Mohon tunggu...
Jun Young
Jun Young Mohon Tunggu... -

Aku sadar menulis bukanlah perkara mudah. Butuh ketekunan, belajar keras serta latihan yang banyak. Tapi semua itu didasari pada satu tujuan, yaitu menciptakan sebuah karya. Bukan sekadar karya, namun hidup di dalam setiap makna dan memberikan semuanya ke dalam karya itu. Apapun akan terasa menyenangkan jika kita mencintai pekerjaan itu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

ButLer #4

5 Desember 2013   00:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 4

Jordan tidak tahu berapa lama dia berbaring, yang jelas ini sangat menyiksa. Badannya serasa remuk dan kepalanya sakit seperti mau pecah. Tidak ada hal baik yang bisa dilihat dari kondisinya sekarang. Jordan baru menyadari benda apa yang jadi alas tidurnya semalaman. Ini bukan tempat tidur Jordan, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan itu. Ini kasur terkaku sepanjang sejarah manusia tidur menggunakan kasur.Jordan mengutuk siapapun yang melakukan ini padanya. Karena benda ini dia mengalami mimpi terburuk semalaman.

Jordan beranjak turun dari kasur sialan_yang sudah membuatnya mengalami malam terburuk seumur hidup_ketika sesuatu menahan tangan kanan Jordan untuk bergerak turun. Selang IV menggantung disana, Jordan terperanjat. Kemudian dia melarikan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, bau menyengat dari ruangan ini membuat Jordan mual, seketika langsung tersadar apa yang sudah terjadi. Segalanya melintas begitu cepat, seperti menonton pacuan kuda secara beruntutan.

Shit! Shit! Shit! HELL SHIIIT!

Salah, ini bukan mimpi buruk. Ini adalah terburuk dari yang terburuk.

***

“Sial! Sial! Sial!” In-joo berlari-lari panik. Dia masih berusaha mengenakan sepatu boots teplek dengan terburu-buru. “Argh!!! Sialan! Kakek tidak memberitahuku sama sekali. Dasar!” In-joo selesai mengenakan sepatu. Syalnya turun-turun dari leher dan itu cukup mengganggu, dia menariknya kasar hingga terlepas dan segera berlari menuju pintu depan. Beberapa penghuni dojo sempat bingung dengan tingkah lakunya seperti orang gila.

Sepulangnya dari rumah Hye-ri_pagi-pagi sekali dia pergi ke rumah gadis itu untuk mengambil barang serta kopernya, sialnya Hye-ri bahkan tidak menampakkan batang hidungnya maka dia putuskan langsung pulang_, dia tidak menemukan pria itu sama sekali. Dia cari-cari di segala sudut rumah, tidak ada jejak keberadaan pria tersebut. Dia yang sedang kebingungan setengah mati bertanya pada semua orang di dojo, mereka hanya menggeleng tidak tahu apa-apa soal keberadaan pria itu selain terkapar di kamar In-joo. Akhirnya Mun-gyol ahjumma memberinya kabar bahwa pria itu sudah dibawa pergi orang asing.

Brengsek! Padahal pagi tadi dia sudah pesankan pada mereka untuk menjaganya dengan baik. Salahnya, dia melepaskan tanggung jawab begitu saja. Tunggu dulu, berbicara tanggung jawab dia juga punya masalah dengan hal itu. Ah, masa bodoh soal itu!

In-joo berlari menuju pintu depan dan hampir mencapai daun pintu kayu. Ketika...

BAGH ! BUGHH! PRAAK!

Tendangan melayang secara bertubi, mendarat tepat di pangkal paha dan betisnya. Seketika In-joo terjerembab di tanah. Serangan kilat muncul tanpa aba-aba dan In-joo tidak sempat menghindar.

“Kau mau lari kemana lagi anak bodoh?!”

In-joo masih berusaha menahan perih, menerjap kaget.

“Kau boleh kumaafkan untuk pertama kali, tapi jangan harap kau bisa lakukan yang kedua kali. Aku akan menghajarmu!”

Ancaman kakek benar-benar berhasil. In-joo terduduk kaku di atas tanah, bergidik ketakutan dan berusaha menghirup nafas dengan susah payah.

“Aku tidak lari, aku hanya...”

“HANYA APAA?!!” suara kakek tidak kalah menggelegar dari suara petir menyambar.

In-joo menangkap pelototan dari seluruh penghuni Dojo. Dari sana dia diperingatkan Mung-gyol ahjumma melalui kedipan mata, “Sudah. Lebih baik kau diam saja, kau bisa mati kalau melawan lagi.” Tapi dasar si kepala-batu In-joo, dia tetap coba berikan penjelasan.

“Aku hanya mau tahu kemana perginya pria tadi malam itu. Aku hanya khawatir. Tapi kakek malah mengizinkan orang asing membawanya, bagaimana kalau mereka adalah penguntit yang menyerang dia tadi malam?”

“Ehem...,” Kakek Shin menggeram menyadari kesalahannya tidak bertanya dengan jelas identitas mereka. Tapi dasar si kepala-batu Tuan Besar, Kakek Shin sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.

“Mereka mengenalnya! Aku tidak setolol itu memberikan izin pada sembarang orang! Aku tahu dengan jelas, mereka adalah teman pemuda itu. Maka aku izinkan mereka membawanya.”

In-joo tahu kalau itu benar. Kakek Shin sangat teliti dalam menilai seseorang. Dia tahu sebab Kakek selalu lakukan seleksi ketat terhadap semua calon murid yang ingin berlatih ditempat ini. Dia bisa menebak motivasi dan keinginan mereka untuk belajar di Dojo Shin hanya dalam sekali pertemuan. Dia bisa tahu mana calon murid yang punya keinginan kuat dan kemauan keras, atau hanya sekedar ikut-ikutan. In-joo kehabisan alasan, dia masih khawatir soal pria itu tapi dia sangat yakin dia tidak akan dizinkan melangkah keluar sejengkal pun dari Dojo sampai kemarahan Kakek Shin mereda. Sayangnya, hal itu sangat jarang terjadi.

“Huh, dasar nakal! Kau tidak boleh keluar barang selangkah pun dari sini. Kamu mengerti?!!” bentak Kakek. “Seharusnya aku mengurungmu di gudang! Kalau kau lakukan ini lagi, aku akan menghajarmu tanpa ampun!” ujarnya sambil lalu.

In-joo melengos pasrah.

***

“Auch! A.a..a..arghh! Sakit sakit sakit! Aduh perih sekali. Pelan-pelan ahjumma, aku juga bisa mati di tanganmu.” Mun-gyol mengoleskan salep panas di bagian tubuh In-joo yang memar. Wanita paruh baya itu hanya diam mendengar omelan In-joo. Dia memasang tampang tidak perduli meski gadis itu akan menjerit-jerit kesakitan akibat cara pengobatannya.

“Kau tidak akan mati, gadis kecil. Tenang saja.” jawabnya. Dan...

“A..a.a..ARGHHH !!!” dengan sengaja Mun-gyol menekan bagian yang membiru. Sontak In-joo meronta-ronta seperti cacing disiram garam, “Sudah sudah sudah! Hentikaaan! AMPUUUUN!!!”

Mun-gyol lalu berhenti.

Ahjumma?! Itu sakit sekali! Kau hampir membunuhku!”

“Benar! Aku mau membunuhmu, gadis tengik!”

In-joo menerjap, “Hah?!”

“Aku benar-benar ingin membunuhmu! Akan kupatahkan kakimu, sehingga kau tidak bisa berjalan lagi. Meski kau jadi hantu gentayangan sekalipun akan kuikat ekormu sehingga kau tidak bisa lari sesukamu. Seenaknya kau meninggalkan kami dan Kakek, akan kubuat kau menderita karena meninggalkan kami.” Mun-gyol kelihatan berkaca-kaca, “Aku tidak peduli alasanmu, kau tetap tidak boleh minggat, gadis tolol! Kau tidak tahu, seluruh Dojo jadi gila ketika tahu kau hilang. Kami kira kau benar-benar hilang_beruntung kau kembali dalam empat hari_. Terutama Kakek, kami khawatir setengah mati, kau tahu?! Kau tahu Kakek tidak pernah melupakan sup ginsengnya, selama kau pergi dia bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.”

Reaksi In-joo berubah, dia menatap kepada Mun-gyol penuh rasa bersalah. Bagaimanapun rasa kesalnya pada Kakek, dia tetap harus ingat Kakek tetaplah seorang kakek. Sejak ayah dan ibu meninggal lima belas tahun lalu, kakek satu-satunya keluarga bagi In-joo. In-joo tahu kalau dia sangat menyayangi pria itu. Tapi kenapa sangat sulit untuk menyatukan perbedaan mereka berdua. Kakek selalu menghadapkannya pada pilihan sulit. Mewarisi Dojo dan perusahaan sama sekali bukan keinginannya, In-joo hanya berharap dia bisa memiliki kehidupan yang normal dan mendapat pilihan seperti itu membuat hidup In-joo tercekik.

“Maafkan aku, ahjumma. Maaf, aku benar-benar tolol waktu itu. Aku sadar kalau yang kulakukan sangat tolol, makanya maafkan aku. Bila perlu aku akan sujud di depan kalian.”

“Betul! Kau harus bersujud dua ratus kali di kaki kami. Baru aku akan memaafkanmu. Aku pikir bersujud sebanyak itu pasti membuatmu tidak bisa melangkah baik sejengkal pun. Setelah itu aku akan memijatmu sampai mati, kau paham?!”

In-joo terkekeh, dia tahu Mun-gyol sudah memaafkannya. In-joo langsung memeluk Mun-gyol, dia tidak bergeser meski Mun-gyol merengek dan berusaha melepaskan tangannya, In-joo semakin mengeratkan pelukannya. Perempuan itu sudah seperti ibunya.

“Dasar bodoh!” Mun-gyol balas memeluk.

***

Jun baru selesai mengurus administrasi rumah sakit dan memutuskan kembali ke ruangan Jordan. Lima jam yang lalu, dia menemukan anak itu di sebuah kastil Joseon dalam kondisi mengerikan. Jun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun saat dia menyaksikan sendiri keadaan Jordan seperti itu seluruh perasaan frustasi menarik dirinya keluar. Tanpa pikir panjang, dia langsung melarikan Jordan ke rumah sakit meski dia mengerti yang dikatakan kakek tadi soal penolakan Jordan ke rumah sakit, dia tidak peduli. Dia tidak akan sanggup mengambil resiko terburuk dari kondisi anak itu.

Jun menemukan salah satu pintu kamar pasien VIP, dan menarik nafas dalam-dalam sebelum menarik pintu geser hingga terbuka setengah. Dia tersentak, pintu terbuka seluruhnya.

“Kurang AJAR...!!!”

Kasur itu kosong. Ruangan itu benar-benar kosong. Hanya pakaian pasien yang tertanggal di atas kasur. Firasat Jun mengatakan anak itu pasti berusaha kabur lagi. Waktu yang dia gunakan saat mengurus administrasi sesudah lebih dulu menjenguk kamar Jordan hanya berselang setengah jam, kemungkinan besar Jordan masih berlalu-lalang di rumah sakit. Berdasarkan hipotesa ini, Jun mengambil langkah menuju setiap saluran lift rumah sakit, dia tahu kebiasaan Jordan sangat tidak suka areal terbuka dan ramai.

Sepasang sudut mata Jun menemukan seseorang dengan postur sepadan, menggunakan topi tupluk, bertingkah-laku aneh, celingak-celingukan ke kanan-kiri. Jun memicingkan mata, kali ini dia yakin itu pasti dia.

Jordan berdiri di depan pintu lift dan berusaha memosisikan dirinya agar tidak terlihat, dia mengenakan topi tupluk yang tidak sengaja dia temukan untuk menutupi kepalanya dan kacamata hitam dengan frame super besar dan seluruh areal wajahnya diselimuti syal tebal. Orang-orang mungkin tidak ada yang menyangka bahwa orang yang berpenampilan aneh seperti eskimo itu adalah Jordan Park penyanyi tersohor se-antero Korea.

Jordan sedang menunggu antrean untuk masuk kedalam ruang lift, ketika seseorang berlari kearah mereka dan berteriak sangat lantang.

“HEI KAU, BERHENTI !!! JANGAN PERGI !!!”

Jordan tergagap, Jun yang sedang mengejarkannya. Jordan langsung menyeruak masuk ke dalam lift, “Maaf.. .maaf... permisi... permisi...” desaknya pada orang-orang yang ada didepan. Dengan panik dia menekan tombol lantai dasar dan mengumpat ketika pintu itu sama sekali belum memberikan reaksi. Jun semakin dekat dan terlihat ganas. Jordan menekan tombol close dengan kasar. Pintu menutup tepat satu meter didepan Jun.

“HEI TUNG....! Shit!!! Kurang ajar! Brengsek! Sialan! *&#$% !!!” Orang-orang memandanginya dengan aneh, Jun mengumpat-umpat kesetanan didepan pintu lift seolah itu adalah kesalahan benda itu.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun