Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandung 1956 (3) Mutasi Bupati Bandung Male Wiranatakusumah dan Front Pemuda Sunda

31 Desember 2013   17:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:18 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 1956 merupakan tahun yang penting dari sudut pandang politik di Jawa Barat, baik tingkat propinsi, Kabupaten Bandung, maupun Kota Bandung.Pada tahun itu terjadi pergantian kepempimpian yang tidak semuanya berlangsung mulus.Ada kesan bahwa elite politik di pusat kerap tidak memahami aspirasi akar rumput di daerah, bukan saja di Jawa Barat, tetapi di sejumlah daerah.Sementara di tingkat nasional antara elite politik sendiri juga tegang yang berujung dengan retaknya dwitunggal Soekarno-Hatta.

Madjalah Merdeka No 33 Tahun ke IX 18 Agustus 1956 menurunkan tulisan yang menjadi bisik-bisik di kalangan rakyat “Ulang Tahun ke 11 RI: Lambaian Bendera Jang Terakhir Menjaksikan Dwi Tunggal”. Dalam artikel itu disebutkan adanya sepucuk surat yang ditandatangani Wakil Presiden Hatta tertanggal 20 Juli 1956telah disampaikan kepada ketua parlemen yang diterima pada 23 Juli 1956.Isinya pemberitahuan Hatta untuk mengundurkan diri selaku WakilPresiden RI setelah konstituante terbentuk.

Hatta dalam pidatonya di Cirebon, di depan kepala-kepala jawatan, pejabat sipil, militer, tokoh koperasi wilayah itu pada Senin 23 Juli 1956 menyatakan kekecewaannya pada kondisi republik masa itu. Dia membicarakan soal kemiskinan yang diderita rakyat, korupsi yang makin memuncak dan pemimpin yang hanya pandai bicara saja. “Kemiskinan dan kemelaratan serta korupsi adalah musuh rakyat yang paling besar. Persoalan sekarang bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran ke seluruh rakyat Indonesia,” kata Hatta ( lihat juga Pikiran Rakjat, 26 Juli 1956).

Pada Juli 1956 sebuah misi parlemen mengadakan kunjungan ke Sumatra Timur dan Sulawesi Utara untuk mengetahui bahwa telah terjadi penyelundupan yang kemungkinan melibatkan anggota angkatan perang dan tokoh-tokoh daerah. Mereka mendapati kekecewaan di daerah bahwa sebagian besar keuangan pemerintah dari daerah, tetapi daerah yang bersangkutan mendapatkan hasil tidak seberapa. Pemerintah harus lebih banyak memberikan perhatian kepada kepentingan daerah, seperti perbaikan jalan, pengadaan alat angkutan, pembukaan obyek ekonomi, memperbanyak sekolah dan rumah sakit (Madjalah Merdeka No 29, 21 Juli 1956).

Mutasi sejumlah bupati di Jawa Barat tidak semua berlangsung mulus, bahkan di Kabupaten Bandung menjadi isu politik yang cukup panas. Selain mutasi bupati Bandung , pada 1956 juga terjadi pergantian walikota Bandung, Enoch ke tangan Ipik Gandamana kemudian ke tangan R.Priyatna Kusumah, pergantian Panglima Siliwangi antara Kolonel A.E Kawilarang dengan Kolonel Suprayogi hingga Gubernur Jawa Barat dari Sanusi Hardjadinata ke Ipik Gandamana. Namun dalam tulisan ini saya menyoroti lebih dahulu soal mutasi Male Wiranatakusumah dan persoalan politik lainnya dalam tulisan berikutnya.

Sementara dalam bagian kedua tulisan ini ialah munculnya Front Pemuda Sunda dan segalapro-kontranya.Pembahasan lebih ditunjukan pada perkembangan yang terjadi pada Maret hingga awal Juli 1956.Perkembangan berikutnya dibahas dalam tulisan lain.

Mutasi Male Wiranatakusumah

 

[caption id="attachment_312717" align="aligncenter" width="300" caption="Male Wiranatakusumah (kredit foto wikipedia)"][/caption]

 

Sebagai keturunan pendiri kota bandung danbupati sebelumnya,Male Wiranatakusumahmemang berakar di kalangan rakyat Kabupaten Bandung.Kelahiran 14 September 1911diangkat menjadi Bupati Bandungpada 14 Januari 1948.Malemenamatkan pendidikan MOSVIApada 1935.Bupati R.Male Wiranatakusumah ikutterlibatmendirikan negara Pasundan. Istilah ini lahir pada 4 Mei 1947. Setelah itu di Bandung diadakan konferensi Jawa Barat yang bertujuan BadanPemerintahan daerah Sementara.Konfrensi ini dipimpin olehHilman Jayadiningrat.Sejarah kemudian mencatat Negara Pasundan (bersama RIS)melebur ke dalam RI.

Pada 17Maret 1956 serah terima jabatan Bupati Kabupaten Bandung Raden Tumenggung Male Wiranatakusumah keR. ApandiWiradiputra yang tadinya menjabat Bupati Tangerang.Mutasi jabatan adalah hal yang biasa, tetapi tersiar kabar bahwa Male Wiranatakusumah hanya dipindahkan ke Kantor Gubernur.Pada 5 Maret1956DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara) Kabupaten Bandungsudah menangkap keresahan ini dengan menolak pergantian bupati dan ingin mempertahankan Male.

Namun pemerintah pusat tidak menangkap hal ini. Akibatnya pada waktu pelantikan di pendopo ribuan rakyat dari segala jurusan di Kabupaten Bandung memenuhi halaman pendopo dengan maksud yang sama: Ingin jabatan Male dipertahankan. Upacara yang dilangsungkan pukul 10 pagi itu diliputi suasana haru. Bupati Male keluar dari kamarnya diiringi Wedana Surya Pranata. Rakyat pun memalingkan muka ke arah pemimpin yang mereka cintai itu.

“Saya minta dengan sangat perhatian dan bijaksana saudara residen mengundurkan pemasrahan (timbang terima) sampai saat memungkinkan,” ujar Bupati Male.

Residen Priangan Ipik Gandamana yang ditunjuk mewakili Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan menangguhkan timbang terima sampai ada ketentuan dari pusat. Rakyat pun bubar ketika Bupati Male memberikan wejangannya (Pikiran Rakyat, 19 Maret 1956).

Tantangan terhadap mutasi Male Wiranatakusumah terus berlanjut. Awal April 1956 Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) Cabang Bandung mendesak Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri agar meredakan suasana di Kabupaten Bandung. Tuntutan PPDI Cabang Bandung ini juga didukung oleh Partai Nathadul Ulama Cabang Bandung. Dasarnya adalah kepribadian Male yang cukup progresif. Pernyataan atas nama 43 ribu anggota NU di Kabupaten Bandung. Delegasi DPRD/DPD Kabupaten Bandung menemui Menteri Dalam Negeri Sunaryo (Pikiran Rakjat, 5 April 1956).

Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata akhirnya memberikan penjelasan untukmeredakan kemelut ini pada 22 April 1956.Menurut gubernur persoalan yang timbul dipertahankannya Bupati Male oleh DPDS (Dewan Pemerintahan Daerah Sementara) Kabupaten Bandun dan enggan menyerahkan pekerjaan urusan otonomi kepada Bupati Apandi Wiradiputra.Peristiwa ini sudah dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta dan seluruh persoalannya terserah kebijakan Mendagri.

Menurut Sanusi, bupati yang resmi menjabat kepala daerah di Kabupaten Bandung tetap Apandi Wiradiputra. Male diperbantukan pada Gubernur Jawa Barat. Mutasi tersebut juga dialami bupati-bupati daerah lain. Sanusi memberikan dictum kepada mereka yang tidak setuju bahwa menurut pasal 2 ayat 3 UU 22/1948 disebutkan Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD. Sementara pada pasal 18 ayat 2 dari UU 22/1948 kepala daerag Kabupaten (kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikitnya 2 atau sebanyak-banyaknya 4 calon yang diajukan DPD. Pasal 46 ayat 4 pada PP itu untuk sementara waktu pengangkatan kepala daerah dijalankan menyimpang dari ketentuan pasal 18. DPD tidak dinyatakan mempertahankan tapi hanya mengajukan calon.

“Dipindahkannya Bupati apandi ke Bandung untuk membantu pembangunan di daerah ini karena dia dikenal bupati tercakap di Jawa Barat,” kata Sanusi seperti dikutip Pikiran Rakyat, 23 April 1956.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) bersikap tidak mengeluarkan uang kepada pemerintah urusan otonom Kabupaten Bandung. Bagi Sanusi hal itu wajar karena menurut peraturan yang berlaku instansi itu baru bisa mengeluarkan uang setelah ditandatangani oleh yang berhak dalam hal ini Bupati Apandi Wiradiputra. Masalahnya bukan saja BRI yang melakukan , tetapi juga Kantor Pusat Perbendaharaan (KCK) dan kas negeri melakukan hal yang sama. Majalah Merdeka edisi 17 Thn IX pada 28 April 1956 melaporkan bahwa Wakil Ketua DPD Kabupaten Bandung tidak bisa mengambil uang pembayaran uang swatantra (uang otonomi).

 

 

[caption id="attachment_312719" align="aligncenter" width="300" caption="Antrean di depan loket kas daerah 1956 (kredit foto Madjalah Merdeka, 28 April 1956)"]

138848721053895349
138848721053895349
[/caption]

 

Pernyataan Gubernur mendapatkan reaksi dari DPDS Kabupaten Bandung pada awal Mei 1956. DPDS Kabupatan Bandung bersikeras penafsiran atas pasal 2 UU No 22/1948 itu pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Kepala daerah menjabat Ketua dan anggota DPD adalah kepala daerah yang diangkat mendagri atas usul DPD sebagaimana yang ditentukan pasal 18. DPRD Kabupaten Bandung juga mengirim telegram supaya pemindahan Bupati Male dibatalkan (Pikiran Rakjat, 2 Mei 1956).

Pada pertengahan Mei 1956 tersiar desas-desus bahwa Bupati Apandi Wiradiguna akan dimutasikan lagi menjadi kepala Daerah Kabupaten Tasikmalaya mengganti Bupati Priatna Kusumah. Situasi kian memanas ketika Dewan daerah PNI Jawa Barat pada 9 April lalu mengeluarkan larangan para anggotanya memasuki dan membantu organisasi yang bersifat kesundaan. Akibatnya organisasi seperti Tresna Sunda (Bogor), Daja Nonoman Sunda (Jakarta) dan Nonoman Sunda (Bandung) mengadakan pertemuan membahas instruksi tersebut. Ketiganya menyatakan diri bukan sebagai organisasi yang bersifat partai politik.

Dalam pertemuan itu ketiga organiasi menyatakan bahwa mereka hanya ingin meningkatkan harkat dan derajat bangsa dan negara Indonesia dengan meninggikan kebudayaan daerah. Instruksi PNI disebutkan sebagai fitnahan dan hinaan bagi suku bangsa Sunda dan organisasi-organisasi di atas khususnya. Ketiga organisasi itu menuduh instruksi PNI bersifat memecah-belah persatuan seluruh rakyat Indonesia (Pikiran Rakjat, 17 Mei 1956).

PNI Jawa Barat juga mengadakan konferensi di Bandung pada 19 hingga 21 Mei 1956 yang dihadiri seluruh cabang. Konferensi itu mengambil keputusan antara lain mendesak pemeirntah supaya segera mengelaurkan peraturan tentang pergantian DPRDS dengan pertimbangan hasil Pemilu 1955. Konferensi juga menyebutkan bahwa gerakan kedaerahan sebagai gerakan yang berbahaya (Pikiran Rakjat, 24 Mei 1956).

Pada 12-14 Juni 1956 masalah mutasi bupati di Bandung menjadi perdebatan sengit di DPRDS Jawa Barat. Dalam sidang pleno pada 12 Juni 1956 yang dibuka politisi Masyumi Rusjad Nurdin pada 9.30 di antaranya pemandangan umum babak pertama yang menghasilkan tiga pandangan soal mutasi Male Wiranatakusumah.

1. Pihak yang menuduh DPD bertindak melampaui batas-batas yang ditentukan

2. Masalah mutasi diselesaikan denagn sidang antara DPRDS, Gubernur dan Mendagri

3. Male Wiranatakusumah tetap dipertahankan (Pikiran Rakjat, 13 Juni 1956)

Dalam pandangan hari berikutnya DPRD Jawa Barat memunculkan tiga pandangan lagi.

1. Tetap mempertahankan Male Winaranatakusumah

2. Dibiarkan seperti sekarang dengan dua bupati

3. Menerima keputusan Mendagri (Pikiran Rakjat, 14 Juni 1956)

Dalam sidang itu anggota DPRDS Jawa Barat bernama Suwendi meneybtukan adanya kesalahan penfasiran soal pasal-pasal dalam UU No 22/1948. Anggota Hadi Hasanaudin menyebutkan pekerjaan pemerintah daerah lebih ringan  apabila dikerjakan dua orang. Ketika diadakan pemungutan suara tiga anggota DPRDS Abu Nazir, Oman dan Suwendi meninggalkan sidang.

Apandi Wiradiputra akhirnya mengeluarkan pernyataan mengharapkan DPRDS/DPDS untuk mempertimbangkan UU No.10 tahun 1956 yang menyebutkan wewenang penunjukkan pejabat ada pada pemerintah pusat. Dia mengakui bahwa soal mengenai otonomi daerah belum diserahkan kepadanya. Di antaranya instruksi dari pusat untuk meninjau obyek otonomi daerah. Kalau instruksi tidak dilaksanakan maka yang disalahkan adalah dirinya. Apandi mengaku sudah mengundang DPDS untuk bersidang tetapi dianggap sepi (Pikiran Rakjat, 14 Juni 1956).

Hingga pertengahan Juli 1956 persoalanmutasi Bupati Male Wiranatakusumah belum terselesaikan. Kalangan DPRDS baik Kabupaten Bandung, Kota Besar Bandung hingga Jawa Barat menghadapi masalah“deadline” 1 Juli 1956 mereka harus bubar atau demisioneratas instruksi Menteri Dalam Negeri karena sudah adanya anggota parlemen hasil pemilu1955.Namun kalangan DPRDS menghendaki adanya DPRD peralihan agar tidak terjadi kekosongan demokrasi sebelum hal itu terwujud.Ini terjadi karena perbedaan tafsiran soal UU No. 7 dan No 10 1956(Pikiran Rakjat, 13 Juli, 6 Agustus 1956).

Gerakan Pemuda Sunda

Pada 17-18 Maret 1956 sekitar 50 orang utusan beberapa organisasi Pemuda Sunda, di antaranya Nonoman Sunda Bandung, Mitra Sunda Bandung, Putra Sunda Bogor dan Daja Nonoman Sunda Djakarta, serta perseorangan yang terkait mengadakan pertemuan di Bogor. Dalam pertemuan itu dibicaraan beberapa pokok persoalan mempersatukan usaha semua organisasi pemuda Sunda dan cara mengangkat derajat Suku Sunda (Pikiran Rakjat, 20 Maret 1956).

Putera Sunda didirikan di Bogor oleh Saikin Suriawidaja dan anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa pertanian Bogor pada 1956. Sementara Nonoman Sunda berdiri pada 13 Oktober 1952 di Bandung dan Mitra Sunda pada 5 Oktober 1952 di kota yang sama.

Pada hari pertama menghasilkan pembentukan Badan Musyawarah Pemuda Sunda dan Front Pemuda Sunda. Organisasi pertama diketuai oleh Alisyahbana Kartapranata. Sementara Front Pemuda Sunda diketuai oleh R.Muh Apit S.K dari Bandung dan wakilnya adalah Adeng R Kusumawidjaja. Sementara Sekretaris jendralnya Adjam S. Syamsupradja dan bendahara Nan Katrina. Badan Musyawarah Pemuda Sunda bersifat kemasyarakatan dan kebudayaan, sementara Front Pemuda Sunda adalah bersifat perseorangan dan membicaraan keadaan Suku Sunda.

Pada hari kedua pertemuan ini mengeluarkan pernyataan dari Front Pemuda Sunda yang antara lain berisi memperjuangkan struktur ketatanegaraan negara kesatuan menjadi yang bersifat ferderasi. Dengan alasan bahwa sekitar 18 juta Suku Sunda mempunyai bahasa dan kebudayaan sendiri. Front Pemuda Sunda juga menuntut istilah Jawa Barat diganti dengan nama Pasundan. Namun Mitra Sunda Bandung kemudian menarik diri, hingga pernyataan itu atas tiga organisasi saja.

Pernyataan tiga organisasi ini mengundang pro kontra di Pikiran Rakjat. Makmun Atmasawita beralamat di Jakarta menyatakan kenyataan politik pemerintah dan golongan tertentu kurang bijaksana dan sering menimbulkan prasangka di daerah,termasuk golongan pemudanya.Front Pemuda Sunda tidak menghendaki kalau dahulu diinjak oleh sepatu kolonial, sekarang diinjak oleh bakiak nasional.

Sementara Enoh Sukedja dari Bandung menyatakan ketidaksetujuannya terhadap negara federasi. Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara kesatuan yang rakyatnya merasa berbangsa tunggal ika itu kuat. “Kita djangan menjokong atau membantu usaha mereka jang memperjuangkan pemisahan daerah.” (Pikiran Rakjat, 23 April 1956).

Gatot Mangkupradja dalam sebuah pernyataan dalam harian Pikiran Rakjat edisi 13 Juni 1956 menyebutkan bahwa Badan Musyawarah Sunda bukan gerakan yang bersifat provinsialis.Menurut tokoh pergerakan itu pergantian nama Jawa Barat jadi Pasundan sama halnya dengan menyebut Kalimantan untuk Borneo.Selain itu nama Pasundan bukan hasrat untuk lepas dari Republik Indonesia.

Gatot Mangkupradja menyatakan kekecewaannya terhadap partai yang tergesa-gesa melarang anggotanya memasuki gerakan Sunda. Gerakan-gerakan ini hanya orang Indoensia yang bersuku Sunda dan anggotanya orang Sunda. Negara Indonesia dibangun bangsa Indonesia bermacam-macam suku bangsa dan adat, serta kebudayaan beragam. Negara tidak boleh menindas perkembangan budaya daerah.

Pada 23 Juni 1956 Pikiran Rakjat memuat surat pembaca bernama Moeljono warga Jalan Aceh berjudul “Tidak Betjus” isinya menimbulkan reaksi keras. Surat itu berisi bahwa sebagian besar para dokter di Bandung orang Jawa dan Tionghoa, serta sebagian suku bangsa dari Sumatra. Begitu juga mahasiswa Fakultas Teknik bukan didominasi dari Suku Sunda. Surat ini melengkapi surat lain yang ditulis seorang bernama Purnomo yang intinya mengkritisi Nonoman Sunda. Akibatnya dalam tiga hari Pikiran Rakjat mendapatkan 90 surat yang mengecam surat-surat itu.

Di antaranya surat yang ditulis oleh Atje Sukarman, warga Jalan Cikawao, bertajuk “Nonoman Sunda dalam Struktur Masjarakat Djawa Barat” dalam Pikiran Rakjat 26 Juni 1956. Ada lima pernyataan yang dilontarkan Atje.

1. Nonoman Sunda tidak bersifat proviansialis

2. Nonoman Sunda tidak berhaluan separatism

3. Nonoman Sunda tidak chauvinism

4. Nonoman tidak anti kalangan O (maksudnya penuturan akhiran O, orang Jawa)

5. Nonoman Sunda tidak iri hati terhadap saudara-saudara O.

Menurut Atje Sukarman Nonoman Sunda berdaya upaya merubah struktur masyarakat di Jawa Barat seperti saat itu tempat mereka lahir dan didewasajab. Mereka khawatir akan kehilangan lebensraum (ruang hidup). Memperjuangkan lebensraum adalah hak setiap manusia, hak setiap suku bangsa dan hak setiap bangsa. Justru dengan menghindarkan kenyataan ini memberikan stimultanbagi perpecahan bangsa yang tidak dikehendaki.Pemuda Sunda hanya ingin membangun dan mengolah negara Indonesia sehingga tercapai negara yang dicita-citakan.Gerakan Sunda tidak punya dasar politik merusak dan tidak menghendaki perpecahan dalam persatuan bangsa.

Sekalipun perdebatan mengenai gerakan kedaerahan marak dan hangat hingga akhir Juni 1956 belum ada reaksi serius dari kalangan pemerintah maupun militer, terutama di Jawa Barat. Kalangan militer lebih memperhatikan ancaman gangguang keamanan dari Darul Islam Sekalipun sebetulnya suasana politik di tingkat pusat cukup panas dan rasa tidak puas di berbagai daerah menjalar.

Irvan Sjafari

Sumber Lain:

http://www.bandungkab.go.id/arsip/2404/bupati-rtmwiranatakusumah-viaom-maleperiode-1947-1956. Diakses pada 28 Desember dan 31 Desember 2013).

Lubis, Nina Herlina Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2003

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun