Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (16) Tamu Agung : Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito dan Presiden India Rajendra Prasad

17 Februari 2016   19:21 Diperbarui: 18 Februari 2016   13:33 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Josip Broz Tito dan Soekarno: Kedua kepala negara saling mengunjungi. "][/caption]Boleh jadi ia seorang ditaktor di mata negara-negara Barat, tetapi ia dicintai rakyat di negerinya bernama Republik Federal Yugoslavia. Raut wajah pria yang sudah memasuki usia 60 tahunan masih memancarkan kharisma. Suara pria bertubuh 170 cm ini lantang ketika ia berbicara di podium Aula Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur, Kamis 25 Desember 1958. Bagi Universitas Padjajaran untuk pertama kalinya aula dan gedung yang baru saja selesai digunakan untuk peristiwa internasional. Dia adalah Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, terkenal karena kepemimpinannya menggalang rakyat Yugoslavia dengan Partizan-nya berjuang melawan pendudukan NAZI Jerman dalam Perang Dunia ke II.

“Lebih dari satu dari sepuluh rakyat kami menemui ajalnya demi mempertahankan Yugoslavia. Lebih dari satu dari lima rumah hancur. Separuh industri hancur, ” ungkap pria kelahiran Kumrovec, Kroasia 7 Mei 1892 tentang negerinya yang hancur dalam perang. Pasukan Partizan yang dipimpinnya melawan Nazi terdiri dari berbagai etnik yang kemudian bergabung dengan Yugoslavia.

Penduduk Yugoslavia pada waktu perang Dunia ke II berjumlah sekitar 16 juta jiwa. Dari jumlah itu sekitar 1.700.000 jiwa tewas. Sekalipun menganut komunisme, Yugoslavia tidak sudi bergabung dengan blok Soviet dan memilih bergabung dengan Non Blok. Tito termasuk pimpinan dunia yang menaruh perhatian terhadap Konferensi Asia-Afrika.

Pada 25 Desember 1958, Tito mendapatkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) dalam Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran. Upacara pemberian gelar itu berlangsung pukul 16.30 hingga 19.00. Hadir dalam pidatonya Presiden Soekarno, Muhamad Yamin, Panglima Siliwangi Kosasih, Perdana Menteri Djuanda, serta senat dan guru besar dari sejumlah universitas se-Indonesia. Yamin adalah Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi dan Ilmu Sejarah Asia sekaligus promotor bagi Tito. Menurut Yamin, bagaimana Tito menyusun dan memberi sturktur baru bagi Yugoslavia, serta perjuangan menegakan demokrasi merupakan pertimbangan pemberian gelar kehormatan.

Dalam pidatonya Tito antara lain menyerukan hidup berdampingan dan penghindaran kekerasan untuk menyelesaikan persengketaan dengan jalan damai. Pada masa perang dingin perlombaan senjata nuklir menjadi isu yang cukup menakutkan.

"Makin lama makin djelas bagi rakjat bahwa bajangan kemenangan jang menentukan dapat ditajapai dengan sendjata atau dengan kemadjuan tehnik pada suatu waktu jang tertentu adalah salah. Penggunaan sendjata untuk penghantjuran raksasa akan menudju kepada kekalahan untuk semuanja dan ini berarti bahwa keganasan dari perang total akan dialami oleh seluruh umat manusia….."

Tito juga mengatakan bahwa di dunia terjadi beberapa pertentangan, seperti pertentangan antara kapitalisme dan sosialisme, pertentangan antara kekuasaan kolonia dan rakyat yang dijajah, pertentangan antara negara yang maju dan negara yang masih terkebelakang. Pertentangan ini dapat diatasi dengan cara kerjasama internasional, mempertinggi tingkat ekonomi dunia, bantuan terhadap negara berkembang untuk persaingan konstruktif di lapangan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan tenaga produktif dalam masyarakat.

Presiden Soekarno dan Presiden Tito berserta rombongan tiba di Kota Bandung Kamis Siang 25 Desember 1958 dengan mobil dari Kota Bogor. Di sepanjang jalan sejak Cimahi, rombongan tamu agung disambut meriah oleh rakyat dari berbagai kalangan, termasuk pandu dan anak sekolah. Mereka membawa bendera Indonesia dan bendera Yugoslavia dan Tito memberikan lambaian tangan. Rombongan disambut kepala daerah dan Panglima TT III Siliwangi setibanya di halaman Gubernuran dengan upacara adat. Berita Antara dan Pikiran Rakjat menyebutkan bahwa tamu negara dan rombongan disambut oleh serombongan gadis Priangan. Sebuah lagu (tembang) digubah untuk menghormati Presiden Tito berjudul “Kidung Tito”.

Kamis malam Tito dan rombongan menikmati pertunjukkan kesenian di Hotel Homman kira-kira pukul 21.30 hingga tengah malam. Tito menginap semalam. Keesokan paginya Tito, Soekarno, PM Djuanda bertamasya ke Tangkubanparahu. Di tempat wisata itu Tito memakai busana santai yang bersahaja dan gemar mengunyah kerupuk, sambil membaca koran lokal yang memuat tulisan negaranya. Para wartawan cukup mendapat ruang untuk meliput kunjungan Tito. Selama kunjungan tidak ada gangguan keamanan di Kota Bandung.

Jum’at 26 Desember 1958 tengah hari Tito dan rombongan kembali ke Bogor setelah mengunjungi Gedung Konstituante. Murid-murid sekolah dan pandu serta mahasiswa sepanjang Jalan Asia-Afrika hingga batas kota mengibarkan bendera Sang Merah Putih dan bendera Yugoslavia. Bahkan di beberapa titik berdiri gapura dari bambu dengan janur kuning. Di sejumlah perempatan terdengar suara gamelan yang ditabuh penduduk.

“Apabila saya pulang saya akan ceritakan ke rakyat Yugoslavia betapa meriahnya rakyat Bandung menyambut diri saya,” ucap Tito. Begitu menyentuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun