[caption id="attachment_406554" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu sudut Gunung Padang (dok pribadi Irvan Sjafari)"][/caption]
Cuaca cerah adalah keberuntungan bagi saya dan rekan saya Widya, dua jurnalis dari sebuah majalah tiba di situs Megalitik Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur sekitar pukul sepuluh pagi. Berkunjung pada waktu week day memang menjadi pilihan kami karena jarak tempuh dari Bandung hanya memakan waktu sekitar tiga jam. Itu pun dengan menyewa mobil dan jalan raya relatif tidak macet. Hal yang berbeda kalau berkunjung di waktu akhir pekan.
Ada dua tempat parkir bagi pengunjung, yaitu lapangan tak jauh dari pintu gerbang. Menurut Aep, supir rental kami yang biasa melayani pengunjung dari Bandung-Gunung Padang, kalau waktu week-end semua kendaraan harus parkir di tempat ini dan harus berjalan kaki ke lapangan kedua dekat tempat tiket yang memang lebih sempit. Loket untuk masuk Rp4.000/orang cukup terjangkau. Jangan khawatir soal makan karena terdapat banyak warung di sekitar tempat parkir.
Dari tempat parkir pertama ada panorama menarik dari ketinggian sekitar lima puluh meter ke arah persawahan, yaitu sejumlah rumah panggung khas Sunda. Konstruksinya tampak kokoh menurut Aep memang dipersiapkkan untuk penginapan para turis. Rumah-rumah seperti ini masih banyak di daerah Priangan Selatan, seperti Ciamis dan Pangandaran. Situs Gunung Padang sendiri berada pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut.
Kini kami harus menapak lokasi yang berbukit curam setinggi sekitar seratus meter dengan 468 anak tangga membentuk dua jalur, yang pertama tersusun dari batu adesit alami yang direkonstruksi dan yang sebelah kanan dari bahan semen dan pasir. Kedua jalur yang sama sulitnya sebetulnya karena derajat kemiringannya hampir 45 derajat. Hanya saja yang kanan untuk wisatawan ada tempat datar untuk jeda. Kami memilih jalur pertama ketika mendaki.
Dari jumlah anak tangga sebetulnya mendaki ke lokasi Situs Gunung Padang masih kalah dengan Gunung Galunggung dengan 600-an anak tangga, tetapi lebih sulit dibanding Kampung Naga, Tasikmalaya yang mempunyai 360 anak tangga. Butuh waktu lima belas menit untuk bisa mencapai lokasi. Keringat pun bercucuran. Amboi pemandangan di sebelah kiri cukup bagus permadani hijau terhampar.
Begitu kami tiba bagian kedua tampak ratusan berbatuan terhampar batuan berbentuk balok berjenis andelit bosalitis tumpah ruah. Ada yang melintang, berdiri miring, dan ada yang vertikal. Ada yang berserakan dan ada yang tersusun mengikuti kontur bukit. Bagian kedua lokasi ini luasnya sekitar 30 x 30 meter (mungkin lebih) dengan pemandangan dari atas cukup menakjubkan.
Tempat Ritual Dahulu Kala
Sekitar setengah jam mengitari lokasi bagian kedua ini, kami naik ke tingkat berikutnya, yaitu bagian pertama yang masih diteliti tim arkeologi yang dipimpin oleh Lutfi Yondri, arkeolog dari Badan Arkeologi (BALAR) Bandung. Menurut alumnus arkeologi UI ini jelas bahwa Gunung Padang adalah tempat situs pundak berundak dari masyarakat yang sudah mengenal struktur sosial, serta bercocok tanam. Gunung Padang jelas lebih maju dari manusia prasejarah Goa Pawon yang ditemukan sekitar 40 kilometer dari situs Gunung Padang sudah berusia 10.000 tahun.
[caption id="attachment_406556" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Padang dari menara"]
“Fungsinya sebagai tempat upacara keagamaan atau ritual. Karena tempat upacara keagamaan dipastikan ada pimpinannya. Itu artinya ada struktur sosial. Batu-batu ini merupakan produk gunung api. Kalau diperhatian batu-batu ini ada yang melintang dan ada yang tegak miring dan ada yang vertikal. Kalau yang sudah tegak miring atau vertikal sudah kultural, sementara yang tidur kemungkinan natural,” terang kandidat doktoral di Universitas Padjadjaran ini.
[caption id="attachment_406557" align="aligncenter" width="300" caption="Irvan, widya dan pakar Gunung Padang Lutfi Yondri (Kredit foto dokumen pribadi)"]
Lutfi kemudian menunjuk beberapa spot yang batu-batunya tersusun vertikal menjadi teras. Dia juga menunjuk batu-batu bersusun yang digali untuk mengetahui apakah memang terbentuk alami dan apakah ada batu sambungannya. Luas zonasi Gunung Padang ini total sekitar 29 hektar. Lutfi membantah adanya piramid dan kandungan emas seperti yang pernah diungkapkan Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) Gunung Padang yang disebut berusia 23 ribu tahun saja dengan teknologi lebih maju. Mustahil, karena situs Goa Pawon yang tergolong prasejarah berusia 10 ribu tahun.
”Kami dari lingkungan lembaga penelitian juga sudah melakukan analisis pertanggalan lewat pertanggalan karbon. Sampelnya arang yang ditemukan dari pembukaan kotak ekskavasi di sisi timur teras 4.Arang tersebut ditemukan di lapisan tanah di bawah dinding teras... terletak 20 cm lebih dalam dari temuan fragmen gerabah berselip merah (Buni Culture). Hasil perkiraan waktunya 16 +/-32 SM,” paparnya lagi.
Sementara berdasarkan keterangan dari peneliti dari Badan Geologi, Unpad, Profesor Sutikno Bronto seperti yang dikutip dari kompas, batu-batu tersebut terbentuk dari hasil fenomena alam berupa letusan gunung api purba Karyamukti lebih dari 10.000 tahun lalu. Material paling banyak dalam batuan tersebut terdiri dari silika (kaca) dan kristal.
Bagian pertama mempunyai menara pemandangan yang bisa digunakan untuk menikmati zonasi dengan lebih leluasa. Sayang tangganya cukup curam, hingga menapak harus berhati-hati. Namun apabila Anda tiba di balkon maka Anda bisa melihat pemandangan terhampar. Tempatnya cukup teduh untuk berlindung di kala panas maupun hujan. Saya mengamati dari ketinggian, sementara Widya berkeliling mengamati situs.
Sekitar tengah hari kami turun kembali ke bawah. Setelah menikmati makan siang di warung milik penduduk, kami menemui Rusmana, 30 tahun warga yang menjadi salah satu dari 30 pengelola situs ini. Padang dalam bahasa Sunda berarti 'terang', 'ketenangan', dan 'kecerahan'. Menurut cerita tutur dari kakek Rusmana, dahulunya tempat ini sempat menjadi tempat pertemuan raja-raja Sunda atau Padjadjaran. Cerita juga dihubungkan dengan kesaktian. Penebangan pohon 1970-an juga ikut merusak situs. Cerita tutur juga menyebutkan ada lokasi lain yang juga bersejarah berhubungan dengan Gunung Padang.
“Dahulunya memang masih ditutupi hutan, tetapi ada permukiman sekitar 50 kepala keluarga,” ucap Rusmana.
[caption id="attachment_406558" align="aligncenter" width="300" caption="Kang Rusmana (kredit foto irvan sjafari)"]
Penelitian Situs Gunung Padang pertama kali dicatat oleh NJ. Krom pada tahun 1914. Sejak ditemukan kembali pada tahun 1979 sudah dilakukan penelitian baik oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Bandung, serta oleh Direktorat Purbakala yang sekarang disebut Diirektorat Cagar Budaya dan Museum beserta Balai Cagar Budaya. Situs Gunung Padang mulai dikunjungi orang sekitar 2010. Namun jumlah wisatawan baru ramai sekitar 2011. Ketika heboh piramid jumlah pengunjung sekitar 17 ribu per bulan, namun ketika isu itu dibantah para ahli jumlah pengunjung kembali seperti 2011 sekitar 7-8 ribu per bulan.
Untuk mencapai lokasi Gunung Padangdari Kota Cianjur berbelok ke Warung Kondang. Dari Jakarta jaraknya 165 km dan dari Bandung sekitar 110 km.Perjalanan melalui jalur naik-turun, kadang aspalnya mulus dan kadang jalanan berlubang dan berbatu.Panduan terdekat menuju lokasi adalah sekitar 26 km arah barat daya ada Stasiun Kereta Api Lampegan (1879-1882). Sebetulnya ada terowongan yang dapat menjadi tempat menarik untuk disambangi sebelum tiba atau pulang dari Situs Gunung Padang. Sayang tidak punya waktu untuk singgah.
Kami sendiri baru pulang ke Bandung sekitar pukul dua siang agar tidak sampai mahgrib. Kami bersyukur tiba kembali sekitar lima sore sekalipun ada kemacetan di beberapa titik.
Cianjur, 17 Maret 2015
Irvan Sjafari, Widya Yustina
Foto-foto : Irvan Sjafari, Widya Yustina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H