Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anomali Ekonomi, Diplomat RRC dan Rumitnya Pemindahan Pedagang Asing Tionghoa

7 Agustus 2016   14:01 Diperbarui: 7 Agustus 2016   14:47 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anomali Ekonomi , Diplomat RRC dan Rumitnya Pemidahan Pedagang Asing Tionghoa: Priangan Agustus-Desember 1959

Dampak  lain pasca sanering 25 Agustus 1959  dialami para pedagang dan ibu-ibu rumah tangga ketika berbelanja  sulit untuk mendapatkan uang  receh.  Apabila sebelum sanering memegang uang Rp1000 dan Rp500 memiliki gengsi yang tinggi,  kini pedagang eceran bahkan pedagang besar, serta konsumennya berebut mendapatkan uang kecil. Akibatnya mata uang Rp10 hingga 50 sen bahkan 5 sen menjadi barang langka pada akhir Agustus 1959.

Para pedagang kelontong menyiasati kelangkaan itu dengan menyediakan barang-barang yang harganya murah.  Untuk pertamakalinya dalam sejarah kembang gula digunakan sebagai uang kembali.  Misalnya saja harga barang Rp13,50.  Seorang pembeli membayar Rp25, maka si pedagang mengembalikan Rp10 ditambah beberapa bungkus kembang gula sebagai pengganti uang Rp1,50. Masalah yang lebih pelik  ialah transaksi antara kaum ibu ketika berbelanja sayur yang nilainya hanya berkisar 10 hingga 15 sen.  Untuk uang kembali pedagang menawarkan sayuran lain yang harganya sesuai uang kembali.

Dampak lain berakibat pada gaya hidup ialah toko-toko terkemuka ramai-ramai menawarkan barang dengan korting 10 hingga 20%, bahkan sampai 40%  secara masif. Korting-korting besar ini biasanya hanya dilakukan menjelang Lebaran atau Natal dan Tahun Baru.   Toko-toko itu antara lain Toko Raja Sutra V. Kushordes di Jalan Asia Afrika nomor 20, Toko  Victory di Jalan Asia Afrika nomor 13, Toko Pakaian Anak-anak Emille di Jalan Naripan 5C, Toko Niagara NV Jalan Lembong nomor 4 A -6, Toko Welcome Jalan Barga 60, Toko Batik Go Kang Ho.  Kebanyakan yang memberikan korting ialah toko pakaian. Misalnya saja kain piyama seharga Rp50 dijual dengan harga Rp35 per meter.

Pemerintah tidak menghitung sampai sejauh itu.  Strategi para pedagang yang punya toko di Kota Bandung menjual barangnya dengan obral –umumnya persedian lama-memang membuat mereka bisa bertahan. Pedagang kecil di pinggir jalan juga berlomba menawarkan kebutuhan sehari-hari  seperti sabun Sunlight, sabun Lux, rokok  pada pertengahan September 1959.  Padahal sebelumnya barang-barang sempat sulit didapat. 

Masalahnya barang-barang yang dijual ada yang kadaluarsa. Rokok merek Comodore, Kansas, Lancer banyak ditemukan sudah berbau apek. Pada pertengahan Oktober 1959 harga per pak rokok untuk Escort dan Kansas berkisar Rp7 hingga Rp7,50, sementara Commodore berkisar Rp9 hingga Rp10 per pak.  Sudah harga mahal  dan  di beberapa menghilang,  yang ada pun masih juga ada yang berbau apek

Persoalan Pemindahan Pedagang Asing

Bukan hanya karena sanering,  obral produk seperti rokok ada hubungannya dengan likuidasi para pedagang asing di perdesaan dan kota-kota kecamatan akibat kebijakan pemerintah.  Cara penjualan obral  itu berhasil memukul para pedagang kecil nasional yang sedang mempersiapkan diri untuk menggantikan kegiatan para pedagang asing di kota kecamatan untuk dilakukan di kota yang lebih besar. 

Kebijakan ini dikeluarkan Pemerintah Djuanda pada 14 Mei 1959, yaitu  PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Awal November 1959 penduduk asing dari kota-kota kecamatan dilaporkan mulai berpindah ke Tasikmalaya dan Bandung.  Sekalipun tidak semulus yang diinginkan pemerintah.

Dalam PP 10/1959 itu padaPasal 2 disebutkan Perusahaan-perusahaan perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing jang terkena larangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Mei 1959 No. 2933/M sudah harus tutup selambat-lambatnja pada tanggal 1 Djanuari 1960, dengan tjatatan:bahwa terhitung mulai tanggal berlakunja Peraturan Presiden ini diambil langkah-langkah kearah likwidasi perusahaan-perusahaan termaksud;bahwa ketentuan tersebut tidak berarti bahwa orang-orang asing jang bersangkutan harus meninggalkan tempat tinggalnja, ketjuali kalau Penguasa Perang Daerah berhubung dengan keadaan keamanan menetapkannja.

Awal November 1959 penduduk asing dari kota-kota kecamatan dilaporkan mulai berpindah ke Tasikmalaya dan Bandung.  Sekalipun tidak semulus yang diinginkan pemerintah. Sebanyak 83% atau 1286 surat pernyataan yang masuk (dari 2046 pedagang eceran asing di seluruh Jawa Barat)  tidak bersedia tutup, mengoper atau memindahkan usahanya. Bahkan sebanyak 521 pedagang tidak mengirim surat pernyataannya.  Sisanya sebanyak 38 menutup usaha, 82 mengoper dan 137  memindahkan usahanya. Untuk Kota Bandung keputusan Menteri dilaksanakan pada 1 Desember 1959.  Kapten Hermawan dan PUPKP  menyediakan tempat penampungan pedagang asing di Ujungberung dan kawasan cadangan di daerah Padalarang.

Pemindahan orang asing dari kota-kota kecamatan dan kewedanaaan terutama dari Tionghoa tidak berjalan mulus.  Pada pertengahan November 1959 orang-orang asing di Kewedanaan Banjar dalam wilayah Kabupaten bandung  menyatakan keberatannya dipindahkan.  Dalam wilayah kewedanaan tersebut terdapat 216 keluarga Tionghoa, satu keluarga Belanda, lima keluarga berkebangsaan Pakistan, serta lima keluarga tidak berkebangsaan apa pun.  Jumlah seluruh orang asing di Kewedanaan Banjar 1324 orang. 

Pelaksanaan Kebijakan pemindahan warga asing semakin rumit ketika beberapa diplomat RRC terlibat. Pada 17 November 1959 Konsul RRC Ho An  menggelar makan besar di sebuah rumah makan di kawasan Cianjur. Diplomat itu mengundang orang Tionghoa asing yang mendiami wilayah Cianjur. Akibatnya pelaksanaan pemindahan yang seharusnya terjadi pada 17 November 1959 tertunda.

Begitu juga pemindahan orang Tionghoa asing dari Ciranjang pada 18 November 1959 juga tertunda karena ikut campurnya Konsul Muda RRC Chou Chen Kwie dengan berkunjung ke  Ciranjang.  Chou Chen Kwie datang disertai oleh juru potret wanita dan seorang juru bahasa.  Mereka juga membagi-bagikan bulletin.

Tindakan diplomat RRC  itu menyinggung pihak militer di Jawa Barat.  Juru Bicara peperda DST I Jawa Barat Mayor M. Nawawi Alif  menyesalkan tindakan para diplomat RRC. Menurut Nawawi kepada Pikiran Rakjat 1 Desember 1959 rombongan konsul perdagangan RRC itu terdiri dari 6 orang laki-laki dewasa, 2 orang wanita dan 2 orang anak.  Kepada petugas yang memeriksanya  hari Sabtu 28 November 1959 mereka mengaku hanya beristirahat dan tak ada hubungannya dengan pemindahan orang asing dari tempat-tempat di luar ibukota kabupaten.  

Rombongan Konsul Perdagangan diterima Peperda  destamen I Jawa Barat dan diminta kembali ke Jakarta mengingat adanya peraturan peperda DTS I Jawa barat nomor 84. Namun karena hari sudah malam, mereka diperbolehkan  berangkat minggu pagi.  “Tidak diketahui maksud kedatangannya? Apakah mereka datang ke Cipanas tidak mengetahui adanya peraturan Peperda nomor 84/1959 atau bermaksus menguji ketegasan dan pelaksanaan  peraturan itu?  Namun yang terjadi malah Konsul Ho An pergi ke Cianjur bersama atase militer RRC.  Mereka ditemukan petugas di Cianjur dan oleh petugas dipersilahkan pulang (Pikiran Rakjat, 2 Desember 1959).    

Di kalangan parpol masa itu kebijakan ini mengundang pro dan kontra. PKI Jawa Barat  menyebutkan harusnya peperda itu disesuaikan dengan pernyataan bersama yang pernah diadakan di Peking dengan menlu RRC beberapa waktu sebelumnya  Namun Masyumi, NU dan PNI  menyerukan agar WN asing di Indoensia tahu diri dan pandai menghormati peraturan dan adat istiadat tuan rumah.  Wakil Ketua Masyumi Jawa Barat Syafei mengatakan pembangkangan WNA Tionghoa harus disikapi serius karena menyangkut nama baik dan kepribadian Indonesia.  

Akhirnya pada 20 November 1959  Panglima Siliwangi  R.A  Kosasih sebagai Penguasa Perang Daerah DST I Jawa Barat mengeluarkan istruksi kepada seluruh penguasa perang di wilayahnya dengan keputusan No 84/11 berupa larangan seluruh anggota kedutaan RRC untuk masuk atau berada di daerah DST I Jawa Barat.  Bahkan militer juga melarang warga asing yang datang sesudah 22  Oktober 1959 untuk tinggal di Kota Bandung.

Masalah Likuidasi Pedagang Asing Tionghoa tidak selesai dengan mudah sesuai dengan rencana.  Di Kabupaten ciamis sebanyak 179 keluarga Tiongha asing (8740 jiwa) telah dipindahkan pada awal Desember 1959 dan total menjadi 227 keluarga atau 1342 jiwa.  Letkol Djauhari penanggungjawab di kawasan ini menangkap dua orang pengurus perkumpulan CHTH yang dianggap menghalangi pelaksanaan peraturan.  Disusul penangkapan 165 warga Tionghoa asing lainnya di kawasan Priangan Timur (Pikiran Rakyat, 3 Desember 1959).  

Bagaimana kawasan lain? Hingga akhir November 1959 sebanyak 43 keluarga (lebih dari 250 jiwa)  di dalam wilayah Kabupaten Sumedang dipindahkan ke kota. Di kawasan ini Tionghoa asing terpecah antara mereka yang berafiliasi ke Kounchantang atau RRC dan mereka yang memihak Koumintang (Taiwan).

Di Tasikmalaya 26 keluarga atau 183 jiwa dilaporkan pindah ke ibukota kabupaten.  Mayor Nawani Alif mendapatkan laporan bahwa ada pelaksanaan pemidahan di Ciparai diwarnai isak tangis anak-anak yang khawatri bapaknya akan dibunuh.  Padahal  kabar itu tidak benar.  Orang-orang yang melakukan penghasutan ditangap.  

“Tangkap dan tahan setiap orang asing yang tidak taat keputusan!” teriak Panglima Ketua Penguasa Perang Perang Daearah Swatantra I Jawa Barat Kolonel Kosasih.  Merujuk Peperpu nomor 039/4 Mei 1959 Panglima Perang mempunuai wewenang untuk menentukan seluruh atau sebagian dari daerah hukumnya sebagai daerah tertutup bagi orang asing.

Tujuh orang lagi ditangkap hingga menjadi 172 orang (Pikiran Rakyat, 4 Desember 1959).   Sebanyak 60 dari 172 Tionghoa Asing yang ditangkap dijatuhi hukuman satu bulan penjara.  Akibat lain karena tidak mulusnya pelaksaan pemidahan orang asing, akhirnya pihak militer di Kota Banjar menggelar jam malam pada pukul 20.00 hingga 04.30 (Pikiran Rakjat, 5 Desember 1959). 

Jum’at 4  Desember 1959 Konsul RRC bernama Chow Chen Yo mengadakan pertemuan di Departemen Luar Negeri.  Chow menemui Kepala direktur Asia Pasifik Drs. Anwar Sani.  Chow menjelaskan keberadaan Ho An di Cipanas dan meminta keterangan soal PP nomor 10/1959 mengenai larangan pedagang eceran asing di kota-kota kecamatan atau kewedanaan.   Hingga akhir 1959 persoalan Tionghoa Asing di pedalaman Priangan belum bisa dituntaskan.  

Anomali  Harga Pemerintah dan Pasar

Dalam  bulan November 1959 Ketua MPP Jawa Barat EA Mahmud di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran  menyebutkan perlu ada revolusi mental  untuk kaum usahawan. Di antaranya yang disoroti ialah pengusaha harusnya mengambil untung yang wajar.  Perusahaan tidak bebas sekehendak hati untuk memproduksi atau menghamburkan-hamburkan potensi produksi.

“Produksi kita terlalu banyak menciptakan uang dan terlalu sedikit membuat barang. Bukan  revolusi mental masyarakat dahulu baru perusahaan, tetapi perusahaan baru masyarakat,” kata Mahmud dengan lantang.   Apa  yang diungkap Mahmud jauh lebih rumit di lapangan.

Mialnya saja pada industri tenun. Sebanyak 70 persen  perusahaan tenun kecil di Bandung karena kesulitan likuiditas. Kebijakan pemerintah menaikan harga benang melalui JBP  hingga Rp21.000  menjadi anomali mengingat harga pasar Rp16.000 per bal benang ukuran 4S. Para pengusaha mengimport benangnya melalui PT Negara menimbulkan kesukaran baru karena benang-benang yang dipesan tidak cocok  dengan benang yang dibutuhkan industri tekstil.

Pihak Penguasa Kuasa perang KMKB Bandung melalui Kapten Bintang mencoba mendatangkan 32 ribu bal benang yang diblokir dari Gudang Veem Isada.  Hanya saja timbul pertanyaan apakah penyaluran itu benar-benar dijadikan untuk kebutuhan produksi atau  diperjual belikan seperti kebiasaan sebelumnya.

Bukan hanya benang, tetapi anomali yang sama terjadi pada komditas semen.  Produk semen yang dijual negara yang dihasilkan Pabrik Semen Gresik dan Pabrik Semen Indarung, Padang  dijual Rp117 per zak.  Harga itu jauh di atas harga pasar Rp80 per zak.  Harga semen yang lebih murah adalah semen import.

Perbedaan menyolok ini menimbulkan tanda tanya bahwa pemerintah memang belum menyiapkan strategi ekonomi yang matang.  Warga Bandung Muchtar Naholo di Jalan Rontgen mempertanyakan penurunan nilai mata uang digunakan untuk apa? Dia mengusulkan agar pemerintah membeli barang-barang kebutuhan rakyat di luar negeri dan menjualnya dengan harga murah kepada masyarakat.  Dengan sendirinya para pedagang mau tidak mau akan menurunkan harga barangnya.  

Dampak positif sanering hanya sempat menghentikan kegiatan tengkulak, itu pun hanya  untuk beberapa waktu.  Kebijakan sanering diberlakukan pada  musim panen membuat uang para tengkulak yang biasanya digunakan untuk memboyong beras rakyat  dikebiri.  Di daerah Banjar,  Jawa Barat harga beras sempat turun mencapai Rp4,50 per kg pada minggu pertama sanering, tetapi naik lagi menjadi Rp,50/kg untuk beras tumbuk kualitas satu.  Sementara beras tumbuk kualitas dua Rp5,40 dan kelas III Rp5,20.    Para tengkulak kembali mengangkut beras dari daerah Banjar ke kota besar. 

Kebijakan beras untuk  kepentingan perkebunan agak lebih baik. Ketua Gabungan Pengusaha Penyalur Kebutuhan Perkebunan Jawa Barat Ackub Wangsadimarta mengklaim bahwa persoalan beras untuk kebutuhan buruh pekerja perkebunan dapat diatasi.  Terdapat 333 buah perkebunan di seluruh Jawa Barat memperkerjakan 172.225 buruh dan bila ditambah keluarganya jumlah tanggungannya mencapai  463.582 jiwa.  Untuk kebutuhan mereka dibutuhkan beras sebanyak 3.955.020 kg per bulan.   

 Sanering juga tidak bisa menghentikan para spekulan gula.  Peredaran gula pasir di Kota Bandung dan sekitarnya masih tetap sulit di dapat di pasaran. Harga gula masih berkisar Rp9 per kg bahkan Rp10 hingga Rp11 per kg. Harga gula sempat turun antara Rp8 hingga Rp10.

Stabilitas harga  gula baru terjadi  setelah pertengahan Oktober 1959 alokasi gula untuk kota Bandung ditambah sebanyak 600 ton dan persedian menjadi 1000 ton.  Sistem penyaluran pun melalui Rukun Tetangga dan Rukun Kampung.  Akibatnya harga gula merosot menjadi Rp6 tiap kg dan di toko-toko milik pemerintah malah mencapai Rp5.50.   Harga telur ayam di perusahaan telur Phoa Djoen Tiam di Jalan Raya Barat 277 sudah mencapai Rp1,80 per butir.

Sektor usaha lainnya yang terpukul akibat sanering ialah perbengkelan kendaraan bermotor di Bandung.  Agar kelangsungan bisnis perbengkelan yang tergabung dalam Gabungan Bengkel Kendaraan  Bermotor di Kota Bandung melakukan berbagai kebijakan seperti penghapusan jaminan sosial, mengurangi waktu kerja buruh yang tadinya 6 hari menjadi 4 hingga 5 hari.  Pekerjaan perbengkelan merosot antara 40 hingga 60%. 

Selain likuiditas bengkel-bengkel di Kota Bandung sulit mendapatkan onderdil mobil yang diperlukan sejak dua tahun terakhir.  Banyak tunggakan sudah berbulan-bulan belum dibayarkan pemilik kendaraan bermotor yang memakai  jasa mereka, di antaranya justru kendaraan milik jawatan pemerintah.   Ada satu bengkel yang disebut mempunyai piutang tak tertanggih hingga Rp200.000. 

Rumor terus beredar bahwa sanering akan berlanjut pada pecahan Rp100 dan Rp50. Isu itu menguat pada pertengahan Oktober 1959 yang membuat  Menteri Muda Penerangan Maladi berulang kali berbicara di RRI membantah desas-desus itu, terutama setelah tanggal 20-an Oktober 1959.  Rumor itu mungkin juga berkaitan dengan kecaman yang dilakukan Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat pada awal Oktober 1959  bahwa  kebijakan sanering sama sekali tidak ada gunanya untuk mengatasi defisit dan hanya merugikan rakyat.  

Menurut Hatta uang Rp1000 dan Rp500  sebetulnya sudah banyak terdapat di tangan rakyat. Sementara para pedagang menukarkan pada barang.  Pernyataan Hatta mengundang  kecaman terutama dari  Djuanda yang mengatakan bahwa pertimbangan diambilnya tindakan sanering sudah matang.      

Keadaan sosial ekonomi memburuk awal November 1959.  Sebanyak  70% atau  dua pertiga perusahaan tenun di Bandung macet. Perusahaan tenun di Bandung meminta jatah pembagian benang dari perusahaan negara. Ketua Gabungan Pertenunan Republik Indonesia Ruslan Muljohardjo berjanji akan mengusahakan penyelesaian masalah tersebut dengan instansi berwenang.

Menteri Produksi Suprayogi juga menjanjikan bahwa ada kredit yang disediakan pemerintah hingga Rp1,5 milyar.  Namun masalah pengangguran akibat macetnya perusahaan tekstil sudah terlanjur terjadi.  Paling tidak  menganggurnya 16.200 buruh tenun dari 186 perusahaan di daerah Majalaya.

Irvan Sjafari

Sumber:

Pikiran Rakyat, 1 September 1959, 3 September 1959,  4 September 1959, 9  Setember 1959,10 September 1959,   17 September 1959, 19 September 1959, 23 September 1959,  6 Oktober 1959, 8 Oktober 1959,   20 Oktober 1959, 21 Oktober 1959,   22 Oktober 1959, 30 Oktober 1959, 3 November  1959, 4 November 1959,  7 November 1959, 13 November 1959, 21 November 1959,  23 November 1959, 1 Desember 1959, 3 Desember 1959, 4 Desember 1959, 5 Desember 1959

www.tionghoa.info

sukutionghoa.blogspot.co.id

www.kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun