Dear Kompasianer, memanfaatkan momentum Hari Musik Nasional, Kompasiana memberikan topik siapa artis atau musisi Idola cukup menantang untuk ikut berpartsipasi. Sebetulnya sosok yang pernah saya tulis di blog, seperti Andien, Sheirina, Yura Yunita adalah penyanyi favorit saya. Tetapi biasanya saya menulis review ketika menyaksikan pertunjukkan mereka langsung atau rilis album.
Sebagai jurnalis saya sebetulnya kerap melakukan wawancara dengan selebritis, termasuk di anatara kebetulan penyanyi favorit. Saya punya kebiasaan merekam wawancara dengan narasumber yang saya suka sebagai pribadi. Wawancara itu ditranskrip dan kemudian didokumentasikan di catatan harian. Kebiasaan menulis diary sudah saya lakukan sejak kelas II SMP. Namun tidak semuanya bisa dipublikasikan.
Salah satu tulisan untuk Hari Musik Nasional ini saya mempublikasikan hasil liputan dan wawancara saya dengan Iga Mawarni, penyanyi Jazz perempuan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Penyanyi kelahiran Bogor 24 Juli 1973 ini adalah salah satu dari penyanyi favorit saya. Warna suara dari alumni Diploma Bahasa Belanda Fakultas Sastra UI (sekarang FIB UI) ini khas berat, tetapi lembut. Lagunya enak didengar pada saat mau tidur atau ingin menenangkan pikiran saat lagi dalam tekanan kerja.
Yang menarik passion Iga pada Jazz, bisa dipertanggungjawabkan, bukan asal memilih genre jazz. Sekalipun hanya menelurukan dua album, yaitu "Kasmaran" dan "Iga lagi", tetapi Iga membuktikan bahwa penyanyi yang memilih jazz mempunyai intelektual dan wawasan. Putri Solo dan sangat jawanis ini menulis beberapa lagu untuk album, suatu hal yang saya suka dari penyanyi jazz. Berikut kesan saya pada Iga Mawarni yang saya kutip dari catatan harian saya pada 1999-2001).
Pada 1 November 2000, pukul 14: 45 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia Depok saya bertemu Iga Mawarni untuk bahan menulis Jazz Goes to Campus. Waktu itu saya menjadi reporter untuk sebuah media online dan diberi tanggungjawab mengisi Rubrik Kampus. Iga Mawarni sedang hamil pada waktu itu adalah pengisi acara diskusi budaya soal batik bersama desainer Carmanita.
Berikut wawancara disajikan secara utuh tentang wawasan pada jazz (untuk media online hanya diambil cuplikan sebagai salah satu sumber untuk tulisan mengenai Jazz Goes to Campus.
Irvan : Tanggal 12 November mendatang kembali diselenggarakan Jazz Goes to Campus. Menurut Iga sampai seberapa jauh minat anak muda kampus terhadap acara itu?
Iga: Tahun lalu (1999) itu penuh sekali. Aku lihat antusiasnya bagus. Justru di kampus yang jadi sorotan semua musisi karena masyarakat intelektual yang bisa bikin jazz dituntut sedikit bisa berpikir. Tidak sekadar menikmati, tetapi dia ikut berpikir. Di sini saya melihat justru tempat kampus sebagai audience-nya karena mereka menikmati,menilai dan berapresiasi. Aku sendiri waktu itu jadi penyanyi bukan penonton.
Irvan: Bagi Iga apa sih daya “magis” Jazz itu sendiri?
Iga: Skill. Lihat musik jazz dibanding musik lain terasa personil jazz masing-masing punya skill. Skill itu yang bisa membuat mereka bertemu tanpa pakai aturan. Misalnya begini, Musisi Jazz itu seorang gitaris, lalu ketemu orang yang bukan dari grup-nya, dia entah dari mana, tetaoi Jamzz-seasion ternyata jadi. Tanpa mereka harus janjian harus begini: No! Siapa pun bisa mulai dan siapa pun bisa mengakhiri. Lagu itu bisa selesai.
Sementara musisi (genre) lain kalau mereka tidak tahu lagunya, mereka kalau nggak hafal lagunya tidak mau main, karena mereka tidak punya skill yang cukup untuk bermain dan berimprovisasi. Musisi rock dan pop itu harus janjian dulu: Eh, main lagu ini kok. Pemusik lin di kampus dicampur dengan jazz di Jamzz Seassion yang bisa hidup adalah jazz.