[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi: Ahok dengan Kartu ID yang terhubung dengan rekening di Bank DKI (Kompas)"][/caption] Dirut Bank DKI Eko Budiwiyono seketika ngetop. Meskipun beliau sudah menjabat sebagai pimpinan perbankan beberapa lama, barangkali baru kali ini mendapat publisitas sedemikian masif. Liputan itu beliau alami mungkin tanpa pernah diduga sebelumnya. Konon, menurut berita di kompas.com, Dirut bank yang sahamnya 99,9% dimiliki oleh Pemprov DKI, pucat pasi dimarahi oleh pak wagub lantaran kartu akses di Rusun Marunda tidak menampilkan foto pemiliknya. Ahok kecewa dengan desain kartu yang dianggapnya akan tetap menyuburkan sistem percaloan perumahan yang disediakan khusus untuk rakyat kurang mampu itu. Sepintas, kemarahan Ahok dapat dimengerti. Demikian pula yang dirasakan oleh penghuni rusun yang kontan bertepuk tangan riuh menyaksikan seorang wakil gubernur mencak-mencak mengungkapkan praktek-praktek kotor birokrasi pemprov DKI. Barangkali Ahok merasa gerah dengan "keuletan" anak-anak buahnya memelihara peluang. Tetapi Ahok mungkin tak paham atau sedang gelap mata. Dirut Bank DKI bukanlah pejabat yang mengurusi kebijakan sewa-menyewa rusun. Direktur bank tidak direkrut untuk memberantas mafia percaloan. Meskipun pemprov DKI memiliki 99,9% sahamnya, Bank DKI tetap sebuah institusi independen yang lepas dari kegiatan pemerintahan dan politik. Pada awalnya beberapa bank memang mengeluarkan kartu kredit atau kartu ATM yang dilengkapi dengan identitas pribadi pemiliknya. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi perso dan percetakan kartu, penampilan gambar dan huruf pada kartu semakin beragam. Strategi marketing co-branding banyak dilakukan melalui kartu. Tetapi ternyata tidak semua nasabah memerlukan kartu yang memuat identifikasi pribadi pemegangnya. Mereka lebih mementingkan kecepatan. Sehingga perbankan umumnya telah mencetak kartu dengan nomor yang unik yang disiapkan untuk nasabah yang tidak memerlukan identitas pribadi pada kartu. Dengan begitu nasabah bisa memilih, ingin cepat atau ingin mendapatkan kartu yang memajang nama dan foto dengan waktu proses yang lebih lama. Biasanya bank memborongkan percetakan kartunya kepada penyedia jasa atau mencetak sendiri. Kemarahan Ahok kepada Dirut Bank DKI jelas salah sasaran. Bank DKI memberikan kartu kepada para nasabahnya sesuai pilihan nasabahnya. Seharusnya Ahok memarahi anak buahnya, yaitu Kepala SKPD yang mengurusi perumahan di DKI. Beliaulah yang menjadi wakil penghuni Rusun Marunda dalam urusan desain kartu. Terlepas dari hal-ikhwal desain kartu akses Rusun Marunda, sikap hantam kromo Ahok kepada pejabat perbankan dalam menjalankan misinya perlu diwaspadai. Kali ini mungkin bermaksud baik. Tetapi kebijakan pemerintahan selalu bersinggungan dengan tujuan politik. Kegelapan mata Ahok menganggap pejabat bank pemda sebagai salah satu organ pemerintahan bisa nyerempet bahaya. Kepercayaan msyarakat terhadap dunia perbankan bisa meluntur. OJK sebagai penjaga kemurnian dunia perbankan perlu menegur Ahok agar tidak membebani Bank DKI dengan tugas kepemerintahan. Bila perlu, OJK segera melakukan fit and proper test kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia untuk mencegah pengerahan Bank Pembangunan Daerah sebagai alat politik kepala daerah yang sedang berkuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H