan mahasiwa yang ikut organisasi ekstra, minat terhadap gerakan politik masih  belum menarik minat yang luas.

Isu politik seperti pembubaran Masyumi dan PSI hanya menarik minat kalangan tertentu saja.  Begitu juga soal  konflik lain  yang mulai terbangun, masih belum saya temukan ditanggapi kalangan mahasiswa.

Dalam Agustus 1960,  di daerah tanda-tanda permusuhan antara Angkatan Darat dan PKI menghiasi headline Pikiran Rakjat, seperti keputusan Peperda Kalsel melarang kegiatan PKI serta organisasi di belakangnya seperti Sobsi, Pemuda Rakyat, Gerwani dan Lekra. Hal serupa terjadi di Sulsel ketika Kolonel M. Yusuf mengeluarkan surat keputusan melarang aktivitas PKI.  Yang menjadi alasan ialah PKI disebut melakukan gerakan adu domba yang bisa memanaskan situasi.  

Tidak saya temukan tanggapan mahasiswa. Namun bukan berarti di kalangan mahasiswa Bandung tidak ada persoalan. Dengan banyaknya perguruan tinggi di Bandung dan bertambahnya jumlah mahasiswa adalah anugerah, karena muncul lapisan "neo priyayi" atau  "neo menak" dalam jumlah besar dan ideal dibanding rasio  populasi sebuah kota seperti Bandung.   

Banyaknya  jumlah mahasiswa di satu sisi menimbulkan gagasan kreatif, tetapi di sisi lain bisa melahirkan persoalan yang justru sebaliknya.   Beberapa rangkaian peristiwa setelah 1960- yang akan saya bahas satu demi satu- pada tulisan mendatang membuktikan hal itu.

Irvan Sjafari

Sumber Primer:

Pikiran Rakjat,  5 Juli 1960, 25 Agustus 1960,  26 Agustus 1960, 31 Agustus 1960,   8 September 1960, 15 September 1960, 27 September 1960,  14 Oktober 1960,  15 Oktober 1960, 17 Oktober 1960, 19 November 1960,  5 Desember 1960

Buku:

Sulastomo, Hari  Yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru: Sebuah Memoar, Jakarta: Kompas, Gramedia, 2008

Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun