Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (39-40)

20 Mei 2017   09:48 Diperbarui: 20 Mei 2017   10:11 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segmen Tiga

Lebah Terbang Beriring, Semuta berjalan Berbaris Menunggu Waktu

TIGA PULUH SEMBILAN

Waktu dan Tempat  Tidak Diketahui

Alif Muharram mengenakan busana kuning-oranye-cokelat,  dengan tutup kepala oranye.  Busana yang dikenakan Zahra kepada dirinya.   Di atas panggung yang sudah diberi matras terasa empuk di kakinya untuk mencegah tubuh terluka untuk  spesial untuk martial art yang menjadi pesta pembuka dua purnama.

Acara dua purnama ini adalah  hiburan untuk warga koloni yang kebanyakan remaja dan anak-anak.  Kalau pun dewasa masih menyimpan anak-anak mereka untuk bermain.  Benar-benar  sebuah masyarakat rumah yatim piatu raksasa, dewasa tanpa orangtua sejati. Para orangtua ada di blok lain mengawasi dari jauh. Mereka ikut campur kalau terjadi perselisihan dan belum pernah terjadi.

Bagian badan Alif diberikan body protector yang dipakaikan  seorang serdadu semut. Alif tahu artinya itu  full body conctact. Zahra cekikan, seperti hiburan bagi dirinya.  Biar Kak Alif tidak mau melirik cewek lain apalagi cewek semut, selalu itu katanya.  Oh jadi itu rupanya.  Alif merasa dibully.    Zahra menggendong Lepi yang sama riangnya dengan ibunya melihat ayahnya bakal dijatuhkan Evan Sektian. 

Di pinggir panggung berbentuk lingkaran itu Bobby mengenakan busana cokelat tua –kuning gemetar. Dia tak menyangka melakukan tugas  dari Zahra membuat Evan Sektian tertarik untuk “fight” dengan dia. Selena isterinya duduk di samping Zahra memberi semangat.

Seperti halnya Alif, Bobby kesal karena  dia merasakan bahwa dirinya bakal babak belur oleh cewek semut itu. Sementara bagi istrinya sebagai hiburan bagi dirinya.   Salena menggendong bayi laki-laki umur tiga tahun  serupa dia.  Namanya Bybbo. Soalnya Selena tidak mau pusing: nama Bobby saja yang dibalik.

Evan Sektian cewek semut itu muncul.  Cewek jangkung itu  mengenakan busana merah hitam kebesarannya dengan body protector merah hitam juga.  Matanya menatap tajam kepada Alif, tanpa senyum.  Dia mengepal tangannya  dan kemudian telunjuknya  mengarah kepada  Alif . 

Menakutkan karena dingin. Tetapi kemudian patronnya, Harum muncul, perempuan itu menatap Alif kemudian berbisik pada Evan Sektian agak lama. Instruksi? Apakah Harum kumat lagi pada “Anak Jakarta”-nya.

Wajah Evan kemudian berubah. Senyumnya terulas. "Oh, begitu?" Alif mendengar samar-samar.

Alif hanya ingat jurus bangau putih dia pelajari waktu di kampus yang langsung ia kembangkan, ketika wasit Andro meniupkan peluitnya. Ia lebih siap dari ketika ia tiba-tiba diadu oleh Harum di pantai. Battle of sexes.Tetapi bagi sebagian warga koloni tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan.

Jadi tidak ada alasan untuk tidak sungguh-sunguh walau pada perempuan.  Evan dengan mudah menghindarkan serangan telapak  tangan Alif yang kemudian sapuan kaki. Tetapi gerakan berikutnya putaran tubuh dengan dua sayap berhasil menangkap Evan yang baru hendak melancarkan pukulan dan memutarnya 360 derajat dan kepala Evan jatuh di pangkuan Alif terkunci.

Tetapi kaki Evan yang panjang terangkat mengunci leher dan pundak Alif lalu menggulingkannya ke depan.  Kaki Alif juga menangkap tubuh Evan dan mereka saling mengunci seperti bola dan bergelindingan.

Zahra mulai tidak tertawa. Penonton juga mulai diam. Lalu keduanya terlepas dan saling memasang kuda-kuda. Evan sama sekali tidak gentar. Dia tenang, tetapi dia tidak anggap enteng lagi Alif. Tangan dan kakinya bergerak serempak Alif kewalahan tetapi bisa menangkis dan menghindar. Satu telapak tangannya menyentuh Evan, tetapi kaki Evan juga mengenai tubuhnya.

“3-2 untuk Evan!” kata Andro. Lebih dari tiga menit tidak ada yang jatuh, sesuai aturan.Evan menyerang makin cepat dan kaki tangan meringkus Alif persis seperti di pantai. Tetapi dengan cepat Alif melepas diri  dan melepas pukulan mengenai Evan.

“3-3.” Andro tampak senang.

Eva sempat terjatuh, tetapi bangkit lagi. Penonton makin bergemuruh. Tapi kali ini gerakan makin cepat, andalanya tangan kaki bergerak serentak. Evan mengunci Alif di dadanya dengan kakinya, lalu melipatnya.

Wajah Evan begitu dekat dengan wajahnya. Lalu perempuan tomboi itu menjulurkan lidahnya dan kemudian membentuk bibirnya hendak menciumnya. Tetapi dia tidak melakukannya dan malah membantu Alif berdiri.4-3.

Evan kemudian menyalaminya. “Saya kalah, tidak tiga menit, tetapi tujuh menit,” katanya Sportif.

Zahra di pinggir lapangan tertengun. Wajahnya tidak lagi tertawa. Bahkan merengut. Pertama kali dia merasakan yang terjadi tidak lucu.  Yang ia bayangkan suaminya dibanting sebelum tiga menit. Kemudian Alif  takut bergaul dengan cewek di luar komunitas  kupu-kupu.

Alif membuka body protectornya. Harum mendekatinya dan mengangkat jempol. “Sssh, bidadarimu cemburu..!”

Saatnya, pertunjukkan kedua.

“Bobby!” panggil  Evan.

Yang dipanggil berdiri gemetar. Evan tampak tidak ada  capek-capek-nya. Terlatih untuk berkelahi. Dia meringkus Bobby nyaris tanpa perlawanan, seperti semut meringkus mangsanya. Bobby seperti ulat  yang baru menetas dan bertemu semut rangrang yang lapar.

Kaki dan tangannya menjadi satu terikat oleh kain yang sudah dibawa Evan. Kemudian dia membelai rambut Bobby sambil melirik Selena.  “Ampun!” teriak Bobby. “Saya nggak ikut-ikut!”

Malam itu komunitas kupu-kupu hanya diwakili oleh Iffa  menyanyi tiga buah lagu tentang kupu-kupu. Walau suaranya pas-pasan, tetapi cara menyanyikannya begitu lucu, hingga penonton terhibur.  Sementara seluruh kawan-kawannya pulang,  karena ketuanya ngambek. Zahra menyeret Alif dan menyuruh menggendong Lepi yang tertawa melihat perilaku ibunya.

Di pinggir lapangan Harum tertawa terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya dia membela laki-laki selama di pulau.  Dia tahu mulai malam ini Zahra tidak akan pernah lagi mengadu suaminya dengan anak asuhnya.

Hal yang sama terjadi pada Selena. Bobby diseret Selena dan disuruh menggendong Bybbo. “Pulang, saya ngantuk!”

Lebah dan tawon mempertunjukkan tari perang yang meningkat keterampilannya. Begitu juga cewek-cewek semut yang dikomandoi oleh Evan Sektian. Tim Rayap menyanyi dengan alat musik alam tak kalah bergemuruh.

Sementara di pantai Zahra memandang bulan sementara Alif dengan gelisah berada di sampingnya. Zahra tidak berkata apa pun untuk pertama kalinya ketika bersama.

“Adinda…”

Zahra diam.

“Bunda…” Lepi juga ikut menyapa.

Alif merasa serba salah.

Nggakakan ada nama Evan Sektian di catatan harian kakanda dan di hati kakanda, kan?” tiba-tiba Zahra tergelak.

Alif  merasa Zahra mencair. Lalu ia meletakkan Lepi di pasir, memeluk Zahra dan mereka bergulingan dengan Zahra.

“Ayo seruan mana dengan di panggung tadi?” Kakinya di pinggang Alif menggosok mesra.

“ Kamu dong! Jadi bidadariku lagi?”

“ Boleh, tetapi  jangan di depan kupu-kupu kecil kita. Kita tidurkan dulu, ” bisik Zahra.

Lepidoptera tidur dengan nyenyak di hamparan pasir di tengah malam bulan purnama yang cerah. Bahkan Alif juga nyaris tertidur setelah bergelut dengan bidadarinya. Samar-samar dia melihat Zahra sedang mengutak-ngutik ponselnya yang rusak, tetapi sudah ditambah alat baterai matahari dan antena. Zahra memang berbakat. Dia tekun memencet tombol.

Alif ingin bangkit ketika Zahra tampak berbicara.Tetapi tidak dapat.Ia terlalu lelah habis bertarung di panggung dan bergelut dengan Zahra. 

“Siapa? Oh, Kak Nanda .Alif  sama bidadari. Nama saya Zahra. Saya isterinya.  Rekannya yang wartawan itu… ? ”

Alif tertidur hingga subuh bersama Zahra dan Lepidoptera ketika patroli koloni dari  semut membangunkan mereka dan mengantarkan kembali ke pemukiman.

“Kak Alif hebat. Di antara kami tak ada yang lebih dari tiga menit menghadapi Kak Evan,” kaat seorang serdadu semut laki-laki  dua puluh tahunan itu. Dia menyupir kendaraan semut.

“Jago sekali dia? Nama kamu siapa?”

“Adolf,” katanya. “Kak Evan selalu di lima besar keprajuritan semut. Dia hanya di bawah Kak Andro. Tetapi Kak Andro tidak pernah mau sparing dengan Kak Evan,” pemuda berkulit gelap itu. ”Saya sendiri di bawah Kak Evan.”

“Belum ada suaminya?”

Nggakada yang berani mendekatinya, walau menurut kawan-kawan dia cantik,” sahut Adolf tertawa.

Di sebelah Adolf seorang serdadu semut perempuan yang juga menggunakan tutup kepala merah seperti Adolf, usianya hanya berapa tahun.

“Mungkin dia perlu didatangkan laki-laki dari langit seperti kakak dengan Zahra?” celetuk serdadu perempuan itu.”Oh, ya aku Dewi.”

“Iya, Suami ku kan? Zahra mencium pipinya.Tidak lagi ngambek. Mandi salat subuh.Lalu tidur lagi, ya Kak?”

Alif merasa masih banyak di pulau belum diketahuinya. Kedua anak ini tinggal di blok lain koloni. Mereka menggunakan kendaraan semut untuk bertandang antar blok atau bagian lain pulau.

EMPAT PULUH

Gunung Kapur, Padalarang, waktu Tak diketahui. Malam hari.

Cerita Nanda Andryas

“Bang Ahmady, Kang Nana, ini pembajak nomor Alif akhirnya bicara dan dia mengaku sebagai bidadari di surga! Nggak mungkin hantu, kan?” geram aku.

“Paling anak asuh cewek dari  germo itu,”  sahut  Nana setengah tertidur di matras di hamparan pasir.

“Kalau dia kontak  lagi dan saya ada, kasihkan saya. Biar saya minta bicara dengan bosnya. Masih saja mau mempermainkan orang yang sudah meninggal. Nanti saya buat meninggal benaran…” Ahmady menggerutu.

“ Kenapa Di?  Gerombolan germo itu lagi menteror?” Yola juga setengah tertidur di balik sleeping bag-nya.

“ Frisca juga sering dikontak, Cuma ketika ditelpon balik tidak diangkat. Itu terjadi setahun terakhir ini…” ujar aku. “Aku tahu karena sudah lama aku kos di tempat Alif. Dia kerap dapat SMS katanya dari bidadari Kang Alif di surganya. Namanya Zahra…”

“Adik alif?  Ah perempuan semua lagi yang diteror. Saya sumpahin mereka mati di tangan Inong Balee..” geram Ahmadi. “Katanya namanya Zahra? Jangan-jangan  di belakangnya  Si  Zainal mucikari di Jakarta itu.”

“Jadi kalau kita mati, Dan? Bisa masuk surga, lalu dilayani 72 bidadari,” celetuk seorang serdadu yang terbangun oleh percakapan kami.

Luhpengen masuk surga? Salat yang rajin sana!  Bertemu 72 bidadari, serakah amat! Satu saja tidak beres.  Sissy, anak Semarang itu kamu permainkan, kan? Dia nangis di markas, tahu?. Untung kalian belum menikah dan belum ngapai-ngapain. Kalau sampai hamil,  awas kau  Sersan Iqbal! Untung saya yang menghadapi. Kau tahu sendiri kalau komandan kita mendengar anak buahnya mempermainkan perempuan.”

Yola tergelak. “Mmmh.. patriarki lagi.. enak benar ya laki-laki dapat 72 bidadari…”

Malam itu purnama dan tidak menyenangkan bagi sepasukan marinir dan Siliwangi yang sedang stelling di sekitar Goa Pawon. Beberapa wartawan juga tergeletak. Luka Nana baru mengering. Mereka tidak belum bisa meninggalkan tempat walau pasukan bantuan datang. Kontak senjata masih terjadi.

Seorang serdadu kemudian naik ke bukit.

“Kapten diminta kembali ke Bandung.  Gencatan senjata!”

Aku mendengarnya bersyukur. Sekalipun Dhimas didukung kekuatan asing masih berkuasa di beberapa tempat, tetapi setidaknya ada kedamaian.

Kami pulang bersama dengan kendaraan bernama Ciung Wanara. Mobil listrik pengganti jip buatan Gedebage Bandung Technopolis yang bisa melayang satu meter di atas tanah. Persis seperti motor listrik.  Kendaraan itu terbatas dan hanya berapa buah digunakan oleh Siliwangi sebelum  Perang Dunia ke III pecah.

Kabarnya Amerika Serikat maupun Tiongkok sama-sama berminat pada motor listrik ini. Yang jelas pasukan mereka bisa menghindari ladang ranjau kalau menggunakan kendaraan ini.  Tetapi ilmuwan dari Gedebage Bandung Technopolis tidak mau kendaraannya dipakai negara lain untuk perang. Bahkan keluar Jawa Barat pun tidak mau.  Tetapi ketika Indonesia memutuskan membantu Thailand, ilmuwan dari Gedebage mengizinkan dua jipnya berangkat dan dipersenjatai pelontar listrik.

Sebetulnya kalau hanya orang asing melawan Bangsa Indonesia, Ilmuwan Gedebage bersedia membantu pemberontak memproduksi massal pelontar listrik dan kendaraan seperti Ciung Wanara.  Tetapi ada orang Indonesia yang terlibat, walau mereka tidak menyukainya, ilmuwan Gedebage tidak mau ciptaan mereka membunuh sesame anak bangsa.

“Kami tidak mau penemuan kami digunakan membunuh sesama orang Indonesia dalam Perang Saudara,” kata Yuyi Namara salah seorang ilmuwan muda.

Aku, Nanda masih ingat kata-katanya.

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun