Pendidikan awal dimulai dengan masuk Sekolah Desa (Volkschool) di Kalimantan Tengah. Lulus Sekolah Desa (Sekolah Rakyat) pada  1930, Tjilik Riwut mengikuti seorang pendeta dari Swiss yang sedang bertugas di Kalimantan Timur yatu Pendeta Sehrel. Oleh Pendeta Sehrel Tjilik Riwut dibawa ke Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Perawat Taman Dewasa hingga lulus tahun 1933. Sekolah Taman Dewasa sebenarnya merupakan jenjang lanjutan Sekolah Taman Muda dalam pendidikan Taman Siswa. Hanya anak-anak berprestasi baik yang dapat melanjutkan ke sekolah ini dan Tjilik Riwut adalah adalah salah satu di antaranya. Dua juga mengenyam pendidikan sekolah perawt.
Sekalipun sepak terjangnya pada masa kemerdekaan lebih banyak di bidang militer, Tjilik memulai perjuangannya di dunia junalistik.  Padahal sebetulnya  latar belakang pendidikannya  sekolah perawat di Bandung dan Purwakarta. Tjilik Riwut belajar dunia  jurnalistik melalui sebuah kursus pada . Pada 1940 Tia  menjadi seorang pemimpin redaksi majalah Pakat Dayak bersama Suara Pakat.  Dia juga menjadi Koresponden Harian Pemandangan, pimpinan M. Tambrani. Ia juga menjadi koresponden Harian Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane, seorang sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. Pegulatan di bidang tulis menulis ini membuatnya berkenalan dengan perjuangan kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang, Tjilik direkrut untuk mengumpulkan data-data seputar keadaan Kalimantan demi kepentingan militer Jepang. Ia mempergunakan kesempatan ini untuk tujuan lain membangun jaringan, komunikasi dan mengkordinasi suku-suku di pedalaman yang kelak pada Perang Kemerdekaan merupakan kekuatan baginya.
Tjilik adalah salah seorang tokoh yang mewakili 142 suku Dayak yang berada di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang menyatakan diri dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur suku Dayak kepada pemerintah Republik Indonesia (17 Desember 1946) di gedung Agung, Yogyakarta. Di bidang politik Tjilik pernah menjadi seorang anggota KNIP (1946 – 1949).Â
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 mulanya tak terdengar di Kalimantan, karena sejk Jepng berkuasa alat-alat penghubung dirusak dan disita Jepang . Kecuali beberapa uah radio Rimbu yang disimpan dan masih dapat dikapai. Dengan sisa radio ini orang Kalimantan mencri berita secra sembunyi. Merek tahu Jepang kalah perang dan bertekuk lutut. Kedatangan A.A. Hamidhan dan A.A Rivai di Banjarmasin dan kandangan diketahui Borneo Simun dan proklamai diketahui. Pemerinath kemudian mengangkat Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagi Gubernur Kalimantan.
Â
Untuk memperkenalkan diri siapa gubernur mereka, maka direncanakan gubernur beserta rombongan untuk mengadakan perjalanan ke Banjarmasin. Bersama rombongan gubernur ikut pula anggota Palang Merah yang salah seorang anggotanya adalah Tjilik Riwut (karena latar belakangnya pendidikan perawat). Tetapi keberangkatan mereka terpaksa ditunda. Kapal yang mereka tumpangi, Kapal Merdeka, tertembak oleh pasukan Sekutu yang pada saat itu sedang terjadi pertempuran besar antara Surabaya melawan Sekutu pada 10 November 1945.
Kegagalan pemberangkatan ke Kalimantan    membawa perubahan yang sangat penting di dalam kehidupan seorang pemuda bernama Tjilik Riwut.  Tjilik meninggalkan dunia  Palang Merah dan memilih terlibat langsung dalam kegiatan kemiliteran, karena itu kini Tjilik Riwut mempunyai ketrampilan di bidang militer yang diperolehnya dari hasil pendidikan militer terhadap pemuda-pemuda Kalimantan di Pulau Jawa.
Mayor Tjilik Riwut memimpin pasukan mengelilingi Kalimantan Selatan, Barat, Tengah dan Timur dengan nama  Pasukan MN 1001 dan mendirikan pemerintah sipil untuk memberikan peneranngan pada puluan tempat, seperti Tabuk, Sukamara, Kotawringin, Nangabulik, Nanga Gatal, Smbi, Kandangan, Amuntai, Banjarmasin, Lamandau dan sebagainya.  Pasukannya yang juga disebut Pasukan ekspedisi dua mendarat di Sungai Tabuk pada 6 Maret 1946. Kedatangan mereka disambut baik masyarakat setempat. Selanjutnya dibentuk  tiga kelompok dengan tujuan operasi yang berbeda.  Pertempuran yang paling heroik  yang melibatkan pasukan ini antara lain terjadi dalam Maret 1946 di mana para pejuang menyeragap pasukan NICA di Teluk Bogam. Dua kapal motor boot ditenggalamkan, sekitar 40 tentara NICA dipimpin Letnan De Vries tewas.
Setelah perang Tjilik merintis karir politiknya. Pada 1950 ia menjadi Wedana di Sampit, Kalimantan Tengah, 1950-1951. Dia kemudian menjadi Bupati Kotawaringin Timur, 1951-1956 sebagai Bupati Kepala Daerah Swantara Tk.II Kotawaringin Timur.Tjilik Riwut juga kerap mengemban berberapa tugas jabatan berbeda dalam rentang waktu yang sama. Misalnya pada 1957 ia adalah residen pada kantor persiapan / pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin.
Pada 1958, ayah dari 5 anak ini menjadi residen DPB pada pemerintahan swantara Tingkat 1 Kalteng; 1958-1959 menjadi Penguasa/ Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat.I Kalimantan Tengah. Sementara pada 1957-1959 Tjilik Riwut adalah juga Anggota Dewan Nasional RI. Pada puncaknya, Tjilik Riwut menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah pertama pada 1959-1967. Tjilik Riwut pulalah yang memimpin, mendirikan serta membangun hutan di sekitar desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah. Â Tjilik menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagai anggota DPR RI.