[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="Ilustrasi: sebuah komitmen untuk menjadikan Jakarta bersih dari sampah terpampang di sebuah truk sampah Pemprov DKI. Demi melaksanakan komitmennya, para sopir truk sampah mengesampingkan harapan warga Bekasi terbebas dari bau sampah warga Jakarta. (sumber foto: kompas.com)"][/caption] Walikota Bekasi Rahmat Effendi dikabarkan memimpin langsung pengusiran terhadap truk-truk sampah Pemprov DKI Senin lalu di pintu tol Bekasi Barat. Tindakan walikota mewakili kegeraman warga Bekasi atas ulah sopir-sopir truk sampah yang tak lagi mengindahkan kesepakatan yang dibuat oleh pemprov DKI dan pemkot Bekasi. Berdasarkan kesepakatan yang dibuat, sebuah rambu voorboden khusus untuk truk sampah dipasang di jalan itu untuk membebaskan warga Bekasi bersentuhan dengan truk-truk pengangkut sampah warga Jakarta sebelum jam 9 malam. Tentu banyak alasan pembenar yang bisa disampaikan oleh penanggung jawab kebersihan kota Jakarta. Keterbatasan jumlah truk pengangkut sampah mungkin menjadi alasan. Untuk mengejar tumpukan sampah Jakarta, truk-truk harus dioperasikan sejak siang hari, menjadi bagian dari pemandangan kota Bekasi. Tetapi apakah warga Bekasi yang harus ketiban pulung gara-gara Pemprov DKI tak mau menambah truk sampah, padahal APBD DKI mencapai Rp 72 triliyun? Alasan lainnya, konon kemacetan Jakarta menjadi penyebab para sopir itu harus membagi jadwal pengoperasiannya sejak pagi hingga malah hari, around the clock. Kembali, mengapa kesalahan pemerintah Jakarta mengurus lalu lintasnya harus ditanggung oleh warga Bekasi? Ahok, pak wakil gubernur, konon girang menyikapi pengusiran truk sampah itu. Ahok menengarai penanganan kebersihan di Jakarta dikendalikan oleh mafia. Dengan kejadian ini Ahok mungkin memiliki peluru untuk menghantam para pencari rente itu. Tetap saja alasan ini tak bisa membenarkan pelanggaran kesepakatan, karena yang membuat kesepakatan dengan pemkot Bekasi adalah Pemprov DKI. Bukan mafianya. Seharusnya truk-truk sampah itu tak diusir, tetapi ditahan. Truk itu seharusnya dibebaskan setelah pak Jokowi menyampaikan permohonan maaf dan berjanji kepada warga Bekasi untuk mematuhi kesepakatan. Alhasil, truk-truk itu hanya dihalau untuk kembali ke Jakarta. Meskipun hanya diusir, esensi pelanggaran kesepakatan oleh Pemprov DKI tetap masih ada. Gubernur sebagai kepala daerah wajib mengemban janji tertulis itu. Pemprov DKI mestinya tak memandang warga Bekasi sebagai warga marjinal, sebagai objek penderita yang ditakdirkan menderita hidup di daerah penyangga ibu kota. Kita tunggu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H