Judul Film : Negeri Lima Menara
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Bintang : Donny Alamsyah, Lulu Tobing, Ikang Fauzi, Gazza Zubizzaretham Biily Sandi, Eizki Ramdani
Rated : ***
Sudah lebih dari sepuluhan review atau tulisan tentang film Negeri Lima Menara di Kompasiana yang saya lihat. Menurut sebuah surat kabar jumlah penotonnya sudah tembus 50 ribu sejak ditayangkan pada 1 Maret lalu. Penasaran juga. Minggu,3 Maret yang lalu saya menonton di Cinere 21 pada pertunjukkan pertama pukul 12.00. Ternyata penontonnya mencapai sekitar 120 orang dari 154 kursi tersedia. Jauh di atas Ghost Rider berjumlah 30-an, sementara dua film lain Keumala dan Seandainya di bawah itu.
Tipikal penontonnya jauh berbeda, Negeri Lima Menara lebih banyak ditonton para orang tua yang membawa anaknya. Di sebelah saya dari omongannya duduk seorang anak yang pernah bersekolah (atau sedang) dari pondok yang diceritakan dalam film itu. Dia menonton bersama ayah dan ibunya. Si anak dengan lancar bercerita soal tempat syuting film besutan Affandi Abdul Rachman itu, terutama adegan di pondok.
Komentar saya pertama kelebihan film ini terletak pada skenarionya yang kuat. Sekalipun cara bertuturnya beberapa sebangun (saya tidak mengatakan serupa) dengan Laskar Pelangi. MisalnyaScene anak-anak Laskar pelangi bersepeda beramai-ramai serupa dengan kawanan “Sahibul Menara” bersepeda di Bandung ketika liburan di tempat Atang salah satu tokoh. Mungkinkah sepeda adalah simbol egaliter? Begitu juga scene reuni para penjaga menara ini di Amerika dan yang tiga lagi di Jakarta melalui telepon di akhir cerita mengingatkan saya pada reuni Ikal di Belitung.
Adegan yang paling saya suka pada pertunjukkan Ibnu Batuta yang dilakukan Alif dan kawan-kawannya selang-seling dengan adegan Baso ketika menyuap neneknya dan mengajar anak-anak kecil mengaji di kampung halamannya di Gowa, Sulawesi. Kisah Baso harus keluar dari Pondok sama mirisnya dengan Lintang harus berhenti dari SD Muhamadyah, setelah scene Cerdas Cermat di mana SD itu menang.
Kelebihan lain ialah terletak sinematografinya. Mulai dari panorama alam di Sumatera Barat, perjalanan ke Ponorogo hingga kesehari-harian belajar. Dialog-doalog dibiarkan dengan dialek daerah masing-masing membuat film ini kaya dengan budaya juga kelebihan film ini. Untuk dua poin, skenario dan sinematografi Negeri Lima Negera bisa menjadi nominasi untuk FFI mendatang.
Dari segi pemainnya. Untuk pemeran pada Sahibul Menara. Gazza Zubizzaretha pemeran Alif dan Billi Sandi pemeran Baso tampil cemerlang sebagai pendatang baru. Scene ketika Gazza gamang kehilangan Baso dan hendak keluar dari Pondok, ketika dia gugup memasuki kegiatan kewartawanan, lalu kecewa nggak dapat berfoto bersama Sarah, keponakan Kyai Rais (Ikang fauzi) menarik. Sementara untuk Billi Sandi ketika dia berpidato dalam Bahasa Inggris gugup, tetapi ketika teman-temannya bawa orang-orangan semangat lagi begitu natural.
Untuk pemain seniornya. Menurut saya Donny Alamsyah yang cemerlang sebagai Ustad Salman. Scene dia memotong kayu berteriak Man Jadda Wajadda atau siapa yang bersungguh-sungguh berhasil, hingga beberapa kali dengan bijak menyerap aspirasi para santri cukup mengagumkan. Lulu Tobing sebagai ibu orang Minang tidak terlalu mengesankan. Ikang Fauzi biasa saja.
Film ini bersettting 1980-an akhir hingga awal 1990-an.
Diceritakan pada pertengahan 1988 Alif akan lulus SMP. Dia bersama sahabatnya, Randai berharap bisa masuk SMA terkenal di Bukit Tinggi, lalu lanjut kuliah di ITB. Namun ibu Alif menginginkan Alif untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut Ponorogo, Jawa Timur. Alif memberontak tapi akhirnya memenuhi pinta orangtuanya walau setengah hati. Ada adegan yang menyentuh ketika si Ibu memasang foto Alif di tengah dua tokoh kebanggaaan Minangkabau, Hatta dan Hamka. Sebuah simbolis dari sinematografi film ini.
Alif akhirnya di Pondok Madani. Kesannya tempat itu 'kampungan' dan mirip penjara karena peraturan yang ketat dan keharusan ikut kelas adaptasi setahun. Alif sering menyendiri. Seiring berjalannya waktu, Alif mempunyai sahabat , yaitu Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara. Bagaimana pergumulan Alif di dunia yang semula dianggapnya aneh adalah cerita film ini. Tiga bintang untuk film ini. Penuh filosofi sejak awal hingga akhir. Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H