Ketika Sang Pemberi Nyawa kemudian menagih pertanggungjawaban atas setiap detik waktu yang digunakan. Ketika Sang Pemberi nafas menagih pertanggungjawaban atas setiap hentakan kembang kempisnya nafas yang berulang. Ketika Sang Pemberi rizki menagih pertanggungjawaban atas setiap lembaran hari-hari yang dimanfaatkan. Adakah kita siap untuk menjawabnya dihadapan Sang Pemilik Segala tersebut….
Jum’at kemarin bukan saja hari yang istiwewa seperti pekan-pekan sebelumnya. Akan tetapi jauh lebih istimewa dari yang pernah saya alami. Hidup mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, meresapi setiap celupan nikmatNya yang seringkali menghampiri, namun kita sendiri jauh tersadar akan nikmatnya tersebut.
“Ini sepeda untukmu. Dari temen-temen.”
JegeRrrr.. Belum pernah sebelumnya terbayang dan terlintas dalam pikiran akan mendapatkan nikmat dari cara yang seperti ini. Saat saya harus ‘dijebak’ untuk mengantarkan sepeda baru ke rumah Sang Pemilik sepeda yang baru saja membelinya dari sebuah toko di kawasan Brigen Katamso. Saat ketika sepeda itu sudah sampai dirumah sang pemilik, namun seketika ada sms yang masuk. “Itu udah jadi milikmu.” DI saat itu pula saya tak bisa mengambil keputusan dengan cepat antara menerima dan menolak.
“lho, itu kan rezeki.. Kenapa ditolak?” .
Karena pasti dari setiap rezeki itu akan ada pertanggungjawaban besar yang harus ditunaikan. “Bukankah memang seperti itu ya, setiap rezeki, nafas, dan nikmat-nikmat lain yang Allah berikan pada manusia, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya?”
Hmm, kemudian saya berpikir ulang untuk menerima pemberian tersebut. Ada dua konsekuensi pertanggungawaban yang harus saya tunaikan, yaitu pertanggungjawaban vertikal (Hablumminallah) dan Horizontal (Hablumminannaas). Berat ketika menerima pemberian yang bisa dikatan “itu uang ummat.” Berarti setiap waktu yang digunakan, bila terbuang sia-sia adalah juga menyia-nyiakan uang ummat. Astaghfirullah.
Padahal, memang seharusnya manusia itu menyadari bahwa dari setiap nikmat yang ia miliki, ada pertanggungjawaban vertikal dan horizontal. Tentang bagaimana, untuk apa dan dengan apa nikmat itu digunakan.
Seorang manusia itu akan berhenti pada pengembaraan hidupnya, suau saat nanti. Ia akan menghentikan semua amanah yang selama ini diemban. Ia akan melepaskan semua harta dan kepunyaan yang ia pegang. Harta yang dipegang lho, bukan dimiliki. Karena sejatinya, memang harta, kedudukan dan penghormatan manusia itu bukan dimiliki, tapi hanya dititipkan sebentar, kita mungkin hanya memegang, menyentuh atau bahkan sekelebat melintas dalam alam jiwa manusia.
Bukankah hidup manusia itu seperti tukang parkir?. Berpuluh-puluh bahkan berates-ratus hilir mudik kendaraan melintasi lahan parkirnnya, namun dalam sekejap, sewaktu-waktu kendaraan itu akan dibawa pulang oleh pemiliknya sendiri. Dan, sang tukang parkir tak bersedih atas kembalinya kendaraan itu pada pemiliknya. Saat kendaraan itu datang, sang tukang parkir tersenyum bahagia, ia masih bisa menyaksikan deratan mobil-mobil indah. Dalam kondisi selanjutnya ia juga tetap bahagia jika mobil itu dibawa kembali karena ia merasa lega, mobil itu telah aman dalam penjagaannya selama dititipkan oleh sang pemilik.
Disetiap nikmat, pasti ada konsekuensi amanahnya. Menerima pemberian orang lain, berarti menerima konsekuensi untuk menjalankan amanah sang pemberi dan juga Sang Maha Pemberi. Semoga saya dikuatkan untuk selalu mempergunakan setiap apa yang diberikan olehNya selalu dalam kebaikan. Aamiin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H