Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dansa di Tepi Danau Kerinci dan Bertempur dengan Sultan Asing

10 September 2016   18:09 Diperbarui: 11 September 2016   17:52 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara Inggris di Bengkulu abad 19 (kredit foto: wftw.nl)

Orang Inggris di Pedalaman Jambi Awal Abad ke 19
Beberapa bulan lalu saya membongkar gudang milik almarhum ayah saya yang punya hobi serupa dengan saya mengoleksi buku dan arsip, sekalipun belum tentu semua dibaca. Sekalipun latar belakang disiplin ilmu ayah saya adalah biologi, tetapi dia juga suka mengoleksi buku sejarah. Di antara buku yang saya temukan, ada sebuah buku karya William Marsden berjudul Sejarah Sumatera. Buku ini aslinya berjudul History of Sumatera, ditulis oleh Marsden pada 1780-an hingga 1800-an (ditilik dari setting cerita yang ditulis), karena dia sendiri adalah seorang pegawai EIC (East India Company) yang bertugas di Bengkulu. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008.

Kelahiran County Wicklow, 16 November 1754 tiba di Bengkulu pada 1771 dalam usia masih remaja. Dia menjabat sekretaris umum dan membuatnya mendapatkan akses mempelajari Bahasa Melayu yang merupakan modal utamanya. Marsden menulis beberapa buku berkaitan dengan dunia Melayu, selain History of Sumatera, ia menulis Grammar and Dictionary of the Malay Language pada 1812 dan menerjemahkan karya Marco Polo dan 'La-uddı̄n Nakhoda Muda.

Ada beberapa bab yang menurut saya menarik dalam Sejarah Sumatera karena membuat informasi dari kesaksian dari sumber pertama tentang situasi masyarakat Sumatera abad ke-18. Di antaranya Bab 17 dengan tajuk “Perbedaan Penduduk”, memberikan deskripsi yang menarik tentang penduduk di Kerinci, Muko-muko, Sungai Tenang, Ipu dan Serampei (Serampas?) yang mengacu pada wilayah Jambi sekarang. Karena penuturnya adalah orang Inggris yang mengadakan ekspedisi ke wilayah itu, maka fakta yang diungkapkan mempunyai nilai akurasi tinggi dan otentik.

Penjelajah pertama bernama seorang ahli tumbuh-tumbuhan dan ahli bedah dari Skotlandia, Charles Campbell meneliti kawasan Kerinci pada 1800. Marsden mendapatkan informasi dari penjelajah ini melalui koresponden ketika dia sudah kembali ke London. Campbell melukiskan penduduk Kerinci bertubuh lebih pendek dibandingkan dengan orang-orang Melayu. Para laki-lakinya bertubuh kekar, kalau bergerak gesit dan cekatan. Kaum laki-laki disebutkan mencurigai kaum pendatang, tetapi kaum perempuannya menunjukkan sikap ramah dan sopan. Campbell tiba di desa yang disebutnya sebagai In-Juan di tepi Danau Kerinci.

Mereka menghibur kami dengan dansa-dansa dan menampilkan semacam pantone (pantomime?). Saya dapat menambahkan bahwa penghuni daerah pegunungan ini memiliki roh-roh yang lebih kuat daripada di dataran bawah. Mereka bernafas dengan semangat kebebasan. Karena seringnya perang antar desa, maka mereka selalu siap menghadapi serangan. Mereka sangat tersinggung dengan paket besar bawaan kami yang berisi barang-barang kami dan hanya bisa diangkut oleh enam orang. Mereka menekankan bahwa di paket tersebut kami menyembunyikan periuk apu, cara mereka menyebut mortar atau howitzer (senjata api kecil). Periuk apu pernah digunakan untuk menyerang sebuah desa yang memberontak dan dipimpin seorang anak Sultan Muko-muko yang berkhianat…”(halaman 280)

Penuturan Campbell yang dikutip Marsden ini menjelaskan bahwa pedalaman Jambi sudah dijelajahi orang Eropa sejak abad ke 18 terbukti dengan kenalnya penduduk Kerinci terhadap senjata api yang dijual kepada penduduk yang saling berperang. Senjata yang digunakan begitu menakutkan dan mematikan, sehingga wajarlah kalau penduduk sekalipun bersikap ramah mencurigai kedatangan orang Eropa.

Penduduk desa itu menurut cerita Campbell mempunyai alat musik yang terbuat dari pohon palem iju. Bentuknya seperti harpa. Orang Kerinci mempunyai kekayaan kuliner dan ahli memasak. Mereka mengolah daging rusa yang mereka ikat dengan tali rotan, bebek liar dari sungai, merpati hijau dan berapa jenis ikan. Orang Kerinci juga mengenal kentang. Mereka juga makan sayur-sayuran dan umbi-umbian.

Campbell juga singgah di Muko-muko, sebuah kampung kecil dan terletak lebih ke hulu Sungai Si Luggan di mana berkuasa seorang Sultan. Penduduk Muko-muko membeli garam, bahan pakaian, besi, baju dan candu dari orang gunung. Mereka menjual hasil pertanian, kayu, serta sedikit emas halus. Ikan-ikan dijual dengan sangat murah. Muko-muko pernah memiliki dagang dengan Singapura. Perjalanan dari Muko-muko hingga kaki gunung diceritakan memakan waktu tiga hari.

Tempat lain yang menjadi kunjungan Campbell adalah Sungai Tenang. Penduduknya diceritakan lebih padat, sebagian besar penganut Islam dan tunduk pada Sultan Jambi. Warga Sungai Tenang mengenal budi daya kapas dan tembakau. Penduduk memang memakai pakaian dari katun sama halnya dengan penduduk pantai Barat Sumatera. Para laki-laki ketika dilihat Campbell memakai baju berlengan berwarna biru di lengan dan putih di badannya dengan garis berwarna merah atau warna lain di sekitar punggung.

Ekspedisi Militer Inggris di Tanah Jambi
William Marsden juga membuat jurnal dari seorang perwira tentara Inggris Letnan Hasting Dare yang memimpin sebuah ekspedisi militer dari Benteng Marlborough di Bengkulu ke Ipu, Serampei, dan Sungai Tenang yang berbatasan dengan Kerinci. Pada 1804 Sultan Asing, saudara dari Sultan Muko-muko bersama dua Ketua Bukit Pa Muncha dan Sultan Sidhi, tinggal di Pekalang-Jambu dan Jambi melakukan penyerangan terhadap Ipu yang waktu itu dikuasai Inggris. Pasukan bersenjata Sultan Asing ini membakar berapa desa dan menculik beberapa penduduk. Para penjaga Melayu di sana dikalahkan pasukan itu.

Pada 22 November 1804 Letnan Hasting Dare dengan kekuatan 83 serdadu Sepoy (tentara Inggris asli India) dan perwira, dengan 5 laskar, 22 tahanan Bengal dan 8 prajurit Bugis bertolak dari benteng. Namun karena medan berat baru tiba di Ipu pada 3 Desember dan pasukan Sultan Asing sudah mengundurkan diri ke Sungai Tenang dan membuat benteng di Kuto Tunggoh, sebuah dusun tempat para petualang kerap ditampung (perompak?).

Perjalanan melalui bukit-bukit dengan jalan buruk dan licin, serta sungai yang deras. Perjalanan yang cukup berat antara lain ketika pasukan Hasting menyeberangi Ayer Ikan dua kali yang letaknya 5-7 kilometer dari Dusun Tanjung di Ipu pada 16 Desember 1804. Di sana mereka menemukan sumber air panas yang suhunya berbeda drastis dengan air sungai yang dingin. Mereka mendapatkan sebuah dusun di sana yang telah ditinggal penduduknya dan separuhnya dibakar.

Besoknya pasukan Inggris tiba di Ayer Tubbu yang digambarkan banyak tanaman durian. Di sini rintangan sebenarnya dihadapi pasukan Inggris berupa parit-parit yang digali oleh pasukan Sultan Asing, serta ranjau–ranjau yang ditanam di jalan setapak yang becek dan berlumpur. Ranjau di sini maksudnya bilah bambu jika ditanamkan di tanah bagian lebar, tetapi makin ke atas makin runcing sampai seruncing jarum. Ujung bambu dikeraskan dengan mencelupkannya ke minyak dan diasapi di api lampu. Jika ranjau ini terinjak kaki menimbulkan luka yang perih dan akhirnya menyebabkan radang. Beberapa anggota destamen Hasting terluka karena ranjau itu.

Pasukan terus berjalan ke arah utara dan jumlah anggota pasukan yang terkena ranjau terus bertambah. Mereka menelusuri Sungai Ipu hingga daerah pertemuan Sungai Simpang dan Sungai Ipu,hingga sampai ke Dingun pada 21 Desember 1804 di mana para tukang pikul tidak sanggup menuruni bukit dengan ketinggian 130 meter dan hampir tegak lurus dan untuk menuruni terpaksa berpegang pada pohon-pohon. Hujan turun dengan lebat dan baru setengah destamen tiba di dasar menjelang malam. Pasukan kehilangan seorang pemandu dan seorang tukang pikul bangsa Melayu yang hanyut di sungai. Keesokan harinya pasukan kehilangan separuh tukang pikul melarikan diri hingga dua puluh karung beras dan garam terpaksa dibuang. Perjalanan diteruskan ke utara , seorang perwira Sepoy dan seorang anak buahnya menderita diare, demam dan lumpuh kaki. Hingga akhir Desember 1804 pasukan ini tidak pernah bertemu lawannya, kecuali medan berat, cuaca buruk dan kekurangan makanan. Awal Januari 1805 bantuan perbekalan datang.

Kontak senjata pertama baru terjadi pada 3 Januari 1805 di perbukitan menuju Kuto Tunggoh. Pasukan Hasting disambut dengan teriakan dan tembakan. Pasukan Hasting berhasil merebut benteng yang ditinggalkan pasukan Sultan Asing. Seorang Serdadu Sepoy tewas dan beberapa luka terkena ranjau. Tidak diketahui berapa pasukan Sultan Asing atau terluka. Hanya Hasting melaporkan dalam jurnalnya melihat darah berceceran. Pasukan menegjar namun dihambat jalan yang ditutupi ranjau dan hujan lebat. Sebagian anggota destamen emnderita demam, diare dan luka di kaki. Pasukan Hasting terpaksa mundur ke Rantau Kremas pada 6 Januari 1805 untuk mendapatkan perbekalan.

Pada 12 Januari 1805 Pasukan Hasting bergerak menuju Muko-muko melalui medan berat dan tiba di sebuah dusun di sana pada 21 Januari 1805 untuk mendapat perbekalan. Namun baru pada 9 Februari 1805 destamen diberangkankan lagi menuju Sungai Tenang. Penduduk di sana harus dihukum karena membantu Sultan Asing melawan Inggris. Destamen dipimpinan Letnan Hasting, 70 perwira Sepoy dan 27 serdadu Sepoy, orang hukuman dari Benggala, serta 11 prajurit Bugis.

Kontak senjata kedua terjadi pada 26 Februari 1805 di areal Danau Panjang. Pasukan Hasting harus merebut sejumlah kubu yang dibangun dari pohon-pohon kayu besar dan disusun secara mendatar di atas tiang-tiang dengan tinggi 7 kaki, tebal 6 kaki dan terdapat lubang untukmenembak. Kontak senjata terjadi. Pasukan Hasting menghadapi 300-400 orang. Karena unggul taktik militer dan persenjataan, pasukan Hasting mundur. Tidak disebutkan berapa jumlah korban di pihak Sultan Asing, tetapi seorang adipati tewas. Di pihak Inggris dua tentara Sepohi tewas dan tujuh luka-luka dalam pertempuran dan beberapa luka berat karena ranjau.

Pada 27 Februari 1805 pasukan Inggris merebut kampung Kuto Tuggoh. Penduduknya lari setelah mendapat satu tembakan mortir dan berapa letusan senapan. Kampung ini berdiri di atas bukit yang tiga sisinya tingginya tegak lurus. Untuk memasukinya pasukan Inggris hanya bsia dari isi barat di mana terdapat parit perthanan sedalam 12,6 meter dan lebar 9 meter. Hanya terdapat satu balai dan dua puluh rumah. Rumah-rumah terbuat dari papan, diberi ukiran dan dengan atap dari daun sirap atau papan. Pasukan Inggris hanya menemukan seorang bisu di kampung ini dan kemudian menghancurkan kampung itu.

Perang berakhir pada 30 Maret 1805 begitu saja, ketika pimpinan perlawanan mengajak berunding, ketika pasukan Inggris tiba di Koto Bharu. Adipati kepala mengajak berunding. Pimpinan perlawanan menyetujui usul-usul Inggris. Para kepala kampung yang melawan Inggris akhirnya menandatangani perjanjian dan bersumpah di bawah bendera Inggris. Membaca bab ini saya mendpaat kesan bahwa ekspedisi ini memakan waktu empat bulan dan hanya beberapa pertempuran, namun memberikan informasi semangat eksotisme bangsa Eropa dan betapa kreatifnya orang Jambi menghambat tentara dari kerajaan besar dengan senjata apa adanya.

Walaupun tidak sehebat perlawanan terhadap kolonialisme lainnya di nusantara, peristiwa di Jambi ini merupakan peristiwa yang nyaris terlewat. Bagi saya informasi seperti ini harus lebih banyak digali.

Irvan Sjafari

Sumber Pendukung Lainnya:

http://www.universitystory.gla.ac.uk/biography/?id=WH24499&type=P

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun