Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Apakah Bullying Harus Masuk Ranah Hukum?

3 Maret 2015   00:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425293429116408924

[caption id="attachment_400539" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana media gathering di Aryaduta (Kredit foto Irvan Sjafari)"][/caption]

Nama saya Chelsea Elizabeth Islan.  Usia saya 19 tahun.  Saya mencintai perfilman. Saya punya mimpi di dunia perfilman. Saya punya cita-cita menjadi sutradara perfilman. Saya ingin menjadi inspirasi kaum muda. Saya ingin menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.  Saya masih ingin berbuat banyak untuk Bangsa Indonesia.

Demikian antara lain pernyataan lantang dari pemeran Diana dalam film Di Balik 98 dalam media Gathering di Hotel Aryaduta Semanggi dalam  media gathering  pada  Senin 2 Maret 2015. Samantha Barbara, ibunda Chlesea Islan  memberikan pernyataan resmi perihal pemberitaan media mengenai video mirip Chlesea Islan yang diambil saat ia berumur 15 tahun.  Video itu ternyata diambil masih berumur 15 tahun yang nota bene masih di bawah umur. Video itu direkam tanpa sepengetahuan dan seizin Chelsea.

Saya hadir dalam acara itu mewakili sebuah media tersentuh.  Saya tidak tertarik membahas konten video Chelsea seperti apa.  Chelsea  sudah menjadi korban bullying,  dalam hal ini cyber bullying.   Saya tahu rasanya menjadi korban bullying  karena mengalaminya waktu duduk di bangku SMP secara fisik dan traumanya masih tersimpan dalam bawah sadar dan kerap muncul dalam mimpi.  Alhamdullilah saya masih kuat. Sayang dalam diskusi yang dipandu Zivana Letisha tidak dihadiri ahli hukum.  Selain dari keluarga Chelsea yang hadir psikolog Livia Iskandar dari Pulih@The Peak, serta aktor Lukman Sardi.  Untungnya Lukman Sardi punya latar belakang sarjana hukum.

Menurut saya setelah banyak kasus sudah saatnya bullying masuk ranah hukum di Indonesia, apa itu pidana atau bisa dibuat undang-undang tersendiri.  Dilemanya memang bullying yang  dilakukan secara fisik bisa masuk pasal penganiayaan. Persoalannya pelakunya kerap teman sendiri dan di bawah umur juga. Lain ceritanya kalau di atas pelakunya berusia di atas 18 tahun.  Kalau dimasukkan perbuatan tidak menyenangkan sudah dicabut oleh MK karena bisa menjadi pasal karet. Itu bisa menjerat perbuatan bullying secara psikis, berupa ejekan, meludah. Tetapi keberadaan pasal ini bisa disalahgunakan untuk kasus lain.1 Sementara kalau cyber bullying masih bisa terkena pencemaran nama baik atau UU ITE  yang masih menjadi kontroversi  karena juga bisa disalahgunakan untuk persoalan lain.2 Kalau begitu bullying harus dibuat UU lain?

Lukman Sardi berpendapat bahwa untuk membuat UU Bullying para psikolog dan ahli hukum harus duduk bersama dan jangan sampai menjadi bias.  Tetapi seperti kasus yang dialami Jessica Iskandar bullying masih bisa dilaporkan ke polisi.  Pencegahan bullying bisa dilakukan di keluarga, misalnya anak-anak diajarkan bagaimana menghargai orang lain. Penggunaan gadget juga harus dikontrol. Ketiga anaknya sudah mahir bermain gadget dan hal tertentu harus dilock.

Livia juga berpendapat bahwa orangtua harus mengontrol apa-apa yang dimainkan anaknya, seperti game saat ini banyak mengandung unsur kekerasan dan akhirnya anak-anak akan terbiasa menganggap memukul orang sebagai hal yang biasa.  Anak-anak yang melakukan bullying  biasanya tumbuh dari keluarga yang bermasalah. “Ayah juga harus terlibat mengawasi anak-anaknya dan jangan semuanya diserahkan pada ibu. Orangtua harus mengenal sekolah dan teman-teman dekatnya anaknya,” ujar Livia.

Korban bullying memang tidak selalu bisa mengadu pada orangtuanya. Untuk itu orangtua harus peka pada perubahan sikap anaknya menjadi pemurung.  Trauma menjadi korban bullying memang bisa tersimpan bertahun-tahun.  Korban trauma bisa mendatangi psikolog seperti halnya datang ke dokter. Pergi ke psikolog jangan dianggap menderita penyakit jiwa.

Dalam berapa kasus yang dilakukan anak SMA kerap pelaku tidak merasa melakukan bullying menimbulkan dampak hukum dan menganggapnya sebagai hal yang wajar.  Sebagai senior misalnya boleh saja “memplonco” juniornya secara fisik, seperti menyuruh menegak minuman keras, menampar. Enam siswa sebuah sekolah swasta di Jakarta pernah dijerat pasal 170 KUHP oleh polisi pada Agustus 2012.

Hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter pada 2014 menyebutkan, hampir setiap sekolah di Indonesia ada kasusbullying, meski hanyabullyingverbal dan psikologis/mental.Susanto selaku Ketua Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori "darurat bullying di sekolah". Karena itu, negara perlu segera melakukan intervensi.3 Tidak mengherankan Indonesia mendapatkan rangking nomor dua dalam kaus bullying terbanyak sesudah Jepang.  Cyber bullying juga tidak bisa dianggap enteng karena bisa memicu korban untuk bunuh diri.

Pertanyaannya sampai kapan bullying baik secara fisik dan psikis masih dianggap candaan dan kenakalan remaja? Bukankah itu kenakan yang membahayakan menjurus ke criminal? Sampai kapan cyber bullying seperti yang dialami Chelsea sebagai hal yang tidak serius dan dianggap candaan  atau perbuatan orang iseng? Bukankah tidak semua orang bisa tegar martabatnya diserang?  Bukankah kamera tersembunyi bisa berada di toilet atau kamar mandi umum. Jadi bisa siapa saja jadi korban dan kemudian diupload videonya? Korbannya selalu perempuan karena ekses budaya patriarki. Bagaimana juga kalau korbannya perempuan di bawah umur?

Sebetulnya Vena Melinda waktu menjadi anggota DPR dalam wawancara dengan saya untuk sebuah majalah pernah menggagas UU yang menyangkut Bullying di sekolah . Entah mengapa gagasan itu tidak banyak disetujui oleh anggota dewan yang lain. Sepertinya anggota dewan kita lebih sibuk pada  UU yang bersangkutan dengan politik atau ekonomi yang bisa dipandang berkaitan dengan kepentingan elite politik itu sendiri (seperti UU Pilkada)  dan bukan masalah yang mereka anggap kecil, tetapi sebetulnya punya dampak yang besar di kemudian hari.  Dampak ini baru mereka rasakan kalau sudah mengenai keluarga mereka sendiri.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki

1.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d80ab053501/mk-cabut-aturan-delik-perbuatan-tidak-menyenangkan

2.http://www.negarahukum.com/hukum/uuite.html

3.http://www.beritasatu.com/gaya-hidup/219515-indonesia-masuk-kategori-darurat-bullying-di-sekolah.html

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun