Kasus-kasus kekerasan seksual pada anak masih saja terjadi. Ada ayah yang tega memerkosa anak kandungnya di Mentawai, Sumatera Barat. Alasannya? Pelaku mengatakan wajah sang anak mirip ibunya. Udah gitu, ia mengaku melakukan perbuatan bejat tersebut atas dasar suka sama suka. Duh, Pak, sange mah sange aja keles, ga usah banyak alesan.
Selain itu ada kasus pencabulan seorang guru les musik terhadap 19 anak di Sukabumi. Lalu kasus guru les piano melecehkan muridnya di Bengkulu pada Februari lalu. Kemudian pada Januari 2020, ada kasus pelecehan seksual pada 12 siswi SD di Kecamatan Seyegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh guru (48).
Lagi, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita mengenai pencabulan 305 anak oleh seorang warga negara Prancis. Dari 305 anak yang terdapat dalam video, baru 19 anak yang dikenali. Tersangka ditemukan mati bunuh diri di sel tahanan Polda Metro Jaya pada 12 Juli lalu.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan pada 2019 ditemukan sebanyak 350 perkara kekerasan seksual pada anak. Ini menjadi peringatan serius bagi bangsa ini, bahwa kesangean semakin menjadi di mana-mana. Sayangnya, yang menjadi korban justru adalah anak.
Mengapa hal ini terus berulang terjadi? Bagaimana peran negara untuk melindungi anak-anak?
Sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 1 ayat 1, definisi anak adalah : seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Â
Sedangkan menurut Kail, Robert V dalam Children and Their Development (6th Edition, 2011), tahapan perkembangan anak dapat dibagi menjadi bayi baru lahir (usia 0-4 minggu), bayi (usia 4 minggu - 1 tahun), balita (usia 1-3 tahun), anak prasekolah (usia 4-6 tahun), usia sekolah anak (usia 6-13 tahun), remaja (usia 13-19) (2011).
Di Indonesia, komitmen negara dalam melindungi anak tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. UU tersebut bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (Pasa 2 ayat 2).
Di Pasal 13 ayat 1 dengan jelas dikatakan Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Udah jelas banget ada Undang-Undang yang melindungi anak. Namun, tetap saja kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Padahal, kekerasan seksual yang dialami oleh anak dapat memberi dampak buruk bagi proses tumbuh kembang sang anak. Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan akibat kekerasan ini menjadi empat jenis :
1. Pengkhianatan (Betrayal).
Pengkhianatan ini berhubungan dengan lunturnya kepercayaan anak pada pihak lain.
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization).
Trauma ini menyebabkan ketika anak sudah dewasa akan memiliki kecenderungan untuk menolak hubungan seksual dengan lawan jenis.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness).
Anak dapat mengalami rasa takut, mimpi buruk, fobia, kecemasan yang juga dibarengi rasa sakit.
4. Mengalami Stigma (Stigmatization).
Ditandai dengan rasa bersalah, malu, citra diri buruk, sering merasa berbeda dengan orang lain, bahkan marah pada diri sendiri. Ia berusaha menghilangkan ingatan sekaligus rasa sakitnya dengan obat-obatan, alkohol, dan lain-lain.
Langkah Pencegahan
Kita patut mengapresiasi aparat keamanan yang dapat membongkar kasus-kasus kekerasan seksual pada anak. Namun di sisi lain, kita perlu turut andil melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga kejadian ini tidak terjadi berulang, termasuk kepada anak-anak, adik-adik, atau orang-orang yang kita sayangi.
Pencegahan ga cukup dilakukan dengan teriak-teriak di medsos. Minta pemerintah bikin aturan ini itu. Minta DPR bikin Undang-Undang ini itu. Inget ga tuh, RUU PKS malah ga dibahas lagi. Kalah penting RUU yang lain. Bahkan dikatakan 'sulit'. Ah.. sudahlah, ga usah berharap terlalu banyak dari anggota DPR yang terhormat.
Bagi kita sekarang, langkah identifikasi sedari dini jauh lebih penting. Jangan sampai sesudah jatuh banyak korban, baru kita tersadar. Identifikasi dini ini mencakup 2 tahap : pencegahan pra dan tindakan pasca kejadian.
Pencegahan pra kejadian, dilakukan dengan menjauhkan anak-anak dari orang-orang yang berpotensi menjadi predator seks. Dilansir dari situs stopitnow.org, terduga predator seks memiliki beberapa ciri khas.Â
Pernah ga sih kita ketemu sama orang yang : tidak terlalu suka dengan batas sosial, emosional atau fisik, menggunakan bahasa menggoda pada anak, bersikeras memeluk, menyentuh, mencium, menggelitik, bermain atau memegang anak bahkan ketika anak tidak ingin kontak fisik ini atau perhatian. Nah, kita perlu waspada tuh, kalau anak berada di dekat orang-orang seperti itu.
Di samping itu para terduga predator ini tak ragu menceritakan lelucon seksual di hadapan anak. Ia memiliki interaksi rahasia dengan remaja atau anak (seperti game, berbagi narkoba, alkohol, atau materi seksual). Ngeri pokoknya kalau tau-tau anak sudah main rahasia-rahasia'an dengan orang yang tidak kita kenal.
Sementara itu, tindakan pasca kejadian berguna untuk mencegah terjadinya akibat yang lebih buruk pada anak, seperti kehamilan, atau bahkan kematian.Â
Hal ini dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda: apakah ada memar yang tidak dapat dijelaskan, kemerahan, atau pendarahan pada alat kelamin anak, anus, atau mulut? Apakah mereka mengalami rasa nyeri pada alat kelamin, anus, atau mulut? Apakah ada luka genital atau cairan susu atau infeksi berulang di daerah genital?Â
Jika jawabannya adalah 'iya', lakukan komunikasi dari hati ke hati dengan korban tanpa harus menyudutkannya. Kemudian segera bawa korban ke dokter untuk mencegah hal-hal buruk, seperti penyakit seksual menular. Dan bila memang benar terbukti telah terjadi kekerasan seksual, segera laporkan kepada pihak yang berwajib.
Pemerintah dan DPR tidak dapat bekerja sendirian untuk memberangus para predator seksual yang mungkin masih berkeliaran di negeri ini. Terlebih di masa pandemi seperti ini, membicarakan RUU PKS saja sangat sulit bagi mereka. Peran kita sebagai masyarakat sangat dibutuhkan untuk dapat melakukan pencegahan kasus kekerasan seksual pada anak.
Yuk ah, jangan cuma bisanya teriak-teriak di medsos. Peka dan lihatlah orang-orang di sekitar kita. Cegah kekerasan seksual sedari dini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H