Teror oleh sekolompok anak muda berkendara sepeda motor di Pondok Melati Kota Bekasi kembali menjadi headline di beberapa media massa nasional. Sepertinya kejadian demi kejadian yang melibatkan sikap anarkis gerombolan yang bernama geng motor terus bermunculan dari berbagai daerah untuk kemudian dilupakan lagi. [caption id="" align="aligncenter" width="408" caption="Teror oleh kelompok berkendara sepeda motor telah terjadi sejak lama. Sejak lama pula masyarakat menerimanya sebagai suatu kepasrahan. (sumber foto: www.bbsmktg.com)"][/caption] Teror oleh geng bermotor tak hanya terjadi di Indonesia saja. Kehadirannya telah menjadi fenomena di mana-mana. Kebrutalan para biker itu telah lama diangkat menjadi sebuah sinetron berseri di Amerika dengan judul Sons of Anarchy. Hampir selalu (tanpa berrmaksud mendiskreditkan merk sepeda motor tertentu), gerombolan penebar teror yang disebut geng motor ditampilkan dengan perkumpulan pengendara motor besar Harley Davidson. Barangkali, motor Harley dipilih oleh mereka karena suaranya yang besar mampu membangkitkan nuansa gagah dan berkuasa. Dengan menunggangi sepeda motor yang gagah dan berkuasa, seakan memberikan rasa percaya diri bagi pengendaranya bahwa masyarakat akan hormat dan tunduk, bila perlu merasa takut kepada mereka. Anarkisme menjadi sikap derivatif mereka secara berkelompok bila rasa takut yang ditebarnya tak sampai. Harga sebuah Harley Davidson tergolong mahal untuk ukuran masyarakat Indonesia, sehingga tak sembarangan orang bisa membelinya. Tetapi tidak menunggang Harley ternyata tak menutup obsesi sebagian masyarakat untuk mengendarai sepeda motor yang mampu menunjukkan arogansi dan teror. Aneka aksesoris sepeda motor yang meniru sifat-sifat motor Harley tersedia luas di pinggir jalan dengan harga yang sangat terjangkau oleh tukang ojek sekalipun. Tak mengherankan, para pengendara sepeda motor penebar teror hadir di mana-mana. Tanpa disadari, mungkin salah satu dari mereka telah menjadi bagian dari kehidupan setiap warga. Undang-undang sejatinya jelas melarang segala bentuk tindakan yang merusak ketertiban umum. Peraturan lalu lintas juga sama, tak ada yang memperbolehkan. Anehnya, bangsa kita benar-benar menunjukkan sikap pemaafnya dengan tidak mempermasalahkan kehadiran sifat geng motor di tengah-tengah kehidupannya. Pemerintahan mulai dari gubernur, walikota, lurah, hingga RT/RW seakan tuli dan buta menyaksikan para penebar teror  berkeliaran di wilayahnya. Kepolisian sebagai penegak hukum seperti terbebani gerak langkahnya oleh beberapa petingginya yang hobi menunggang Harley.  Para pendidik di sekolah juga memilih acuh sehingga murid-murud banyak yang berperan ganda: sebagai siswa ketika di dalam kelas dan menjadi bagian dari penjahat anggota geng motor begitu keluar dari ruang kelasnya. Bila sekarang para gerombolan bersepedamotor itu berulah hingga menimbulkan korban,  mestinya tak perlu menjadi headline lagi. Mereka telah lama menjadi bagian dari lingkungan yang mengacuhkan bibit-bibit teror. Tetapi bila headline itu berarti timbulnya kesadaran perubahan paradigma, seluruh anggota masyarakat harus mulai tega memberantas setiap benih sifat geng motor yang muncul di sekelilingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H