Mohon tunggu...
Juppa Haloho
Juppa Haloho Mohon Tunggu... Penulis - Penafsir Dua Dunia

Memahami kekinian dengan perspektif keakanan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menjadi Manusia Sejati

29 Januari 2021   09:41 Diperbarui: 29 Januari 2021   09:45 1878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam tulisan "Menjadi Manusia Sejati" yang dimuat dalam Harian Kompas pada Selasa, 17 Januari 2017 silam, Herry Tjahjono mengingatkan bahwa ada dua elemen yang mengisi kehidupan manusia. Dia menulis, "Kehidupan itu secara sederhana terdiri atas isi dan bungkus, esensi dan sensasi, inti dan perifer, sejati dan konsekuensi logis. Kedua elemen ini melahirkan sebuah prinsip bahwa tugas kehidupan manusia sesungguhnya bagaimana menjadi isi, esensi, inti, dan sejati." 

Secara pribadi, tulisan tersebut saya tandai sebagai salah satu dari hal-hal yang mengubah hidup saya. Kala itu, saya sedang mempersiapkan studi lanjut dan sedang memikirkan apakah kuliah di Jakarta atau di kota tempat saya berdomisili. Sebagai seorang suami dan bapak dua orang anak, berangkat ke Jakarta bukanlah hal mudah. Bukan saja karena saya tidak mengenali kota tersebut melainkan juga saya harus mengorbankan segala keamanan dan kenyamanan yang ada di kota domisili saya. Sejenak saya ingin tetap di kota domisili dan menjalani proses belajar sambil bekerja. Pilihan ketiga juga tersedia yaitu saya sendiri berangkat ke Jakarta sementara istri dan anak-anak saya tinggal di kota ini.

Akan tetapi, apa yang ditulis Herry Tjahjono di atas menantang pemikiran saya. Kalimat-kalimat tersebut menolong saya mengambil keputusan atas studi lanjut. Ia melahirkan pertanyaan "Mengapa saya studi lanjut?" Inilah the controlling question selama masa-masa itu. Singkatnya, saya studi lanjut bukan saja karena saya sudah jenuh melainkan karena saya "tidak tajam" lagi dan merasa bekerja bak sebuah mesin.  Saya butuh penyegaran. Itu berarti saya harus meninggalkan rutinitas yang lama dan memasuki ritme kerja yang baru yaitu menjadi pelajar yang belajar.

"Menjadi Manusia Sejati" juga mengoreksi ide untuk meninggalkan keluarga di kota domisili sementara saya pergi sendiri ke Ibukota. Ide tersebut muncul karena saya tidak siap dengan turbulensi hidup ketika kami harus memulai hidup baru di Jakarta. Beasiswa hanya cukup untuk diri sendiri. "Apakah hidup kami akan baik-baik saja?" tanya saya dalam hati. Lagipula, saya menegaskan dalam hati, ada banyak orang yang melakukannya dan mereka baik-baik saja.  Frasa "baik-baik saja" menjadi the controlling condition.

Sementara saya berpikir untuk meninggalkan keluarga demi "baik-baik saja," tulisan Herry Tjahjono berbicara dengan kuat mengoreksinya. Keinginan "baik-baik saja" merupakan bungkus, sensasi, perifer, dan konsekuensi logis. Keinginan tersebut bukanlah isi, esensi, inti, dan kesejatian saya. Singkatnya, saya membawa keluarga ke Jakarta dan sama-sama siap menghadapi turbulensi hidup. Keluarga adalah yang utama, bukan keadaan "baik-baik saja" yang ditandai dengan kenyamanan dan keamanan secara ekonomi. Itulah kesejatian manusia kami.  

Singkatnya, di Jakarta kami mengalami kemurahan Tuhan. Istri saya bisa bekerja dan mendapat penghasilan. Kami mendapat seorang pengasuh anak yang baik dan merawat kedua anak kami dengan baik. Di tahun kedua pendidikan saya, kami diizinkan tinggal di dormitory yang besar, aman, dan nyaman. Saya bisa fokus studi tanpa dibebani rutinitas pekerjaan yang menjemukan. Istri dan anak-anak saya ikut dengan saya ketika menjalani magang. Kami berkeluarga dengan baik. Belajar dan berkeluarga kami jalani dengan penuh nikmat.

Hidup kita selalu berada di persimpangan jalan. Kita dituntut untuk mengambil keputusan atas berbagai pilihan teknis hidup kita. Ada hal-hal yang merupakan the controlling condition hidup kita yang membutuhkan keputusan kita. Namun, yang lebih utama ialah kita dituntut untuk mengambil keputusan atas pilihan-pilihan yang disebutkan Herry Tjahjono di atas yaitu antara isi dan bungkus, esensi dan sensasi, inti dan perifer, sejati dan konsekuensi logis. Selain itu, saya menambahkan satu yaitu antara being dan having. Oleh karena itu, kita harus memiliki the controlling question agar memilih dengan tepat. Benar yang dikatakan Herry Tjahjono, "Manusia harus terus menerus berjuang untuk menjadi 'manusia isi, manusia esensi, manusia inti, dan manusia sejati.'" Bukan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun