Hingga Agustus 1958 pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi belum tanda-tanda berakhir. Sekalipun pasukan TNI mengalami kemajuan secara militer, tetapi beberapa kali pemboman yang dilakukan pihak PRRI/Permesta cukup mengkhawatirkan. Kodam Siliwangi menggelar Latihan bahaya udara di Kota Bandung pada awal Agustus 1958. Latihan bahaya udara ini menggunakan sirene, tanda tontong dan lonceng. Kendaraan bermotor diminta berhenti di tempat terlindung dan begitu juga warga kota Bandung mencari tempat perlindungan. Ketika latihan bahaya udara dilakukan jalan raya dan kantor-kantor sepi dan kendaraan terlihat melintang.
Panglima Siliwangi Kosasih memberikan padangan soal keamanan dan revolusi mental dalam rapat kerja Kepala Daerah Pangreh Praja , para kepala polisi dalam wilayah Keresidenan Priangan dan Kabupaten Bandung pada 5 dan 6 September 1958. Menurut Kosasih keamanan adalah suasana dan keadaan di dalam negara, di mana setiap warga negara, setiap waktu dan di mana saja dapat menjalankan pekerjaan yang sah tanpa diliputi rasa takut, serta segala gangguan. Yang dimaksud dengan gangguan itu ada yang berbentuk gangguan rohaniah yaitu tekanan-tekanan dan paksaan jiwa, serta gangguan jasmaniah yang bersifat siksaan atau kekerasan.
Mengenai masalah gangguan keamanan di Jawa Barat, Kosasih dalam rapat itu membandingkannya dengan Malaysia ketika menghadapi pemberontakan komunis. Di negeri itu kekuatan geriliyawan tidak melebihi tiga ribu orang yang bisa dibedakan dengan warga biasa dengan jelas. Kampung-kampung di Malaysia tidak tersebar seperti di Jawa Barat. Sehingga tentara Inggris bisa memastikan bahwa orang berada di luar kampung ketika malam hari dan dikawal orang bersenjata, maka mereka adalah gerombolan. Seragamnya pun jelas bintang merah. Di Jawa Barat perbedaan tidak jelas (Pikiran Rakjat 8 September 1958).
Mengenai revolusi mental, Kosasih mengungkapkan:
“….Kita harus sadari bahwa pokok pangkal keberesan negara, kemakmuran dan kebahagian rakjat bukan terletak pertama-tama pada ditaktur atau demokrasi, bukan terletak pertama-tama pada peraturan atau undang-undang, tapi kepada mentalitet manusia-manusia jang menggunakan dan mendjalankannja. Bukan revolusi sosial tetapi revolusi mental….. “
Militer Merangkul Ulama
Pendekatan terhadap korps pamongpraja Jawa Barat merupakan salah satu langkah untuk pemulihan keamanan. Apa yang dilakukan Siliwangi merupakan bagian dari kebijakan Nasution. Pihak TNI juga mengadakan pendekatan terhadap kaum ulama. Pada 7-9 Oktober 1958 langkah selanjutnya giliran 198 alim ulama se-Jawa barat di Hotel Paris Jati Lembang. Pertemuan itu dipimpin oleh Letkol Omon Abdurrachman. Kepala staf TNI AD A.H. Nasution memberikan sambutan bahwa selama gangguan keamanan terjadi di Jawa Barat dalam sehari seorang tentara gugur dan lebih banyak korban di pihak rakyat.
Hadir juga Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil dan Militer, KH.Wahib Wahab. Sementara Menteri Agama KH Iljas dalam sambutannya menyatakan alim ulama di zaman merdeka berbeda dengan masa penjajahan dahulu namun tetap menegakan amar ma’ruf nahi munkar.
Panglima Siliwangi Kosasih sendiri memberikan pernyataan, antara lain:
“Apakah kurang pengetahuan, apakah penyalahgunaan pengetahuan, apakah salah tafsiran atau perbedaan tafsiran, yang mengakibatkan kedjadian-kedjadian itu hanja Tuhan pengetahui. Sangat mudah sekali seorang jang beragama Islam sekarang ini melontarkan kata munafik dan kafir kepada orang lain sekali pun beragama Islam. Sedangkan munafik dan kafir adalah soaljiwa hanja Allah jang bisa mengetahui kebenarannja…”