Mohon tunggu...
Juragan Sego Tiwul
Juragan Sego Tiwul Mohon Tunggu... wiraswasta -

Open Minded, PD aja meski pendidikan pas2an, pernah kerja di KBRI (Kuli Bangunan Republik Indonesia) Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aku Juga Pembela Ulama

2 Februari 2017   08:05 Diperbarui: 2 Februari 2017   08:16 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa jadinya negeri ini jika tidak ada ulama. Mungkin mereka tidak mengerti KUHP. Mungkin mereka tidak tahu perundang-undangan, hukum, juga peraturan-peraturan lainnya. Tetapi kontribusi mereka di masyarakat sangatlah besar. Setiap kali aku mengantar anak-anak ku mengaji di langgar(mushola) tak henti-hentinya aku bersyukur. Melihat guru ngaji duduk di kursi dan santri duduk di bawah. Mereka mendidik anak-anak tentang nilai-nilai kebaikan dengan cara sederhana. Melatih kedisiplinan, mengajari kesopanan, hormat kepada yang lebih tua, memberi pengertian bahwa mencuri itu tidak baik, dan masih banyak lagi budi pekerti yang luhur di ajarkan. Tanpa mengharap imbalan apa-apa,apalagi berharap bisa di angkat jadi guru PNS. Kami sebagai orang tua yang serba kekurangan baik waktu, tenaga dan ilmu sangatlah bersyukur kepada ulama yang suka rela mendidik anak-anak kita.

Hatiku bergetar darahku bergejolak ketika melihat tayangan di Youtube dimana Gus Dur di katakan buta mata dan buta hatinya oleh Riziek Shihab. Pun hatiku teriris pedih ketika kyai sepuh Ma'ruf Amin tersudut pasrah di persidangan kasus Ahok. Rasa tak percaya ulama terhinakan oleh keadaan sedemikian rupa.

Namun sebagai manusia kita wajib selalu bijak dalam menyikapi apa yang terpampang di depan kita. Tidak boleh melepaskan perasaan tetapi juga tidak boleh melepaskan pikiran. Yang bertentangan tidak selalu kebenaran dan kesalahan. Kebenaran dan kebenaran pun bisa berlawanan. Jika kita bersimpati kepada KH Ma'ruf Amin hendaknya kita  juga harus mau berpikir untuk merasakan apa yang di rasakan oleh pihak Ahok.

Tidak mudah menjadi minoritas di negeri ini. Dan lebih tidak mudah ketika keminoritasan itu kini membawanya di kursi pesakitan. Ketika Ahok mempersoalkan surat Al Maidah 51 itu hanyalah ungkapan kekecewaan atas apa yang di alaminya dan dialami banyak kaum minoritas yang lain. Menagih apa yang telah dijanjikan negeri ini tentang kesetaraan hak politik.

Kita berharap kedua belah pihak bisa menjaga kewarasan berpikir, membuang ego masing-masing. Pak Kyai adalah pejuang dan Ahokpun pejuang kesetaraan. Tidak mudah rasanya di demo jutaan orang, dicaci-maki, diancam bunuh, celakanya itu bukan karena kesalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun