[caption id="attachment_401076" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Love and Faith kredit http://lufiandi.com/"][/caption]
Perhiasan bisa dibeli di toko, tetapi kehormatan dan martabat keluarga tidak akan bisa dibeli di toko mana pun. Lim Kwei Ing (Laura Basuki) tanpa ragu menyerahkan seperangkat  gelang emasnya pada suaminya Kwee Tjie Hoei (Rio Dewanto). Gelang emas itu untuk membayar gaji karyawan bank yang dikelola Kwee Tjie milik mertuanya dalam keadaan bangkrut pada 1960-an.  Sangat menyentuh salah satu adegan dari Love and Faith menurut saya dan menunjukkan bahwa isteri dan suami seharusnya bergerak seirama.  Adegan ini konsisten dengan adegan ketika Kwee Tjie Hoei berdansa dengan Lim Kwei Ing dengan iringan lagu Juwita Malam. “Aku tidak tahu cara berdansa?  Kata Kwee Tjie Hoei dengan kaku. Ing dengan santai menjawab: Kamu ikuti saja irimanya, Ing akan ikut ke mana pun kau bergerak.
Film arahan Benni Setiawan langsung menarik perhatian saja karena berkaitan dengan sejarah Bandung 1950-an yang saya sedang dalami. Saya langsung menikmati perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari Bandung 1943 ketika kakak beradik Kwee Tjie Hoei dan Kwee Tjie Ong (setelah dewasa diperankan Dion Wiyoko) diajar secara otodidak oleh ibunya (Irina Chiu Yen Tan) hingga masuk sekolah formal. Sayang Sang ayah Kwee Tjie Kui (Ferry Salim), hanya sanggup membiayai kuliah salah seorang dari anaknya. Tjie Hoei mengalah dan adiknya kuliah kedokteran, ia sendiri mengajar di sebuah sekolah Tionghoa bernama Nan Hua dan di sinilah ia bertemu dengan Ing yang memang sudah suka dengan caranya mengajar. Ing malah mengajaknya menjadi guru les.
Tjie Hoei menambah penghasilan dengan bekerja di toko reprasi barang elektronik hingga di pabrik. Tokoh ini digambarkan bersahabat dengan para buruh sejak awal dan modal dia ketika kelak mengurus bank.  Cerita bergulir ketika Tjie Hoei berhasil menikah dengan Kwei Ing putri  dari keluarga Lim Khe Tjie, pemilik bank besar di Bandung. Akhirnya pada 1959 mereka menikah.
Pada 1961 Lim Khe Tjie dicekal tak bisa kembali ke Indonesia, tertahan di Hong Kong. Sementara bank milik mertuanya mengalami kesulitan besar di ambang pailit. Tjie Hoei  berhadapan dengan direktur-direktur lain yang korup yang sayangnya juga pemilik saham. Mereka menanyakan kamu lulus dari universitas mana? Cuma lulus SMA? Akhirnya jalur hukum dijalankan dan untuk itu Tjie Hoei membahayakan jiwanya. Cara Tjie Hoei berperang dengan strategi ala Sun Tzu menarik, misalnya mendekati nasabah secara geriliya. Para pengkihanat di bank itu  berhasil dikalahkan.  Habis mengatasi internal di banknya masih ada halangan lain, kebijakan moneter  Pemerintah Indonesia berupa  pemotongan uang  pada akhir Orde Lama yang memberikan cobaan lain pada Kwee Tjie Hoei.
[caption id="attachment_401077" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan Love and Faith (kredit foto Indopos)"]
Setting sejarah sosial pas. Pada masa itu masih ada sekolah Tionghoa.Suasana pabrik tempat Tjie Hoei bekerja, toko reparasi elektronik, makan di restoran memang suasana 1950-an hingga 1960-an. Begitu juga mobil impala, holden, vespa, gramophone  membaut romantisme historis komplit dengan lagu masa itu yang pas. Sinematografi apik paling tidak  sampai dua pertiga film.  Sayangnya ada hal-hal yang dihindarkan seperti masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan bagaimana cara bank ini bangkit kembali hingga menjadi Bank NISP yang kemudian menjadi salah satu bank terbaik. Ending ceritanya tanggung.
Setting sejarah sosial politik juga  terlalu hati-hati seperti  menghindari peristiwa kerusuhan rasial  10 Mei 1963 di Bandung. Dalam film persinggungan dengan Bung Karno hanya digambarkan lewat sehelai foto. Bandung Lautan api digambarkan lewat dentuman bom  di balik kaca jendela, tetapi menurut saya cukup.  Ekspresi wajah keluarga Kwee mendengarkan pengumuman proklamasi menyentuh menandakan nasionalisme mereka. Tentunya juga film itu inspiratif bahwa kerja keras itu membuahkan hasil. Sejumlah dialog mengandung falsafah: seperti setinggi-tingginya orang melompat akan jatuh ke tanah juga.
Dari jajaran kasting, Rio Dewanto, Laura Basuki, chemistry-nya terbangun dan keduanya bermain baik (selain logat Sunda pas yang tentu harus belajar waktu reading). Adegan bagaimana Ing marah kepada para direktur di ruang rapat pemegang saham ketika suaminya didesak juga menarik. Begitu juga karakter yang diperankan  Ferry Salim, Dion Wiyoko,  serta peran pembantu lain Iszur Mochtar dan Epi Kusnandar yang tidak melawak. Saya juga suka akting culas Verdy Solaiman yang bikin geregetan sebagai penjahat kerah putih dan pemeran sekutunya yang tak kalah bikin benci.
Saya berharap untuk 2015 mendatang Rio Dewanto bisa menjadi salah satu nominator Piala Citra karena dalam 2014, aktor ini juga bermain apik. Secara keseluruhan saya terlepas dari kekurangan di cerita, saya selalu memberikan aplaus bagi mereka yang berani bikin film berlatar belakang  sejarah. Bravo.
Judul Film           : Love and Faith
Sutradara           : Benny Setiawan
Bintang                : Rio Dewanto, Laura Basuki, Dion Wiyoko, Fery Salim, Irina Chiu Yen Tan, Verdy Solaiman, Iszur Muchtar, Epi Kusnandar
Rated                   : **** (Excellent)
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H