Mohon tunggu...
June
June Mohon Tunggu... Freelancer - nggak banyak yang tahu, tapi ya nulis aja

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekuatan Label "Kisah Nyata" dalam Mengangkat Cerita

2 September 2019   09:25 Diperbarui: 2 September 2019   10:59 13287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Fahrinheit

Jagat maya di tanah air sedang panas membahas kisah KKN horor yang yang ceritanya dikenal sebagai KKN Desa Penari. Kabarnya ini merupakan kisah nyata, yang mengisahkan cerita KKN beberapa tahun yang lalu di Jawa Timur.

Saya rasa para pembaca sudah mengetahui plot cerita dari KKN Desa Penari tersebut. Karenanya saya tidak akan bertele-tele mengulang kembali kisah tersebut di artikel ini.

Kisah horor merupakan kisah yang sangat laris di Indonesia. Bukan tanpa dasar, bila melihat lagi kultur masyarakat Indonesia yang adatnya masih kuat dan dekat dengan praktik mistis bukan menjadi landasan untuk sangsi perihal larisnya konten horor di tanah air.

"Kisah nyata", menjadi magnet besar kisah tersebut semakin laris dikonsumsi publik. Beberapa kisah horor belakangan juga memakai label "kisah nyata", dan kisah tersebut viral, bahkan sampai dibuatkan versi film.

Bahasan saya tidak mengatakan bahwa mereka berbohong mengenai cerita-cerita tersebut. Tapi apakah kalian pernah mendengar istilah, "uang dititip akan berkurang, omongan dititip akan bertambah"?

Mirip dengan tradisi lisan, kelemahan penyampaian cerita adalah adanya perubahan struktur cerita. Bisa ada penambahan, pengurangan, hingga informasi palsu dan manipulatif. 

Terlebih kisah KKN Desa Penari bukanlah pengalaman langsung dari author akun twitter SimpleMan, melainkan kisah itu ia dengar dari orang lain, entah itu orang yang menjadi tokoh cerita secara langsung, atau bahkan orang lain yang mendengar kisah tersebut dari orang yang lain lagi. Berantai seperti itu.

Keaslian cerita (cerita memang seperti pada faktanya) tidak bisa dipastikan oleh mereka yang hanya mendengar kisah tersebut. Bahkan bila kita mendengar langsung dari tokoh utama cerita pun tidak bisa 100% kita percayai. 

Tokoh sentral cerita pun bisa saja dalam bercerita melakukan penambahan, pengurangan, hingga manipulatif dan informasi palsu. Anda pun mungkin pernah melakukan penambahan, pengurangan, manipulatif dan informasi palsu ketika berkisah, gosip, dan sebagainya. Anda pasti paham hal ini.

Para figur publik juga dihimbau untuk tidak secara sembarang mengangkat dan membahas suatu kisah dengan semaunya (yang penting viral, gue untung). 

Ajakan kepada publik untuk tetap skeptik mengonsumsi konten yang demikian perlu dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat kita yang konsumtif menjadi pemikir. Tidak secara mentah mencatat kisah tersebut seperti sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun