Dalam dinginnya udara di kota Sidikalang, saya mengendarai sepeda motor menuju rumah seorang teman. Perjalan pulang dari rumahnya,jam tangan saya menunjukkan pukul 21.53 WIB. Tepat disalah satu simpang segitiga - dikenal Simpang Salak - terjadi kecelakaan. Saya tidak tahu bagaimana kronologi kejadiannya namun saya melihat ada 2 sepeda motor dan 2 orang (saya yakini korban) tergeletak dijalanan.
Semua orang disekitar itu langung mendekati mereka demikian para petugas dinas perhubungan ditempat itu. Hanya saja, ada satu ksah yang membingungkan: semua orang hanya memandangi mereka dan tidak melakukan apa-apa selain beberapa orang meminggirkan sepeda motor dan kepingan helm.
Setelah memarkirkan sepeda motor, saya mendekati kerumunan orang itu. Lalu kami mengangkat kedua korban ke tepi supaya jalanan tidak terhalang. Satu korban masih sadar dan masih dapat berbicara. Sedangkan wajah korban lainnya berdarah tepat didaerah matanya.
Ntah kenapa, saya memundurkan diri dari tengah kerumunan. Tidak ada orang yang berani menyentuhnya. Tidak ada orang yang menghentikan mobil untuk membawa kerumah sakit yang hanya berjarak 1 Km (5') dari tempat kejadian. Yang ada hanyalah petugas dinas perhubungan yang sedang menelepon menyatakan bahwa terjadi kecelakaan - tidak tahu apakah menghubungi polisi atau RS.
Jantung saya berdegup kencang, saya merinding dan sedikt tremor. Mengapa saya mengalaminya? Apakah karena suhu yang dingin atau ada yang terjadi dalam diri saya? Bukankah saya tidak ada hubungan dengan para korban dan peristiwa kecelakaan lalu lintas itu?
Itulah jawabannya. Hubungan dengan korban. Saya teringat akan tanggung jawab saya. Dan saya sangat menyesalinya. Ketika saya mengentikan sepeda motor dan mendekati mereka, pada saat itu saya mengingatkan diri dengan para korban.
Namun, ada yang salah dan yang tidak tepat. Yaitu, ketika saya tidak melanjutkan pekerjaan dan hubungan yang sudah daya ikatkan. Dalam hal inilah saya menemukan diri bahwa saya masih belum sempurna mengasihi. Bukan karena saya tidak tahu bagaimana cara mengasihi tapi saya tidak siap menerima konsekuensi mengasihi.
Bagaimana tidak, saya mengetahui bagaimana mengasihi melalui dua hal: pertama, kebenaran Alkitab yang saya pelajari dan ajarkan; kedua, pelajaran victimologi pada saat kuliah dulu. Dalam mata kuliah ini, selalu penekanannya ialah sebelum melakukan tindakan hukum untuk membela korban peristiwa pidana, hal yang harus dilakukan ialah menyelamatkan korban. Inilah yang tidak saya lakukan dengan tuntas.
Kisah Injil dalam Lukas 10:25-37 tentang orang samaria yang baik hati menjelaskan bagaimana mengasihi dengan sempurna. Ketika ada seorang yang dirampok dan dipukuli sampai setengah mati ditengah jalan, golongan Imam dan Lewi yang melewati tidak melakukan apa-apa. Hal ini dilakukan karena mereka menjaga kesucian hidup mereka dihadapan Tuhan (jia bersentuhan dengan mayat, maka menjadi tidak tahir). Tetapi lain halnya dengan seorang samaria yang pada dasarnya dituduh sebagai golongan yang bukan Israel Sejati yang merupakan hasil perkawinan campur yang pasti tidak mengerti cara menghasihi sesama manusia. Namun, kondisi ini dipakai Yesus untuk menjelaskan cara mengasihi sesama manusia dengan sempurna.
Orang samaria ini tidak tahu apakah si Korban sudah mati/belum. Si korban tidak berdaya untuk membuka mata melihat siapa yang lewat, membuka mulut dan mengangkat tangan untuk memberi tanda kepada yang lewat bahwa dia membutuhkan pertolongan. Namanya saja setengah mati, antara sadar dan tidak. Namun, orang samaria itu mendekati si Korban, membersihkan lukanya dengan anggur, memulihkan lukanya dengan minyak, menaikkannya keatas keledai, dan membawanya ke penginapan, serta menitipkannya kepada penjaga penginapan untuk merawat si korban.
Adakah orang samaria mengenal si korban? Tidak! Adakah balasan yang diharapkan orang samaria? Tidak! Apakah yang dilakukan orang samaria ini berbahaya? Ya! Karena bisa saja perampok datang untuk merampoknya. Tapi, apakah itu menghalanginya menolong si korban? Tidak.