Sebagai salah satu kota bersejarah di Indonesia, Solo merupakan kota yang banyak menjadi daya tarik para pengunjung. Tidak hanya karena Solo sebagai Kota Kesenian (sebagaimana lirik lagu Kota Solo yang diciptakan oleh Mus Mulyadi) tetapi Solo merupakan kota yang Plural. Kota yang berisikan masyarakat dari berbagai keyakinan namun tetap dapat harmonis dalam satu daerah yang bernama Solo. Tidak heran kota Solo disebut Spirit of Java yang juga dapat diartikan sebagai jiwa nya Pulau Jawa.
Baru-baru ini menarik untuk menjadi perhatian kita bersama di saat bangsa Indonesia menyiapkan perhelatan akbar, Pemilu 2019. Banyak kelompok-kelompok yang ingin memecahbelah persatuan Indonesia atau lebih spesifik menginginkan suasana semakin memanas menjelang Pemilu 2019. Seperti halnya menjelang Pilpres 2019. Berbagai isu sensitif yang mereka angkat dengan tujuan saling menyerang dan melumpuhkan salah satu kubu. Isu sensitif yang paling banyak mereka jual adalah persoalan agama. Mengapa persoalan agama menjadi rentan menimbulkan suasana semakin memanas?, karena disaat berbicara agama maka kita masuk pada ranah pembahasan tentang keyakinan.
Keyakinan atau sebagian orang menyebutnya iman adalah sesuatu yang sakral. Keyakinan dapat menembus tembok perbedaan yang ada dan dapat pula membuat tebal tembok perbedaan tersebut. Bila orang-orang dari suatu daerah yang sama namun memiliki iman atau keyakinan yang berbeda, maka memungkinkan tembok pemisah akan semakin tebal dan sebaliknya sekalipun berbeda daerah tetapi sama keyakinan maka tembok pemisah akan dapat ditembus dengan mudah. Dari ilustrasi ini terjawablah sudah mengapa seseorang menjadi begitu terpanggilnya di saat berbicara terkait keyakinan?. Hal ini menjadi suatu kewajaran setiap orang yang meyakini agamanya harus berperilaku yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Menjadi tidak wajar-lah ketika ia sudah mulai mengerdilkan bahkan sampai menghina agama lain. Bukankah seseorang yang beragama akan tercermin melalui sikap toleransi yang besar terhadap orang yang beragama lain?
Fenomena salibisasi di balai kota Solo menjadi isu yang menarik untuk kita simak. Isu simbol salib menjadi hal yang diperdebatkan. Ada kelompok ormas agama yang ingin memperjuangkan agar simbol tersebut dibongkar. Beberapa ormas lainnya akan turun melakukan aksi damai "Tolak Salibisasi Kota Solo. Mari sejenak kita lihat esensi dari isu salib tersebut. Simbol yang terdapat di balaikota Solo tidak menunjukkan tendensi agama tertentu. Bahkan pemerintah Kota sudah mengkonfirmasi bahwa itu adalah gambar arah mata angin. Sah-sah saja ketika berbagai orang melihat itu sebagai apa yang dimaknakannya, tetapi menjadi tidak elok ketika gambar yang dipersepsikannya menjadi suatu gerakan dari agama lain (salibisasi) apalagi mengkaitkan dengan isu Pilpres 2019 yang akan datang. Psikolog Sosial, Sarlito Wirawan Sarwono (1983) mengatakan persepsi merupakan kemampuan seseorang dalam mengorganisir suatu pengamatan. Sehingga wajar ketika orang mempunyai persepsi yang berbeda terkait dengan gambar di depan balai kota Solo. Sekali lagi menjadi tidak wajar ketika gambar tersebut dipolitisi yang bertujuan untuk memusuhi agama lain.
Terkait dengan hal ini saya mengajak kita semua kembali bertanya pada hati nurani. Apakah yang akan kita lakukan ini sudah sesuai dengan apa yang semestinya? Apakah tidak ada muatan politik dari kegiatan tersebut. Sebagai warga Solo yang menjunjung tinggi keberagaman, tidak semestinya kita menunjukkan perilaku gaduh yang hanya membuat suasana semakin memanas. Mari tunjukkan sebagai bagian dari Spirit Of Java, terlebih lagi menjelang isu Pilpres 2019. Semoga menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H