Akhir 1959 tawaran untuk mengikuti kegiatan darmawisata juga masih ada. Seakan-akan tidak terpengaruh akan gonjang-ganjing ekonomi akibat kebijakan sanering. Menurut panitya sebuah bus lux berangkat 20 Desember 1959 dari Rumah Sakadana di Jalan Kebonjati 14 A untuk perjalanan selama 15 hari melalui Sumedang, Semarang, Tuban, Tretes, Gunung Kawi, Sarangan, Pasir Putih, Bali. Sayang tidak didapat data berapa warga Bandung yang ikut darmawisata itu.
Mungkin karena jalur yang dipilih adalah utara dan bukan selatan yang memang masih rawan untuk diserang gerombolan yang masih kerap terjadi. Pada awal November 1959 sebuah Bus DAMRI diberondong senjata api dan dibakar ketika mengadakan perjalanan dari arah Cikalong menuju Tasikmalaya. Supir bus dan tiga penumpang tewas. Beberapa hari kemudian sebuah perkebunan teh di selatan Bandung diserang sekitar 150 gerombolan bersenjata. Pada Januari hingga November 1959 di Tasikmalaya sebanyak 1740 rumah dibakar . Meskipun pihak gerombolan makin terdesak dan hanya soal waktu saja untuk diakhiri secara militer. Tetapi itu di selatan. Di utara keadaan membaik.
Fenomena yang paling menarik ialah munculnya jasa transportasi Jakarta-Bandung melalui Puncak. sejak 1958 ada perusahaan suburban menggunakan mobil jenis Chevrolet uanf disebut suburban melayani angkutan umum dengan menawarkan jasa antar jemput di rumah pelanggan dan mengantarkannya ke tempat yang diinginkan. Pemberangkatan dari Jakarta pukul 7.30 dan tiba di Bandung 13.30. Sementara mereka yang berangkat dari Bandung pukul 13.30 dan tiba di Jakarta pukul 17.30. Biayanya Rp70 per orang. Pemesan dilakukan satu hari sebelumnya waktu itu di Jalan Sabang nomor 5 untuk Jakarta dan Jalan Merdeka nomor 7 untuk Bandung (Pikiran Rakjat, 5 Mei 1959).
Selain suburban layanan lain ialah Otolet Express Bandung-Jakarta pulang pergi. Jam keberangkatannya lebih banyak. Kalau dari Jakarta otolet berangkat jam 6.00, jam 7.00 (untuk pagi) dan 12.30, 13.30, serta 14.30 untuk siang hari. Jam keberangkatan dari Bandung pukul 5.00, 6.00 dan 7.00 untuk pagi hari. Sementara mereka yang ingin berangkat siang pada pukul 12.00 dan 13.00 (Pikiran Rakjat, 3 Agustus 1959).
Perusahaan angkutan lain yang melayani hubungan Jakarta-Bandung via Puncak adalah Super Service dari Gloria yang berkantor di Jalan Raya Timur 222. Perusahaaan ini menawarkan tarif Rp60 per orang dan menerima pengiriman paket. Seperti halnya Suburban Super Service menjemput dari rumah pemesan. Untuk ke Bandung Super Service berangkat pukul 6 pagi. Mobil yang digunakan juga jenis suburban Chevrolet (Pikiran Rakyat, 1 September 1959).
Pada awal 1960 muncul sebuah usaha transportasi jenis suburban lainnya di Jalan Trunojoyo nomor 14 dengan telefon 4848 dan 3434. Mereka melayani angkutan penumpang pagi di Bandung jam 5 hingga jam 6 dan siangnya 14.30. Sementara yang berangkat dari Jakarta jam 6 hingga jam 7 dan siang antara pukul 12 hingga pukul satu siang. Di Jakarta mereka berkantor di Hotel Transerta di jalan Merdeka Timur 18 dan Slamet Riyadi 7, Jatinegara (Pikiran Rakjat, 29 Januari 1960). Usaha 4848 ini kelak menjadi surburban yang terkenal pada dekade 1970-an. Suburban via Puncak transportasi favorit selain kereta api pada dekade 1970-an dan 1980-an, sampai dibangunnya Cipularang dan punya usaha jasa transportasi jenis baru: shuttle.
Puncak pada 1950-an
Sebetulnya bukan saja kemunculan suburban, tetapi jalur Jakarta-Bandung via Puncak praktis sudah menggeser jalur lain lewat Cianjur menggunakan sarana kereta api lebih karena Puncak sekaligus menjadi tempat pelesir. Informasi yang dimuat dalam Buku Republik Indonesia Propinsi Jawa Barat, Kementerian Penerangan 1953 menyebutkan bahwa kawasan Puncak pada 1950-an menjadi tempat peristirahatan. Puncak di tengah perjalanan antara Bandung-Jakarta (Cipanas) yang pada umumnya mendapat kunjungan banyak tamu dari Jakarta tidak jarang pula pengusaha-pengusaha yang berharta sengaja bertempat tingal di bungalow-bungalow puncak dan tiap hari bekerja di Jakarta.
Salah satu dialog menarik pada halaman 78 menceritakan kegetiran warga Ciparay dalam kemiskinan struktural dengan seorang warga bernama Milun.
“Orang-orang di sini banyak jualan singkong sejak kecil, sampai tua tetap jualan singkong. Yang sejak kecil tidak punya sawah, sampai tua juga tidak punya sawah. Saya juga begitu melihat Bapak jaga pila, maka kerjaan saya juga jaga pila,”