Semangat nasionalismenya tampak dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kalimantan (1952) Maneser Panatau Tatu Hiang (1965) dan Kalimantan Membangun (1979). Dalam bukunya ia menyoroti antara lain semangat nasionalisme orang Dayak yang bergabung dalam Serikat Dayak 1919-1926 yang ingin memajukan Suku Dayak. Tjilik memang terikat dengan kebudayaan leluhurnya.
Angka 17
Pernah dalam suatu kesempatan, ia dapat pulang kembali ke tanah leluhurnya. Di sana Tjilik bertapa di Bukit Batu. Pada pertapaannya kali ini ia memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk perjuangannya melawan penjajah yang pada saat itu sedang “bertengger” di Indonesia. Dalam kesempatan itu ia bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka.
Setelah ia selesai melakukan pertapaanya, ia memperoleh suatu benda, yaitu sebuah batu yang berbentuk seperti daun telinga. Petunjuk yang ia peroleh sewaktu bertapa mengatakan bahwa batu yang ia peroleh itu dapat dipergunakan untuk mendengar dan memantau musuh apabila di letakkan berdekatan dengan daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan Indonesia, batu itu pun gaib keberadaannya.
Sebagai seorang pejuang yang sangat mencintai kebudayaan leluhurnya, ia sangat fanatik dengan angka 17, yaitu angka kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena begitu menyatunya dengan angka 17 ini pada dirinya maka sebagaian besar kehidupannya dipengaruhi oleh angka 17, berikut beberapa contohnya.
- Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia wakili kepada pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta 17 Desember 1946.
2. Desa Pahandut yang merupakan cikal bakal dari ibukota Kalimantan Tengah, yaitu Palangka Raya. Merupakan desa yang ke-17 yang dihitung dari sungai Kahayan.
3. Peletakkan batu pertama kota Palangka Raya yang melambangkan perjuangan yang telah memberikan hasil kepada masyarakatnya, pada tanggal 17 Juli 1957.
4. Ia menjadi gubernur yang pertama bagi provinsi yang ke-17, yaitu provinsi Kalimantan Tengah
5. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah tepat pada masa pemerintahan Republik Indonesia Kabinet yang ke-17.
Boleh dibilang kebetulan atau tidak Tjilik Riwut tutup usia pada 17 Agustus 1987 pukul 04.55 WIT di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin karena menderita penyakit lever / hepatitis dalam usia 69 Tahun. jenasahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya.
Pada 1998 Presiden RI menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional bagi Almarhum Tjilik Riwut.
” Penderitaan yang boleh dikatakan hampir belum pernah dienyam seumur hidup dialami. Dalam menjalani hidup selalu menjadi buronan musuh, terpaksa harus berhati-hati agar bisa lolos dari pengepungannya. Suasana ujung bayonet musuh inilah yang menyebabkan kami tidak tentu tempat kediaman. Tidak tentu pula tempat beristirahat. Kadang-kadang berlantaikan tanah, berkasurkan rumput basah, berselimutkan embun sejuk, beratapkan langit, berdindingkan kayu-kayu besar, berbantalkan akar, berlampukan bulan dan bintang. Makan minum tidak tentu, berhujan, berpanas, berjemur, kebasahan, pendeknya beragam-ragam pengalaman yang harus kami lalui. Meskipun demikian dorongan hasrat yang bernyala-nyala hingga ketujuan suci bisa tercapai. Itulah yang agaknya yang menyebabkan semangat dalam jiwa kami ” tak akan lekang oleh panas, tak akan lapuk oleh hujan”.
Tjilik Riwut