Pengaruh pandangan pergerakan pemuda ini, membuatnya tidak betah bersekolah karena menilai guru-gurunya yang orang Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa barat dan merendahkan Bangsa Indonesia. Akhirnya Nani Wartabone lebih sering mengahabiskan waktunya untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin, Soetomo, dan H.O.S Cokroaminoto.
Berbagai pemikiran nasionalisme dari berbagai tokoh itulah yang kemudian menjiwai perjuangan dan kepribadiannya sampai ia balik ke Gorontalo. Setibanya di kampung halamannya, Nani Wartabone menggerakan rakyat untuk berani menentang Belanda. Ia menanamkan cita-cita kemerdekaan kepada semua masyarakat. Kiprahnya bermula ketika ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo.
Pada 1939 sewaktu di Jakarta ada aksi “Indonesia Berparlemen” yang dipelopori oleh Muhammad Husni Thamrin dan sejumlah pemuda Indonesia lainnya. Gerakan ini tampaknya menggugah pemuda di Gorontalo. Sejumlah pemuda di Gorontalo membentuk Komite 12 yang kemudian menjadi panitia aksi Indonesia Berparlemen Daerah Indonesia Timur. Di antaranya Nani Wartabone.
Selain pergerakan politik, Nani Wartabone juga memberikan konstribusi pada gerakan pendidikan dan ekonomi kerakyatan.Dia membentuk Persatuan Tani di gorontalo pada November 1927 di Gorontalo. Pada 1932 Nani mendirikan Sekolah Desa Muhamadyah di Suwawa. Setahun kemudian Nani mendirikan Koperasi Muhamadyah di Gorontalo.
Peristiwa 23 Januari 1942
Nani tidak puas hanya membentuk organisasi pergerakan. Dia membuat langkah yang lebih lugas. Pada 1941 dia sudah mempengaruhi sejumlah polisi di Gorontalo. Ini modal yang membuatnya bisa memimpin gerakan 23 Januari 1942 yang bersejarah bagi rakyat Gorontalo. Pada hari itu meletus suatu pemberontakan yang memanfaatkan kepanikan Hindia Belanda menghadapi serbuan Jepang.