Tujuh orang lagi ditangkap hingga menjadi 172 orang (Pikiran Rakyat, 4 Desember 1959). Sebanyak 60 dari 172 Tionghoa Asing yang ditangkap dijatuhi hukuman satu bulan penjara. Akibat lain karena tidak mulusnya pelaksaan pemidahan orang asing, akhirnya pihak militer di Kota Banjar menggelar jam malam pada pukul 20.00 hingga 04.30 (Pikiran Rakjat, 5 Desember 1959).
Jum’at 4 Desember 1959 Konsul RRC bernama Chow Chen Yo mengadakan pertemuan di Departemen Luar Negeri. Chow menemui Kepala direktur Asia Pasifik Drs. Anwar Sani. Chow menjelaskan keberadaan Ho An di Cipanas dan meminta keterangan soal PP nomor 10/1959 mengenai larangan pedagang eceran asing di kota-kota kecamatan atau kewedanaan. Hingga akhir 1959 persoalan Tionghoa Asing di pedalaman Priangan belum bisa dituntaskan.
Anomali Harga Pemerintah dan Pasar
Dalam bulan November 1959 Ketua MPP Jawa Barat EA Mahmud di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran menyebutkan perlu ada revolusi mental untuk kaum usahawan. Di antaranya yang disoroti ialah pengusaha harusnya mengambil untung yang wajar. Perusahaan tidak bebas sekehendak hati untuk memproduksi atau menghamburkan-hamburkan potensi produksi.
“Produksi kita terlalu banyak menciptakan uang dan terlalu sedikit membuat barang. Bukan revolusi mental masyarakat dahulu baru perusahaan, tetapi perusahaan baru masyarakat,” kata Mahmud dengan lantang. Apa yang diungkap Mahmud jauh lebih rumit di lapangan.
Mialnya saja pada industri tenun. Sebanyak 70 persen perusahaan tenun kecil di Bandung karena kesulitan likuiditas. Kebijakan pemerintah menaikan harga benang melalui JBP hingga Rp21.000 menjadi anomali mengingat harga pasar Rp16.000 per bal benang ukuran 4S. Para pengusaha mengimport benangnya melalui PT Negara menimbulkan kesukaran baru karena benang-benang yang dipesan tidak cocok dengan benang yang dibutuhkan industri tekstil.
Pihak Penguasa Kuasa perang KMKB Bandung melalui Kapten Bintang mencoba mendatangkan 32 ribu bal benang yang diblokir dari Gudang Veem Isada. Hanya saja timbul pertanyaan apakah penyaluran itu benar-benar dijadikan untuk kebutuhan produksi atau diperjual belikan seperti kebiasaan sebelumnya.
Bukan hanya benang, tetapi anomali yang sama terjadi pada komditas semen. Produk semen yang dijual negara yang dihasilkan Pabrik Semen Gresik dan Pabrik Semen Indarung, Padang dijual Rp117 per zak. Harga itu jauh di atas harga pasar Rp80 per zak. Harga semen yang lebih murah adalah semen import.
Perbedaan menyolok ini menimbulkan tanda tanya bahwa pemerintah memang belum menyiapkan strategi ekonomi yang matang. Warga Bandung Muchtar Naholo di Jalan Rontgen mempertanyakan penurunan nilai mata uang digunakan untuk apa? Dia mengusulkan agar pemerintah membeli barang-barang kebutuhan rakyat di luar negeri dan menjualnya dengan harga murah kepada masyarakat. Dengan sendirinya para pedagang mau tidak mau akan menurunkan harga barangnya.
Dampak positif sanering hanya sempat menghentikan kegiatan tengkulak, itu pun hanya untuk beberapa waktu. Kebijakan sanering diberlakukan pada musim panen membuat uang para tengkulak yang biasanya digunakan untuk memboyong beras rakyat dikebiri. Di daerah Banjar, Jawa Barat harga beras sempat turun mencapai Rp4,50 per kg pada minggu pertama sanering, tetapi naik lagi menjadi Rp,50/kg untuk beras tumbuk kualitas satu. Sementara beras tumbuk kualitas dua Rp5,40 dan kelas III Rp5,20. Para tengkulak kembali mengangkut beras dari daerah Banjar ke kota besar.
Kebijakan beras untuk kepentingan perkebunan agak lebih baik. Ketua Gabungan Pengusaha Penyalur Kebutuhan Perkebunan Jawa Barat Ackub Wangsadimarta mengklaim bahwa persoalan beras untuk kebutuhan buruh pekerja perkebunan dapat diatasi. Terdapat 333 buah perkebunan di seluruh Jawa Barat memperkerjakan 172.225 buruh dan bila ditambah keluarganya jumlah tanggungannya mencapai 463.582 jiwa. Untuk kebutuhan mereka dibutuhkan beras sebanyak 3.955.020 kg per bulan.