Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Review “Gunung Emas Almayer” Drama ala Shakespeare di Tanah Melayu

10 November 2014   23:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_373852" align="aligncenter" width="300" caption="Dain Marooola (Adi Putra) dan Nina (Diana Danielle) dalam Gunung Emas Almayer (kredit foto Kapanlagi)"][/caption]

JudulFilm:Gunung Emas Almayer

Sutradara:U Weibin Haji Saari

Bintang:Peter O’Brien, Alex Komang, Rahayu Saraswati, El Manik, Diana Danielle, Adi Putra, Sofia Jane

Rated:***

Kaspar Almayer (Peter O’Brien) terhenyak, tak percaya ketika Nina (Diana Daniele) sang putri menyatakan memilih Dain Moorela (Adi Putra) ke Pulau Sagu, negeri pangeran Melayu itu. Di mata arkeolog dan pedagang berkebangsaan Belanda ini orang Melayu dipandang sebagai orang barbar –sebagai lazimnya pandangan orang Eropa abad ke 19-dan bukannya memilih ayahnya bergabung menjadi bangsa Eropa, pulang ke negeri Belanda. “Nina itu Melayu Ayah!”

Adegan pertengkaran ayah dan anak ini merupakan adegan yang terbaik dalam film Gunung Emas Almayer.Dalam adegan yang cukup menegangkan itu Almayer sudah mengeluarkan pistolnya dan dain sudah menghunus kerisnya, siap saling membunuh di depan perempuan yang mereka cintai, yang stau sebagai ayah dan yang lain sebagai kekasih. Adegan ini mempunyaiideologis pergumulan identitas antara memilih sebagai orang Melayu atau orang Eropa bagi perempuan berdarah campuran seperti Nina, beribu orang Melayu bernama Mem (Sofia Jane).

Gunung Emas Almayer bukanlah sebuah film petualangan, tetapi film drama berlatar belakang dunia melayu abad ke 19, ketika Inggris sedang memperkukuh penjajahannya di tanah Melayu, di sisi lain ada petualang macam Kaspar Almayer yang dipanggil Tuan Putih oleh penduduk kampung yang berada di negeri bernama Sambirdi bawah kekuasaan Raja Ibrahim (El Manik) dan tangan kanannya Orang Kaya Tinggi. Pada masa itu bajak laut atau lanun bagi orang Eropa, tetapi bagi orang Melayu tidak hitam dan putih.

Film dibuka dengan raungan perempuan Melayu bernama Mem, yang memaki Kaspar, karena Nina putri mereka yang berusia kanak-kanak dibawa dengan kapal sungai untuk disekolahkan di Singapura agar mendapat pendidikan Barat.Sepuluh tahun kemudian Nina kembali ke Sambir dengan membawa dilemma, di satu sisi ia berpakaian Barat, tetapi tidak dipandang sebagai orang Eropa oleh teman-temannya, di sisi lain ia juga merasa asing dengan dunia Melayu.

Bagi Almayer kedatangan Nina memberi harapan baru di tengah merasa dirinya terdampar di dunia Melayu. Mitos dari Sang Kakek bahwa ada gunung emas memberinya harapan baru mendapatkan uang untuk ke pulang ke negeri Belanda, yang tidak pernah diinjaknya, bersama sang putri. Harapannya semakin menggebu ketika Pangeran Dain Maroola meminta dia menjual senjata api berikut bubuk mesiu.Almayer tidak menduga bahwa Dain Maroola menggunakan senjata itu menyerangKapal Inggris.Akibatnya Dain menjadi buronan dan pasukan Inggris mendakwa Almayer mempersenjatai para lanun. Selain itu Almayer tidak menduga bahwa Dain dan Nina saling jatuh cinta sejak pandangan pertama.

[caption id="attachment_373858" align="aligncenter" width="300" caption="Kaspar Almayer (Peter O"]

14156111431951852224
14156111431951852224
[/caption]

Gunung EmasAlmayer diangkat dari novel klasik karya Joseph Conradyang terbit pada 1895 menjadi semacam Shakespeare dengan latar belakang dunia Melayu berjudul Almayer’s Fooly.Beberapa kali diangkat ke layar lebar, namun di tangan sutradara U Weibin Haji Saari dan produser Rahaya Saraswati menjadi kental keberpihakan pada dunia Melayu dan lebih adil.Orang Eropa menganggap orang Melayu itu –juga pandangan pada orang Arab- tidak bisa dipercaya, tidak beradab, laki-lakinya menikah dengan banyak perempuan, tetapi orang Melayu juga melihat orang kulit putih peminum air setan (minuman keras), kafir, makan daging babi,yang diringkas dengan dua kata : tidak beradab.

Pandangan dari sudut berbeda mengingatkan sayapada anekdot yang diungkapkan filsuf Prancis Claude Levi Strauss dalam bukunya “Ras dan Sejarah”, Yogykarata, LKiS, 2000bahwa ketika Amerika ditemuka Spantol mengirim tim untuk menyelidiki apakah orang indoian itu punya nyawa atau tidak. Tetapi tim peneliti itu ditawan orang Indian dan ditenggelamkan, karena orang Indian ingin tahu pakah mayat orang kulit putih bisa membusuk atau tidak.

Tokoh-tokoh non kulit putih seperti pedagang Arab bernama Abdullah (Alex Komang) dan putranya Rasheedyang menginginkan Nina sebagai istrinya menghidupkan cerita. Begitu juga kehadiran seorang pedagang kue (Rahayu Saraswati) diam-daim menaruh hati pada Dain Maroola memperkuat cerita. Sayangnyadari departemen kasting hanya El Manik bermain begitu ciamik sebagai Raja Sambir yang harus bermain di dua kaki, di satu sisi menjaga agar orang Inggris tidakmenyerang kerajaannya, tetapi dia juga menjaga perasaan ayahnya dain maroola yang lebih kuat dari kerajaannya.Yang menarik saya adegan ketika raja ini mendengarkan musik klasik dari sebuah gramophone.

Tentunya juga Peter O’brien, aktor asal Australia yang terkenal lewat film X-Men Origins Wolverine, menghidupkan tokoh Kaspar yang di mata saya arogan, menyebalkan, sekaligus bodoh sesuai dengan judul novelnya. Sementara Alex Komang bermain kurang mengggigit tidak seperti biasanya, aktris Malaysia rata-rata bermain lumayan.

Saya memilih menonton film koloborasi Indonesia-Malaysia ini dibanding dua film horror yang bersamaan beredarnya.Saya mendapatkan wawasan sejarah yang baik-digarap cukup apik dan detail, termasuk seragam tentara dan kapal Inggris, hingga busana orang Melayu masa itu. Terlepas dari posternya yang menipu, film ini layak ditonton.

Tema perbedaan percintaan antar ras ini banyak bisa digarap para sineas Indonesiadengan setting sejarah. Sampai saat ini saya menunggu kapan kisah hidup pahlawan Untung Surapati diangkat ke layar lebar. Bukankah Indonesia mempunyai kisah percintaan antara Untung remaja dengan perempuan bule Belanda Suzanne pada abad ke 17, dengan pandangan arogan dan sikap superioritas kulit putih yang serupa dengan Gunung Emas Almayer.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun