[caption id="attachment_421805" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan dalam San Andreas (kredit foto : http://artofvfx.com/)"][/caption]
Apa lebihnya San Andreas dari 2012? Apakah sinematografinya jauh lebih baik? Bagaimana juga dengan film bencana lainnya seperti The Day Aftar Tommorow (2004)? Atau film bencana yang lebih kecil seperti Dante’s Peak (1997)? Ceritanya hampri sebangun ada human relationship mantan pasangan, ayah dan ibu yang bercerai, kecintaan terhadap anak-anak di tengah bencana maha dahsyat. Tetapi hanya The Day After Tommorow yang menurut saya memberikan pesan mendalam bahwa penyebab bencana alam ialah ulah manusia sendiri-tepatnya keserakahan sistem kapitalisme. Dalam The Day After Tommorow tak ada itu hero Amerika, yang ada hanay orang-orang Amerika akhirnya berlindung di negera dunia ketiga, seperti Meksiko, negara yang kerap dibikin menderita oleh ulah kapitalisme.
Dari segi sinematofrafi, San Adreas luar biasa, keren, membuat saya berdecak kagum, sekaligus ngeri bagaimana rasanya kalau berada di tengah bencana seperti ini? Beginikah kalau kiamat tiba? Teknologi effek 3D membuat kehancuran kota San Fransisco, California di patahan San Andreas tak kalah memukau dari 2012. Gedung-gedung San Fransisco tumbang, runtuh, luluh lantak seperti pasir diguncang gempa di atas 9 skala richter, dihantam tsunami. Jembatan Golden Gate dengan mudah patah seperti batang korek api.
Tetapi setelah itu apa? Mirip seperti jagoan Amerika keluar dengan tegar mengalahkan para alien dalam Independence Day atau mengalahkan para teroris yang menyusup ke Amerika: bahwa Amerika bisa membangun kembali. Bgeitu saja. Tak ada pelajaran yang bisa dipetik. Kecuali mungkin pentingnya peran ilmuwan yang memberikan prediksi akurat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Tetapi semua film bencana bukankah seperti itu?
Jalan cerita human relationship bisa ditebak dengan mudah. Hubungan Ray (Dwayne Jhonson atau The Rock), seorang petugas SAR yang bercerai dengan istrinya Emma (Carla Cugino) dan berpisah dengan anaknya Blake (Alexandra Daddario) dipersatukan kembali karena bencana. Adanya orang ketiga Daniel (Ian Gruffud) yang lebih mapan secara materi dan tentu lebih menyebalkan kharaketernya, dibuat oportunis adalah pola basi film Hollywood. Tentu saja ada seorang cowok tampan bernama Ben yang bakal naksir Blake. Biar komplit ada adiknya bocah yang pintar mencari jejak. Ada sih kepahlawanan Kim orang peranakan Korea, rela melemparkan anak di tengah bendungan raksasa yang runtuh bencana di gendongan agar bisa selamat di pelukan Lawrence dan dia sendiri tewas. Biar bukan orang kulit putih saja yang pahlawan. Opening scene penyelamatan yang dilakukan Ray terhadap perempuan bernama Natalie yang terperosok jurang lumayan memperkenalkan kharakter dan tugas Ray.
Alangkah menariknya kalau orang ketiga ini juga heroik dan laki-laki dari kalangan biasa saja. Nah siapa yang dipilih si perempuan? Kehadiran ilmuwan seperti Lawrence dan wartawati Serena seperti legitimasi cerita saja, karena bagaimana bisa menjelaskan secara logis bagaimana bencana yang katanya lebih dahsyat dari bom atom di Hirosima, serta bagaimana informasi bisa disebarkan? Lebih mencekam kalau bencana tsunami Aceh difilmkan, bagaimana rasanya di tengah bencana tidak ada kontak sama sekali dan tidak ada pertolongan selama puluhan jam? Kalau San Andreas, kok rasanya saya hanya seperti menyaksikan film laga ala Dwayne “The Rock” Jhonson?
Saya tidak belajar sesuatu yang baru. Sekalipun secara gagasan memang logis juga, San Andreas adalah kawasan yang rawan bencana dalam berbagai literatur, seperti halnay kawasan sekitar Jepang.
Judul Film : San Andreas
Sutradara : Brad Peyton
Bintang : Dwayne Jhonson, Carla Cugino, Alexandra Daddario, Ian Gruffud, Paul Giamatti, Archi Panjabi
Rated : **
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H