Di situ juga ada Harum dan Anis. Menjelang Mahgrib.
“Salat kak Alif?” ajak Anis.
Dia ikut menumpang kendaraan semut kembali ke Blok I. Lepidoptera dan Giri mengikuti dari atas. Alif bersyukur mereka taat. Harum dan Zahra serta si kembar akhirnya ikut juga dengan kendaraan semut.
****
Malam. Alif bercakap-cakap dengan Anis di teras Masjid Blok I sehabis Salat Mahgrib.
“Beberapa mereka pernah ke luar Kak Alif. Kalau tidak mengapa saya dan Harum bisa ke mari? Bagaimana kau dibawa masuk? Kalau kebal penyakit, mereka kebal. Makanan di sini mempertinggi daya tahan. Apa kamu tidak menyadari bahwa kamu tidak pernah sakit? Pak Nanang dan kawan-kawan sudah menghitung semua. Bahkan kalau manusia di luar sana musnah!”
Alif tertengun. Dia sama sekali tidak memperhitungkan hal itu.
“Pertanyaan Kak Alif terakhir kelak akan terjawab. Cuma logika saja. Mereka setidaknya generasi pertama sudah biasa hidup tanpa orangtua. Lalu anak-anak mereka diasuh bersama. Jadi semua warga di sini adalah keluarganya. Bukankah Kak Alif sendiri pernah menulis di majalah kampus soal masyarakat bisa menjadi keluarga besar? Bukankah Kak Alif menulis bahwa beberapa suku asli di Indonesia juga tinggal bersama? Bukankah sebuah desa dulunya sebuah keluarga? Setidaknya dalam tanda kutip. Tuh, Harum pengagum kamu mengklippingnya. Lalu dia menganalisanya dan membuat pandangannya sendiri.”
“Harum pernah berbicara apakah laki-laki itu harus menjadi imam atau dua subyek merdeka?” Alif khawatir.
“Ha...ha..ha..ha..” Anis tergelak. “Kamu tebak sendiri. Saya tidak peduli saya jadi imam atau kami adalah dua subyek merdeka. Yang penting kalau saya membutuhkannya dia hadir dan ketika dia membutuhkan saya, saya pun hadir…”
“Kalau semua perempuan di sini bersikap demikian. Mengapa Zahra menganggap saya imamnya? Tetapi kalau saya imamnya, dia tidak selalu menurut, kecuali kalau saya mengeras.”