[caption caption="Laudya Cynthia Bella dalam "Kakak" (kredit foto Muvila)"][/caption]
Entah apa yang merasuki saya untuk memilih menonton film horor “Kakak” besutan Ivander Tedjasukmana ketika memasuki gedung bioskop di salah satu kawasan Depok. Benar-benar iseng. Hanya ada 30 an penonton pada pertunjukan kedua pada Minggu 8 November 2015, sementara dua studio lain yang memutar “Spectre” dan “Air Mata Surga” terisi paling tidak dua pertiganya. Memang saya merencanakan sekalipun film horor Indonesia rata-rata menjadi bahan bully di dunia maya, tetapi saya selalu secara acak menonton dua film horor Indonesia sebagai sampel dalam setahun.
Opening scene mirip adegan sinetron atau FTV seorang anak perempuan umur sekitar 7 tahun tewas karena suatu penyakit. Ibunya histeris dan mengucapkan dialog sinetron: dokter tolong dokter, lalu suami dan isteri saling menyalahkan. Anak perempuan itu dipanggil kakak. Adegan beralih ke Kirana (Laudya Cynthia Bella) bersandar di tanggul dan darah mengalir di antara dua pahanya.
Saya sebagai penoton langsung menangkapnya keguguran dan suara Adi (Surya Saputra) di ponsel cerdasnya cukup mengisyaratkan kepanikan. Cerita bergulir Kirana sudah tiga kali keguguran dan Adi memutuskan untuk pindah dari rumah orangtuanya ke rumah baru: bisa ditebak rumah tempat anak itu meninggal.
Saya tadinya menebak bahwa “Kakak” akan sama dengan horror yang berbudget murah dan menjadi murahan setelah melihat tiga adegan pertama berturut-turut. Saya mengira film horror ini menyuguhkan cewek seksi yang ketakutan, sosok hantu yang menyeramkan dan kematian para tokoh-tokohnya.
Ternyata tebakan saya meleset sama sekali lewat dua adegan ketika sosok tidak terlihat menolong kirana tidak jatuh dari kursi ketika membetulkan lampu, ketika Kirana mencari alat bantu asma-nya menggelinding sendiri dan akhirnya Kirana yang awalnya ketakutan bersahabat dengan sosok bernama “Kakak” (Yafi Tesa Zahara). Sementara Sang Suami mulanya takut atas kehadiran penunggu rumah itu, akhirnya mau kompromi.
Persoalannya muncul hantu yang tadi bersahabat menjadi teror ketika ibu dan adik Adi menginap di rumah itu karena Kirana hamil dan harus dijaga kesehatannya. Keduanya secara tak sengaja “memproklamirkan perang” dengan membakar foto-foto dan boneka milik “Kakak” yang tertinggal di kamarnya (saya bertanya mengapa pemilik rumah yang lama lalai membawa barang-barang kenangan anaknya. Apa untuk menghilangkan trauma?). Alasannya benda-benda itu berdebu dan bisa mengganggu kesehatan Kirana yang mempunyai asma. Di sisi lain Adi khawatir “Kakak” tidak bisa menerima kehamilan isterinya. Untungnya Ivander Tedjasukmana mengakhiri film ini secara brilian dan tidak ecek-ecek.
“Kakak” adalah film terakhir Laudya Cynthia Bella sebelum mengenakan hijab. Hanya saja ditayangkan terlambat. Ketika posternya muncul saya sudah menduga tidak mungkin filmini dibuat sesudah “Surga yang Tidak Dirindukan”. Jadi sebetulnya ia tidak perlu repot-repot bikin konferensi pers, panik karena mengira dia akan dituduh melepas hijab demi film. Aktingnya dalam “Kakak” natural sekali, bagaimana wajahnya ketakutan, bagaimana memasang lampu, bagaimana ia bercakap-cakap dengan sosok tak terlihat seperti benar-benar.
Satu adegan ketika Bella bermain bola dengan sosok tak terlihat tampak jenaka, tetapi sebetulnya mengerikan kalau saya misalnya melihatnya sendiri. Juga adegan suara Bella menegur kenakalan “Kakak” menggoda tukang ledeng dengan bola dan ekspresi wajah tukang ledeng setengah ketakutan menarik. Memang dara kelahiran Bandung 24 Februari 1988 pantas diganjar piala dalam Festival Film Bandung lewat “Surga yang Tak Dirindukan”. Chemistry-nya dengan Surya Saputra benar-benar suami isteri. “Kakak” adalah perpisahan yang manis untuk Bella untuk hijrah dengan visi baru karirnya di dunia hiburan.
Secara keseluruhan plot cerita menarik. Beberapa adegan penampakan hantu anak kecil masih klise mirip film horor Jepang atau Thailand. Begitu juga tata suara beberapa kali berlebihan. Meskipun begitu saya mengakui “Kakak” memang di atas rata-rata film horor Indonesia dengan sinematografi sederhana. Bikin film horor tidak harus mematikan tokoh-tokohnya. Baju Kirana yang berganti setiap hari dan bukan itu-itu saja membuktikan sutradara cermat atas detail. Selipan adegan romantik dan komedi menjadi ceritanya utuh. Saya paling suka tidak ada lagi adegan cewek mandi diganggu seperti banyak film horor Indonesia.