Awal Agustus 1958 Badan Konstituante kembali menggelar rapat di Bandung. Badan yang ditugaskan membuat undang-undang ini mulanya membicarakan soal bendera, lagu kebangsaan, lambang dan ibukota negara. Sidang pagi pada 4 Agustus dipimpin Ny. Ratu Siti Aminah Hidayat dengan empat pembicara Ruspandi (PNI), Ido Garnida (PRIM), A. Mukhlis (PKI) dan Usman Mufti Widaja (Republik Proklamasi). Sementara pada malam hari pembicara Sudijono Djojprajitno (Murba), Ketut Subrata (PNI), Ny. Romlah Aziz (Masyumi), H. Masjkun (PSII) dan Rutma Ikrab (Permai). Tidak terlalu banyak perdebatan soal lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih, Lambang Negara Garuda sepakat itu hasil perjuangan dan tidak dirobah. Dalam pembicaraan mengenai ibukota, selain Jakarta, Bandung dan Malang disebut kandidat ibukota.
Tensi perdebatan mulai meninggi ketika Sidang Konstituante membicarakan Hak Azasi Manusia pada pertengahan Agustus 1958. Hadir dalam sidang antara lain Wakil Ketua IV Ir. Sakirman dan Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata sebagai wakil pemerintah. Isu dasar HAM seperti HAM dan Hak Kewajiban harus dirumuskan dalam UU nanti diungkapkan Sabilah Rasyad (PNI). Sementara diskriminasi dan tirani harus ditentang, HAM harus menjamin kebebasan dan rohaniah politik, sosial kenegaraan hingga kebudayaan dilontarkan WJ Rumambi, (Parkindo).
Dalam sidang tanggal 12 Agustus 1958 , Muzani A. Rani dari Mayumi menentang adanya diskriminasi dari penguasa dan meminta setiap orang mendapat lindungan yang sama yang adil. Kediaman (hunian) berhak dimiliki setiap warga negara tidak boleh diganggu gugat. Dua anggota Konstituante Ny. Dalam Ibu Syamsudin (PNI) menyinggung penyalahgunaan poligami dan Ny. Sititati Surosto (PKI) mengungkapkan soal HAM dan emansipasi wanita.
Soal poligami kemudian menjadi polemik, ketika Raja Keprabon (anggota perseorangan) menyatakan bahwa ia menyetujui poligami terbatas seperti ajaran Islam. Itu hal yang biasa. Namun yang mendatangkan reaksi ialah perkataannya : Jika perlu boleh lima sebab lima itu sesuai dengan Pancasila dan Islam pun terdiri dari lima huruf.
Raja Keprabon bahkan meminta UU mendatang harus mencegah poliandri, karena banyak wanita yang memelihara laki-laki secara gelap. Kawin atau menikah dengan laki-laki lain di samping suaminya sendiri yang sah. Raja Keprabon bahkan mengatakan laki-laki berwenang memerintah sebab laki-laki adalah lebih utama dan lebih sempurna akalnya daripada perempuan. Indonesia kelebihan wanita, jadi siapa yang memeliharanya.
Hanya selang sehari wakil-wakil perempuan dalam konstituante memberikan reaksi keras. Mereka menyebutkan bahwa kalimat-kalima dari Raja Keprabon merendahkan perempuan. Di antaranya Ny.Ratu Aminah Hidayat dari IPKI. Sejak Perang kemerdekaan Ratu Aminah merupakan aktifis. Istri dari seorang perwira Siliwangi Kolonel Hidayat Martaatmadja, pada 3 April 1946 mendirikan Persatuan Kaum Ibu Tentara (yang kemudian menjadi Persatuan Isteri Tentara). Ratu Aminah merupakan Ketua ke V dari Badan Konstituante . Pada sidang Kamis malam 14 Agustus 1958 anggota-anggota perempuan dari Badan Konstituante mencetuskan pernyataan sangat tersinggung dari kata-kata Raja Kaprabon.
Warga kota Bandung pun bereaksi. Tuti Otong warga Jalan Wayang nomor 5 dengan sinis menulis dalam surat pembaca Pikiran Rakjat 22 Agustus 1958 salut setinggi-tingginya dengan ide poligami lima wanita, tetapi ditekankan pada lima wanita yang liar dan akan mengurangi jumlah wanita liar.
“ Apakah dapat Bapak Radja memberikan bukti nyata kebenarannja? Kami bosan dengan ide-ide jang terlalu muluk jang kadang-kadang tjuma bikin ketawa” .
Polemik ini berhenti ketika Raja Keprabon akhirnya berdamai dengan wakil perempuan, Ny. Ratu Aminah Hidayat pada 24 Agustus 1958. Keduanya diberitakan terlihat bersalaman. Masalah lain berkaitan dengan HAM yang dibicarakan dalam Sidang Konstituante ialah mengenai hak demonstrasi dan mogok harus dicantumkan dalam UUD dilontarkan Jahja Jacob dari PKI. Politisi ini tidak setuju pengusaha menutup perusahaan dan memberhentikan buruh. Lainnya Yap Kian Cin dari minoritas Tionghoa menuntut perwakilan minoritas dan ikut memberikan keputusan dalam Konstituante.
Soal Hak Asasi Manusia sendiri dirumuskan pada 9 September 1958 ketika Konstituante mengadakan pemungutan suara mengenai judul bagian HAM. Mayoritas suara, yaitu 352 dari 443 anggota yang hadir memilih judul HAM dan Hak-hak Kewajiban Warga Negara. Hak-hak individu dimuliakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Pada 9 Desember 1958 Panitia Persiapan Konstitusi melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai HAM dan kewajiban sebagai warga negara. Hal yang bukan warga negara juga dimaksukan.
Wacana Demokrasi Terpimpin