Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kenaikan BBM dan Dilema Angkutan Umum: Apa Mungkin Bensin dengan Harga Khusus?

20 November 2014   03:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:22 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_376639" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi Angkutan Umum di Jakarta (kredit foto: https://assets.kompas.com/data/photo/2014/03/28/0413055angkot2780x390.jpg)"][/caption]

Tidak sampai 24 jam setelah kenaikan BBM diumumkan, tarif angkutan umum di Jabotabek sudah dinaikkan. Saya baru tiba dariBandungSelasa, 18 November 2014 siang hari baru menyadari hal itu ketika harus membayar tarif Rp 4.000 Mikrolet 36untuk jarak dari perempatan Pejaten, Republika ke arah pertigaan Universitas Nasional. Paginya di Bandung,naik angkot Kelapa-Dago masih normal Rp 3.000 ketika turun di dekat Pasteur ketika baru check out dari hostel backpacker-an di kawasan Braga. Tarif travel dari Cihampelas juga normal masih Rp 80.000.Penumpangnya penuh. Tak ada yang cerita soal kenaikan BBM.Mungkin sama seperti saya ingin segera pulang ke Jakarta.

Darisebuah berita di Kompas online,saya baru tahu kebijakan itu diumumkan Senin malam hari17 November 2014. Presiden Joko Widodo menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masing-masing premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 dan solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500. Jokowi menyebut alasan ketiadaan anggaran untuk membangun infrastruktur dan pelayanan kesehatan membuat harga BBM perlu dinaikkan. "Negara membutuhkan anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran ini tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM," kata Jokowi di Istana Negara.

Angkutan yang paling terkena dampak pertama kali. Kenaikan Rp 2.000 sangat memukul bagi mereka karena itu artinya kalau bertahan dengan tarif lama mereka tak akan mampu mengejar pembelian bensin. Sedangkan untuk setoran sajapada sejumlah rute di Jakarta (juga kota lain seperti Bandung) sudah “ngos-ngosan”karena sewanya sudah jauh berkurangdibanding sepuluh tahun lalu.Kemudahan pembelian motor benar-benar menggerus jumlah penumpang, karena dianggap lebih irit oleh penggunanya.

Supir angkot Dago-Kelapa di Bandung yang saya ajak ngobrolmengaku andalan utama mereka adalah anak sekolah. Tetapi sejak Ridwan Kamil, Walikota Bandung mengeluarkan bis sekolah praktis tergerus.Sejumlah supir angkot di Jakarta juga harap-harap cemas kalau bis sekolahbertambah melewati rute mereka penghasilan mereka berkurang lagi. Beberapa supir angkutan umum 61 Pasarminggu-Cinere mengaku dulu pernah kualat pada anak sekolah.

Saya ingat waktu saya masih duduk di bangku SMA, pulang sekolah sore hari tidak ada angkot yang mau menaikkan. Seolah jadi penumpang kelas dua, karena bayarnya murah. Saya masih terbayang di kepala saya cemoohan seorang kenek angkot padakami di tengah gerimis sekitar pukul 17.30 sore karena berseragam sekolah dan angkotnya penuh dengan orang kantoran atau ibu-ibu. Saya kerap baru bisa pulang habis mahgrib bahkan pernah sampai pukul tujuh malam, terutama kalau hujan turun. Itu dulupuluhan tahun lalu hingga tahun 2000. Kini pelajar sekolah yang sedang nongkrong atau “pacaran” ditungguin oleh supir angkot.

Kembali ke soal BBM. Saya punya gagasan yang mungkin sulit dilaksanakan.Apakah mungkin khusus untuk angkot diberikan kemudahan membeli bensin dengan harga lebih murah, hingga mereka tidak ada alasan menaikkan harga.Konsekuensinya beban pengguna angkot akan berkurang.Misalnya angkutan umum yang menggunakan premium diperbolehkan membeli bensin dengan harga Rp 6.500, bukan Rp 8.500.

Gagasan itu pernah saya diskusikan dengan teman-teman. Oh, nanti pemilik angkutan umum memainkanpenjualan bensin dengan mengambil margin. Dia pakai bensin jatah angkot Rp 6.500, lalu dijual Rp 7.500 di bawah harga pasar.Kalau begitu, jatahkan saja untuk setiap angkutan umum membeli bensin dengan harga tertentu sesuai kebutuhannya.Misalnya angkot 61 yang saya tanya mengaku rata-rata menghabiskan 40 liter sehari. Di atas jumlah itu dia harus bayar sesuai harga pemerintah. Untuk angkot rute ini hanya beli bensin Rp 6.500 per hari. Begitu juga metromini dengan solarnya ditakar kebutuhan per harinya untuk rutenya.

Pertanyaan paling besar untuk ini dan belum saya bisa pecahkan ialah bagaimana pengawasannya di lapangan?Apakah petugas pom bensin mau mencatat setiap nomor pelat angkutan umum?Saya ragu mereka mau.Apakah aparat dinas perhubungan atau organda punya data base berapa sih jumlah angkutan umum di setiap kota/daerah?Lalu berapa kebutuhan bensinnya?Apakah dishub dan organda tahu rasio mobil dengan penumpang yang ideal berapa?Jangan sampai angkutan umum rute Cinere-Pasarminggu yang hanya cukup dilayani 200 mobil diisi 400 mobil karena itu menguntungkan koperasinya dan bukan supir di lapangan yang harus kerja keras?

Saya ragu tak satu pun pihak terkait dalam angkutan umum ini punya database. Saya yakin mereka tidak tahu berapa “supir tembak”di samping “supir batangan”.Jangankan bicara supir yang digaji, yang pasti pemilik kendaraan banyak yang keberatan.Mungkin ada gagasan lain, pemerintah ambil alih semua angkutanumum, ditata kembali sesuai kebutuhannya, supir digaji hingga tidak ada alasan ugal-ugalan, bensin dijatah di pool atau titik tertentu? Angkutan bisa diseleksi mana yang masih layak dan mana yang tidak. Demikian juga supirnya, hingga kasus seperti perkosaan oleh supir tembak bisa diminimalisir dan tidak ada supir tembak yang berusia ABG . Rasio satu angkutan umum dan supir bisa dihitung.Jangan seperti pernah yang terjadi PPDdulu.

Pada saat itu tarif angkutan dipatok oleh pemerintah agar terjangkau rakyat kebanyakan. Bukankah penyediaan angkutan murah kewajiban pemerintah?Kemudianbuat kebijakan pajak progresif bagi mereka punya kendaraan lebih dari satu mobil setiap rumah.Anak sekolah dilarang membawa kendaraan ke sekolah, baik mobil maupun motor.MRT mungkin sebagian solusi, tetapi harus diikuti oleh angkutan umum pendukungnya dibuat nyaman.Itu juga di Jakarta, mungkin juga kota besar lainnya, bagaimana dengan di daerah atau kota kecil?

Terlepas gagasan itu  bisa atau tidak dilaksanakan. Saya sebagai orang lebih suka naik angkutan umum bila bepergian mengharapkan ada kebijakan pemerintah agar merasa nyaman.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun