[caption id="attachment_399378" align="aligncenter" width="397" caption="Salah satu edisi majalah Hai 1982 (kredit foto Irvan Sjafari)"][/caption]
Ketika majalah remaja Hai muncul pada 1970-an saya masih duduk di bangku kelas III atau Kelas IV SD dan ketika sudah duduk di kelas III SMP mulai mengoleksi majalah itu walau tidak terlalu rutin. Saya punya tiga bundel yang tersimpan dalam perpustakaan pribadi. Dua di antaranya saya bahas dalam tulisan ini. Bundel pertama edisi 28/Tahun ke VI 27 Juli 1982 hingga edisi 35 tertanggal 25 September 1982. Beberapa hari lalu saya iseng membongkar lemari dan menemukan bundel pertama sebanyak delapan jilid dari bundel pertama ini yang saya analisis isinya kira-kira bagaimana gambaran wajah remaja awal 1980-an.
Remaja di sini saya menggunakan parameter dari Prof.Dr. Garnadi Prawiro Sudirjo dalam bukunya Menginjak Masa remaja: Bacaan Untuk Muda-mudi Remaja, Jakarta : Bhratara Karya Aksara 1977 bahwa seorang masuk remaja setelah terjadi perubahan fisik dan hormon. Pada perempuan ketika sudah mendapat haid, payudara tumbuh, sudah mempunyai sel telur dan laki-laki sudah ada perubahan fisik pada dada dan otot, serta sudah menghasilkan sperma. Dalam buku itu dimulai pada usia kiria-kira 12-14 tahun tanpa menyebut batasannya. Tetapi parameternya sudah lulus SMA atau kira-kira 18-19 tahun. Sementara sumber yang lebih anyar Soetjiningsih dalam buku Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya (2004) menyebutkan masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematanganseksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.
Kangen dengan masa kecil dan saya juga pernah membaca Hai pada 1970-an, saya ke Perpustakaan Nasional untuk melengkapi analisis. Saya menemukan satu bundel Hai yang berisi edisi no 13/Tahun ke II/ 4 April 1978 hingga Edisi 24 tertanggal 27 Juni 1978. Benar-benar nostalgia saya menemukan kembali komik Arad dan Maya berseri dengan judul “Misteri Puteri Mars” bercerita soal petualangan Arad dan Maya dengan tiga astronot dari Planet Bumi. Saya juga menemukan komik Trigan berjudul “Pencuri Dokumen” tentang kekaisaran di planet anta berantah yang menggabungkan unsur Romawi dengan teknologi laser dengan binatang dinosaurus. Ada komik lokal silat Mahesa Rani berlatar belakang era Majapahit. Cover majajalah beragam mulai dari figur Arad dan Maya, Humpapa, Imung. Harganya tercantum Rp150 (yang masa itu bernilai).
[caption id="attachment_399379" align="aligncenter" width="354" caption="Salah satu edisi Majalah Hai 1978 (kredit foto blog dennie sakrie)"]
Dalam edisi 28 Tahun VI 27 Juli 1982 (harganya tertera Rp500/eksemplar) juga terdapat beberapa cerita komik serial dari luar mulai dari Nasarudin Hoja, Rahan berjudul “Memburu Matahari”, Storm berjudul “Pertempuran Demi Bumi”. Sebetulnya komik-komik luar ini awalnya tidak terlalu menarik bagi saya, kecuali “Arad dan Maya” yang pernah dimuat Hai tahun 1970-an akhir. Storm serta juga Trigan baru menarik bagi saya setelah duduk kelas III SMA dan di bangku kuliah ketika mulai jatuh hati pada cerita post apocalypse dan sci-fi. Sekalipun sewaktu duduk di bangku SD serial televisi Star Trek dan Lost in Space memikat dan memberikan fantasi tersendiri walau tidak semua bisa ditangkap logika ceritanya.
Ada juga komik lokal “Wajah Arsitek” karya Wid.N.S tentan sebuah rumah yang diteror hantu. Seorang arsitek mencoba memecahkan misteri yang berkaitan dengan seorang perempuan yang mengalami gangguan jiwa. Plotnya thriller mirip cerita detektif daripada horor. Sementara dalam Edisi 31 Tahun VI 1982 tertanggal 17 Agustus 1982 ada komik sejarah “Kidung Pasundan” dengan tokoh Dyah Pitaloka yang langsung membuat saya jatuh hati tentang bagaimana martabat seorang perempuan dipertahankan sampai titik darah terakhir.
Pertengahan 1982 merupakan pertama kali saya menulis diary, puisi, cerpen yang saya simpan pribadi. Pada waktu itu Perang Malvinas baru saja usai dan beberapa edisi Majalah Hai memuat sejumlah artikel mengenai perang itu. Edisi 28 misalnya , mengulas HMS Hermes sebuah kapal induk Inggris yang membawa sejumlah pesawat tempur Sea Harrier dan helikopter Sea King, Edisi 31 malah menjadikan Tank Scorpion sebagai cover.
Bagi saya sebagai remaja waktu itu Perang Malvinas menarik karena adu keterampilan pilot pesawat tempur Argentina dengan Inggris, adu rudal hingga saling menenggelaman kapal berlangsung secara “fair” dan konvensional, korban yang jatuh benar-benar militer murni. Saya sampai merengek minta ayah dan paman mengajak menonton sebuah film dokumenter yang diputar di bioskop Panti Karya, Bandung kalau tidak salah judulnya “Mission in Falkland” dan tekun menonton versi diputar di TVRI “Perang Elektronik di Malvinas”. Pada waktu itu saya tidak mengerti latar belakang politik tetapi entah mengapa senang melihat ada negara berkembang seperti Argentina berani menantang perang Inggris.
Hai edisi 28 itu juga mengulas serial televisi Big Valley, waktu itu saya suka kemolekan Linda Evans, salah satu pemerannya tanpa mengerti satu pun cerita serialnya. Kalau dari perspektif sekarang saya sebagai penulis sekarang Big Valley kurang cocok bagi remaja masa itu. Jam tayangnya juga malam dan waktu itu saya lebih banyak tidur. Dari segi tema western masa itu saya lebih suka serial televisi era sebelumnya: Bonanza. Pada beberapa edisi berikutnya Hai mengulas serial The New Avenger, yang serialnya memang saya suka karena mencampur unsur sci-fi dengan spionase. Ada juga tentang serial The Saint dengan bintangnya Ian Ogilvy, Lidsay Wagner dan serial Bionic Woman. Cover beragam mulai komik, pesawat tempur, hingga ikon dari serial televisi.
Bundel Hai yang kedua saya miliki adalah edisi 1/Tahun IX tertanggal 1-7 Januari 1985 hingga edisi 12 Tahun IX tertanggal 26 Maret hingga 1 April 1985. Harga per eksemplar untuk nomor 1 hingga 4 berkisar Rp600 naik menjadi Rp700/eksemplar. Isinya lebih beragam namun sudah cukup banyak profil-profil selebritis di dalam negeri. Selain itu terdapat ulasan fenomena yang terjadi di kalangan anak muda, seperti demam kartun Jepang hingga Break Dance. Ulasan dan reportase bersifat entertainment diimbangi dengan yang bersifat edukatif, seperti profil tokoh, pahlawan, hingga konsultasi yang menyangkut curahan hati remaja.
Reportase mengenai prestasi dua anak SMAN 8 Jakarta bernama Yanuario W.A Logoh (Rio) dan Agus Ibrahim (Agus) yang menenangkan lomba Matematika yang diadakan sebuah perkumpulan mahasiswa di IPB memberikan motivasi merupakan salah satu konten di edisi 1/Tahun IX tertanggal 1-7 Januari 1985, serta profil Erni Sukarno atlet menembak yang pernah mewakili Indonesia di Olimpiade Los Angles. Selain itu ada artikel Band YES dari Inggris yang memperkenalkan Arty Rock, profil Astrie Ivo, Indra Lesmana ketika itu masih berusia remaja.
Saya mendapatkan kesan 12 edisi ini banyak didominasi atlet olahraga, selain Erni Sukarno terdapat Helena Musila atlet lari 3000 meter (edisi 2 /IX tertanggal 8-14 Januari 1985), atlet terjun payung Robby Mandagi (Edisi 4, 22-28 Januari 1985),Erry Sadewa atlet Karateka pada edisi 8, 26 Februari-4 Maret 1985. Edisi-edisi pada triwulan pertama 1985 tampaknya banyak didominasi cerita dan pemeran film Pengkihanatan G30 S PKI, yang disutradarai Arifin C. Noer yang masa itu terbilang spektakuler. Bahkan Hai edisi 6 tertanggal 12-18 Februari 1985 tahun ke IX menampilkan cover lukisan Ade Irma Suryani. Edisi itu juga memuat puisi-puisi tentang putri Nasution yang jadi korban malam kelam 30 September 1965.
Terlepas dari pro kontra tentang film itu pada kemudian hari, harus diakui bahwa film ini mempunyai kekuatan sinematografi yang nyaris sempurna dengan detailnya, serta jumlah penonton yang terbesar masa itu. Yeyet pemeran Katrin Putri Jenderal D.I Panjaitan juga jadi sorotan masa itu karena adegan hsiterisnya Katrin ketika membasuh muka dengan darah ayahnya-yang ditembak pasukan cakrabirawa di depan rumahnya diulas pada Hai edisi 7 19-25 Februari 1985. Film ini memang menggambarkan betapa mengerikannya kejadian. Dalam usaha penculikannya terhadap Panjaitan jatuh korban sipil juga di kalangan keluarga perwira tinggi itu. Siapa pun dalang pelaku kebiadapan pada 30 September 1965 itu melakukan kekejian yang luar biasa. Pada waktu itu film itu berhasil menanamkan kesan pada saya bahwa PKI adalah dalangnya.
Satu artikel tentang yang berkesan bagi saya waktu itu ialah tentang “Sarwo Edhie Wibowo” bagian masa remaja, ketika duduk di MULO. Sarwo Eddhie rupanya mengagumi Jepang karena bangsa kecil yang tidak gentar menghadapi bangsa besar bahkan mampu melawannya. Waktu itu saya berpikir mengapa saya harus takut dengan penjajah? Demikian salah satu pernyataan Sarwo Edhie. (Hai edisi 4 22-28 Januari 1985). Masa Remaja Emil Salim diungkap pada Hai nomor 11 19-25 Maret 1985 yang memberikan saya kesan bahwa kecintaannya terhadap lingkungan hidup memang datang dari hati dan sudah dimlai sejak kecil.
Alam bukan hanya sekadar pohon atau manusia saja. Tetapi yang lebih penting alam adalah sebuah buku besar bagi kita. Demikian antara lain dinyatakan Emil Salim.
Bundel ketiga yang saya miliki juga pada tahun 1995 edisi 13 hingga 24 berisi artikel-artikel dan cerpen yang hamper sebangun tidak saya ulas di sini. Hanya saya melihat perjalanan awal dari artis yang kemudian mencuat seperti Marissa Haque,Titi Dwijayanti, Erwin Gutawa diulas.
Citra Remaja 1970-an akhir dan 1980-an dalam Cerpen dan Cerbung
Konten lokal justru menarik untuk dianalisis. Dalam bundel yang saya temukan di perpustakaan nasional terdapat cerita “Kiki dan Komplotannya” yang kemudian salah satu ikon majlah Hai. Ceritanya berkisar dunia sekolah, guru ala “Umar Bakrie”-nya Iwan Fals bernama Pak Filsuf, hubungan turun naik antara anak SMA dengan STM. Yang terakhir ini relevan dengan situasi sosial masa itu ketika tawuran antar anak sekolah mulai terjadi. Seingat saya perkelahian pelajar mulai menjadi berita di surat kabar sekitar 1976 tetapi tidak semasif sejak 1990-an. Ada juga cerita serial Imung detektif anak sekolahan yang juga jadi ikon majalah ini.
Saya juga menemukan nama Leila Chudoiri dan Arya Dipayana yang kelak jadi penulis yang lebih matang bahkan sastrawan, ketika mereka masihh menjadi cerpenis remaja. Arya Dwipyana menulis “Cerita Pendek Buat Lulu” dalam Hai edisi 15 18 April 1978 yang tampaknya secara tak sadar menceritakan dunia penulis sendiri yang kerap datang ke Gelanggang Remaja Bulungan. Tokoh utamanya diceritakan bersahaja dan suka pada gadis bernama Lulu yang latihan menyanyi di Gelanggang Remaja Bulungan. Akhirnya mencoba menarik perhatian dengan membuat cerpen yang berisi curahan hatinya pada pujaannya. Sederhana.
Pada 1970-an Gelanggang Remaja Bulungan memang tempat berekspresi anak muda. Sebuah buku tentang Jakarta 1972 yang diterbitkan Pemda DKI menyebutkan hal itu. Mal belum menjadi daya tarik bagi anak muda untuk window shopping seperti yang mulai terjadi pada dasawarsa berikutnya. Seingat saya Aldiron Plaza mulai menarik pada 1980-an. Saya juga ingat waktu masih pra remaja diajak nonton di New Garden Hall oleh seorang sepupu.
Leila Chudori menulis “sebuah Hadiah Perlombaan” tentang anak usia 13 tahun yang mengira menang perlombaan tetapi ternyata dia keliru. Pemenang yang tercantum itu mempunyai kesamaan anma dan itu bukan dirinya. Pada Edisi 24 Leila juga menulis cerbung “Musik dan Aku” mengenai romantika antar dua remaja yang suka musik dengan pertemaun awal di atas kereta api Bandung-Jakarta. Hal yang bsia terjadi antar remaja masa itu berkenalan di atas kereta api. Waktu itu keadaan masih aman dan belum ada kejadian-kejadian yang membuat orang cepat curiga.
[caption id="attachment_399380" align="aligncenter" width="383" caption="Cerbung Mencari Jati Diri pada Hai 1982 (kredit foto Irvan sjafari)"]
Pada Edisi 1982 saya memberikan contoh beberapa cerbung dan cerpen yang membaut saya jatuh hati. Cerbung karya Hamid Jabbar “Mencari Jati Diri” cocok dengan saya yang waktu itu belajar menulis diari, karena salah seorang tokohnya bernama Anita mempunyai catatan harian. Ceritanya sebangun dengan cerita remaja 1970-an yang diangkat ke layar lebar dan diperankan Rano Karno, tentang seorang remaja kelas dua SMA, anak yatim piatu bernama Indra yang harus survival dengan berjualan koran diam-diam menyukai Anita teman sekolahnya dan Anita juga menyukainya. Anita diceritakan anak orang kaya dan sebetulnya juga anak tiri ayahnya. Cerbung itu juga bercerita tentang tawuran antar anak SMA tempat Indra dan Anita bersekolah dengan anak STM. Sebetulnya latar belakangnya karena percobaan perkosaan yang dilakukan Boyke, kawan Indra di Drive-In namun ditolong Amrullah anak STM, tetangganya. Tokoh-tokohnya berusia 16-17 tahun.
Wah aku tidak sadar ternyata besok tanggal 27 Juli 1981 adalah ulangtahunku ke 16. Oh, di hari ulangtahunku ke 16 inilah rupanya kado ulangtahunku menemukan ayah kandungku sebenarnya, tulis Anita dalam diary-nya. Menyentuh. Tokoh cewek di sini digambarkan tegar, tidak cengeng, walau tetap manusiawi sempat terlena oleh rayuan Boyke. Terungkap dilema Indra untuk menceritakan kisah Anita kepada kepala sekolah bakal mempermalukan Anita. Kesadaran adanya stigma bagi perempuan yang mengalami pelcehan sudah ada masa itu. Namun si pengarang masih memenangkan nilai moral yang berlaku masa itu di akhir cerita.
Cerbung ini bagi saya seperti mengakhiri era figur remaja era Rano Karno-anak orang miskin digambarkan baik dan teladan, anak orang kaya kerap digambarkan sebagai antagonis, kejujuran masih bernilai, untuk kemudian bergeser ke era si Boy dengan munculnya film Catatan si Boy, anak orang kaya, pakai mobil, baik hati, rajin salat, tetapi berciuman bibir dengan lawan jenis dianggap sebagai hal yang biasa. Kalau sebelumnya pacaran naik sepeda-sebetulnya dari era 1950-an- naik becak bersama, naik angkutan umum, maka 1980-an mulai ke diskotik, bermobil dan tanpa sadar menanamkan matrealistis pada benak remaja. Untungnya televisi masa itu hanya TVRI masih mengontrol ketat kontennya.
Meskipun begitu apa yang digambarkan cerbung itu bahwa ada fenomena tawuran seharusnya juga dibaca kalangan pendidik sebagai lampu kuning (belum lagi soal free sex, berani melawan guru) . Saya menduga pergeseran nilai remaja itu mulai terjadi sejak pertengahan 1980-an. Geng remaja sebetulnya sudah ada sejak 1950-an dengan adanya cross boy, cow boy terutama di Jakarta, Bandung dan Malang, namun hanya di lingkungan terbatas dan umumnya remaja masih mengakui tindakan geng sebagai hal yang salah. Namun pada 1980-an menjadi anggota geng sebagai hal biasa.
Hai edisi 28 dan juga edisi 30 memuat serial “Keluarga Cemara” yaitu “Abah Bisa Salah” dan “Agil Bisa Naik Kereta Gantung” di mata saya juga menanamkan nilai pentingnya kehangatan keluarga, walau keluarga miskin yang tinggal di kota kecil Jawa Barat. Abah adalah tukang becak. Yang menyentuh ketika Agil ingin naik kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah, apa daya Abah tidak mampu, akhirnya membuat kereta gatung dari kain untuk Agil dengan kursi sebagai tiangnya: miris, tetapi penuh semangat. Serial “Keluarga Cemara” ini kemudian diangkat menjadi serial televisi, yang juga menutup era cerita realisme yang kemudian “disapu bersih” oleh mimpi menjadi orang kaya seperti digambarkan sinetron 1990-an.
[caption id="attachment_399381" align="aligncenter" width="437" caption="serial Keluarga Cemara (kredit foto Irvan sjafari)"]
Dalam Hai Edisi 31, 17 Agustus 1982 ada sebuah cerpen karya Mahendra yang cukup menarik berjudul “Ja Tiby Ali Ay Blion” tentang seorang remaja pria mendapatkan kertas kecil bertuliskan kalimat itu dari Katyu, cewek peranakan Rusia-Indonesia yang diselipkan dalam novel Agatha Christie “Death on The Nile”. Tokoh utamanya berusia 16 tahun belajar Bahasa Rusia hanya untuk mengerti kalimat yang ternyata sama dengan I Love You. Cerpen ini sederhana dan edukatif, karena mengajarkan remaja untuk belajar bahasa asing yang manfaatnya lebih sekadar hanya untuk mengatakan I Love You.
Mahendra juga menulsi cerpen menarik dalam Hai Edisi 6 12-18 Februari 1985 dengan judul “Coba dari Dulu Shan” . Cerpen ini mengungkapkan pemuda bernama Widi yang mengeluh karena harus mengantarkan adiknya Shanty yang kerajinan jogging di Senayan. Tetapi rasa keberatannya berubah menajdi ketagihan setelah di Senayan ia diperkenalkan oleh adiknya pada Sasa, cewek cakep, yang menjadi sahabatnya. Sederhana tetapi memotret fenomena jogging di Senayan yang mulai menjamur.
Saya juga tertarik pada cerpen “Keni” yang ditulis oleh Titi FVR di Majalah Hai edisi 4 22-28 Januari 1985. Keni ini adik tokoh utamanya genit, pintar karate,gemar main bulutangkis dan suka lagu “Soldier of Fortune” dari Deep Purple. Yang menyebalkan tokoh utamanya ialah suka menggambar di buku catatannya hingga suka memukul-mukulnya, hingga suatu ketika sang kakak tak sengaja melukainya hingga Keni masuk rumah sakit. Tokoh utamanya menyesal, tetapi adiknya tidak dendam dan bersikap seperti biasa.
Cerpen unik lainnya ialah karya Fajar Putri yang judulnya provokatif “Terus Terang Pacarku Empat” dalam Hai, edisi 3 15-21 Januari 1985. Tokoh utamanya Maria Damayanti yang bisa mengatur empat cowoknya Roy, Joko, Irwan dan Kribo untuk apel. Mungkin karena penulisnya cewek perspektifnya agak berbeda dengan cerpenis cowok. Walau menurut saya terlalu pagi untuk menyebutnya punya nafas feminis (karena waktu itu kesadaran gender masih belum kuat di kalangan remaja bahkan di Jakarta sekali pun).
Cewek masa kini bukan jenis mahluk lemah tak berdaya dan harus memuja meminta perlindungan para hero-nya. Cowok dan cewek sekarang seimbang, satu derajat, satu tingkat. Konten ini dahsyat bagi saya bahwa bukan hanya cowok yang bisa mempermainkan cowok, tetapi cewek juga bisa. Bahkan tokoh utamanya bisa menilai cowoknya obyektif, Roy misalnya anak orang kaya mengajak ek festival break dance, royal dan tidak mengerti harganya uang. Joko gemar naik gunung dan Irwan pintar main catur. Sementara Kribo paling melarat, mengajak kencan paling ke Monas, tetapi selalu melindunginya dari tangan usil.
Cerbung pada 12 edisi bundel kedua yang saya miliki didominasi Jerat Cinta OSIS yang isinya hubungan cinta remaja antara Edwin Sang ketua OSIS dan Lila. Hubungan mereka terganggu dengan kehadiran Sonya. Bahkan Lila dan Sonya harus bekerja sama dalam kepanityaan. Belakangan Lila tahu bahwa hubungan Edwin dan Sonya bukan soal cinta tetapi menyangkut hal lebih besar. Tokoh cowoknya menggunakan mobil yang mengsiyaratkan bahwa remaja membawa mobil sudah menjadi umum masa itu.
Ada cerbung lain seperti Senopati Pamungkas atau Elizabeth Ngatini Alias Tiger yang tidak saya ulas di sini, karena masa itu tidak menarik bagi saya. Senopati Pamungkas baru saya baca ketika di bangku kuliah dan tidak tamat. Menurut saya ceritanya berhasil memadukan cerita silat dengan setting sejarah dengan cukup banyak pengaruh cerita silat ala Kho Ping Hoo. Sementara Elizabeth Ngatini Alias Tiger baru menarik saya ketika muncul Opera Jakarta karena penulisnya sama Titi Nginung.
Selain cerpen dan cerbung, terdapat artikel edukatif berkaitan problem remaja saat itu. Misalnya saja artikel yang ditulis V.Lestari berjudul “Remaja Bercinta” dalam Hai edisi 31, 17 Agustus 1982 mengulas usia remaja memang dipenuhi bayang-bayang dan khayal yang indah. Cowok rela berkorban melindungi ceweknya, menulis surat cinta yang puitis. Cewek memasak kegemaran cowoknya agar tampak keibuan, lembut melihat bayi. Ideal masa itu. Tetapi kalau sekarang sekarang saya melihatnya belum ada kesadaran gender masa itu. Mengapa cowok tidak memasak kegemaran ceweknya? Bukankah cowok harus lembut melihat bayi? Bukankah cewek juga bisa melindungi cowoknya pada saat tertentu dan tidak harus bergantung?
Namun di bagian lain V.Lestari cukup tajam mengkritisi cowok playboy yang berganti cewek seperti bertukar baju, hingga gambaran yang salah mengenai kebebasan bercinta. Lestari menyorot apa yan digambarkan film barat tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Dia juga meminta cewek untuk menjaga dirinya dalam berpacaran.
Reportase Perjalanan, Pengetahuan Ilmiah Populer dan Tren Remaja
Pada 1970-an akhir Rano Karno menjadi ikon remaja. Majalah Hai No 13 Tahun ke II 4 April 1978 menulis “Rano Karno: Berani Pakai Rok Tapi Takut Kaya” . Waktu itu Rano Karno adlaah remaja berusia 18 tahun digambarkan bertubuh kurus dengan kulit yang hitam legam (masa itu wajah indo tidak popular). Ia dicap sebagai anak ajaib karena sebagai anak kecil dia sudah bermain film dan filmnya berjudul Lewat Tengah Malam dan Malin Kundang (1974) begitu memikat. Citra yang ditampilkan Rano sebagai remaja sederhana masih pas dengan nilai-nilai masa itu. Mengendarai sepeda ke sekolah masih dilakukan-seperti pada 1950-an- dan itu juga terekam dalam cerpen pada 1970-an. Seingat saya waktu duduk di bangku SMP di bilangan Tebet, masih ada teman yang ke sekolah mengendarai sepeda.
Meskipun begitu penampilan anak muda 1970-an juga sudah terpengaruh budaya Barat seperti rambut gondrong menjuntai, kurus kerempeng berbusana army look, celana cut-bray dan sepatu tumit tinggi, bagi yang laki-laki. Sementara bagi yang merempuan berambut sasak, rok mini dan sepatu boot setinggi lutut. Penampilan ini lebih banyak dipengaruhi oleh grup-grup musik dari Eropa dan Amerika. Personel grup-grup musik Indonesia seperti Giant Step dan Geng of Harry Rusli juga berpenampilan seperti ini (lihat https://dennysakrie63.wordpress.com/2010/09/26/napak-tilas-anak-muda-70-an/ diakses pada 25 Februari 2015).
Walau sudah terasa ada pergeseran nilai, Majalah Hai edisi 28 hingga 35 pada 1982 memuat artikel inspiratif, seperti profil Lee Kuan Yew, wawancara dengan Arbi Sanit, kisah pemuda bernama Tono Calon Sarjana Hukum yang menjadikan bengkel las untuk biaya sekolah. Reportase perjalanan seperti Dewi Savitri pada Februari 1982 menelusuri Gua Ciseeng dalam edisi 28, 27 Juli 1982, atau artikel “Berlayar ke Pulau Sanghiang: Menyepi Sambil Kerja Ilmiah” dimuat pada edisi 30 10 Agustus 1982. hingga seorang pesinden yang tinggal di rumah petak yang dihuni 50 orang. Selain itu ada terdapat ulasan pelajaran elektronika dan Bahasa Inggris yang pada waktu itu masih menarik .
Pada 1985 terdapat juga sejumlah ulasan wisata seperti Kemping di Pulau Onrust (Hai edisi 2, 8-14 Januari 1985) Wisata ke Grand Canyon (edisi 4 22-28 Januari 1985). Edisi ke 4 ini juga memuat artikel tentang keajaiban serangga, seperti Belalang Australia yang bisa mempunyai keistimewaan tak terlihat oleh predatornya karena bisa menyamarkan warna di daun kering tempat mereka hinggap, serta kupu-kupu daun Amazon. Pada Hai nomor 14 Tahun ke II tertanggal 11 april 1978 ada feature perjalanan ditulis Astuti Asman “Mengunjungi Cagar Alam Pananjung Pangandaran” menggabungkan reportase perjalanan dan kecintaan terhadap lingkungan hidup. Si penulis mengungkapkan kekhawatirannnya akan rusaknya sebuah cagar alam jauh sebelum jadi isu nasional puluhan tahun kemudian.
Yang paling menarik menurut saya pada Hai edisi 7 tertanggal 19-25 Februari 1985 dengan cover break dance memuat jurus-jurus break dance, seperti Back Walk Moon, Side Moon Walk, Jurus Pragawati, Jurus Gelombang, Jurus Gasing dan masih banyak lagi lengkap dengan step-stepnya. Pada waktu itu saya sudah duduk di bangku Kelas II SMA di mana kami juga dijangkiti demam tari kejang ini. Seingat saya waktu audisi acara perpisahan sekolah kelas II Sos mengisi dengan peragaan break dance. Tentu saja ada profil Septian Dwi Cahyo yang masa itu terkenal karena kepiawaiannya dalam break dance.
Saya menelusuri kembali kapan dimulainya demam tari kejang ini. Awalnya demam ini muncul dengan wajah yang tidak terlalu baik. Dalam Rekaman Peristiwa 1985yang diterbitkan koranSuara Pembaruan,media massa mulai mencatat kehadiran fenomenabreakdancelantaran "Festival Breakdance '84" yang berlangsung 13 Desember 1984 di Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol yang berakhir kacau. Puluhan ribu remaja membuat keributan karena tidak puas pada acara itu. Awal 1985, dicatat buku itu lagi kemudian,break dancemulai merasuk pada remaja usia 11 sampai 21 tahun.
MajalahTempoedisi 5 Januari 1985, misalnya, merekam sebuah adegan saat polisi melarang remaja yang hendakbreakdance. Pada masa itu juga beredar film yang dibintangi Chicha Koeswojo dan Rico Tampaty, tentunya juga Septian Dwi Cahyo berjudul “Gejolak Kawula Muda” (lihat juga artikel yang ditulis Ade Irwansyah, “Menengok Masa kejayaan Tari Kejang Alias Break Dance” dalam Tabloid Bintang, 23 Februari 1985). Yang cukup menarik bagi saya ketika Hai menjadikan Paramitha Rusady sebagai cover edisi Hai 11 tertanggal 19-25 Maret 1985. Anak bungsu dari 7 bersaudara ini yang muncul dari lomba musik menampilkan wajah “perempuan Indonesia” di tengah mulai digandrunginya wajah-wajah indo.
[caption id="attachment_399383" align="aligncenter" width="336" caption="Salah satu Edisi Hai 1985 (kredit foto Irvan sjafari)"]
Seingat saya (ada tertulsi dalam diary saya) masa itu kegiatan yang bersifat kesenian dan olahraga berhadapan dengan kegiatan organsiasi seperti Pramuka, Pencinta Alam, Palang Merah Remaja masa itu. Situasinya masih imbang. Itu juga saya rasakan sekali pun band dominan, tetapi anak-anak yang gandrung terhadap Pramuka, Pencinta alam dan PMR masih dominan. Seingat saya di SMA 28 Jakarta Selatan tempat saya sekolah dulu dari sekitar 1200 murid pada 1985 jumlah anggota PMR hampir 400 murid , Pramuka dan URAL, pencinta alam juga ratusan. Jadi lebih dari 50% siswa lebih suka kegiatan outdoor, sementara kegiatan kesenian juga marak, tetapi belum dominan. Ada festival band seingat saya sudah dilaksanakan beberapa kali.
Majalah Hai pada edisi ke 2 /8-14 Januari 1985 juga memuat reportase soal lomba band memperebutkan Piala Gubernur DKI Jakarta, yang diikuti 18 grub band dari Jakarta, Bandung, Cimahi, Surabaya dan Malang yang diadakan pada Desember 1984. Namun di edisi itu juga ada reportase pameran kerajinan dari remaja putus sekolah di Balai Sidang Senayan. Sementara pada edisi 3 15-21 Januari 1985 diulas profil komunitas remaja bernama Padmanaba yang membantu korban ledakan Marinir di Cilandak (kejadian ledakannya pada Oktober 1984).
Majalah Hai juga memuat resensi buku yang ditulis para siswa SMA. Buku-buku yang diresensi cukup berat untuk remaja masa itu, seperti Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan karya antropolog Koentjaraningrat (diterbitkan Gramedia, 1984) yang diulas oleh Ivony Pertini, siswa SMA Regina Pacis Jakarta yang juga dimuat dalam edisi 2 pada Januari 1985.
Apa yang sebenarnya terjadi pada remaja 1980-an? Sidik Jatmika dalam bukunya Genk Remaja; Anak Haram Sejarah atau Korban Globalisasi terbitan Yogyakarta, Kanisius, 2010 menuding beralihnya kekuasaan Indonesia dari Soekarno; yang kritis ke tangan Soeharto yang didukung tim ekonomi dari Mafia Barkeley dan petinggi militer binaan Amerika Serikat kian membuka peluang lebar-lebar bagi remaja Indonesia untuk berkiblat ke budaya Barat. Film dan Musik adalah gerbang utama dari proses imitasi budaya tersebut oleh remaja.
Sebetulnya di negara-negara Eropa sudah lama dilakukan penelitian tentang hal ini yang menyimpulkan bahwa tidak terdpaat petunjuk-petunjuk yang tegas bahwa sering menonton bioskop membahayakan perkembangan sosial anak. Tetapi menonton televisi lain halnya. Evry 1952 mendapatkan bahwa 33,3% dari ana-anak yang sering menonton televisi oleh gurunya dinilai sebagai anak-anak yang tidak senang gelisah. Lewis pada 1951 mengungkapkan bahwa anak-anak yang menonton televisi lebih dari 11-15 ham seminggu mengalami pengurangan prestasi sekolah (drs.H. Abu Ahmadi.Psikologi sosial, Surabaya: Bina Ilmu, 1979).
Kalau saya melihatnya sebetulnya 1950-an sudah ada geng remaja juga mencontek film Barat hanya saja belum semarak era 1980-an. Perilaku bully di kalangan remaja, hamil di luar nikah, semakin beraninya murid melawan guru, tumbuh seperti kecambah. Mengisap ganja dan narkoba menurut saya masih terbatas pada remaja tertentu di masa 1970-an, pelan menjamur 1980-an dan menjadi masalah besar pada dua dasawarsa terakhir ini. Apa penyebab perubahan perilaku itu memang masih membutuhkan penelitian apa penyebabnya, tetapi televisi, gadget, globalisasi, internet semakin terbukanya Indonesia bisa ditudsing faktor yang saling jalin menjalin.
Dalam konsultasi yang diasuh Mbak Retno, misalnya pada Hai Edisi 3 15-21 Januari 1985 terungkap persoalan-persoalan yang ada dikeluhkan masih soal prestasi belajar, cewek yang membenci teman sebangkunya. Dalam edisi berikutnya terdapat juga soal jatuh hati pada selebritis atau artis. Hal yang juga terjadi pada 1950-an dan remaja umumnya bisa mengatasi masalahnya tanpa memberikan efek pada skala yang lebih luas. Persoalan remaja setelah 1990-an lain halnnya.
Sikap majalah Hai pada 1980-an tampaknya masih memihak pada nilai normatif. Meskipun kontennya juga tidak menolak adanya kegandrungan terhadap musik, film dan serial televisi yang berasal dari Barat walau bisa diimbangi dengan konten yang mengisi spiritual, memberikan motivasi, menyoroti adanya remaja yang bukan dari kalangan the have. Dalam beberapa cerpen atau artikel juga disinggung tentang fenomena makanan cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken yang baru muncul masa itu, tetapi sebagian remaja masih gandrung makan bakso.
Irvan Sjafari
Foto-foto dokumen pribadi kecuali Hai 1978 dari situs dennysakrie63.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H