Ada banyak pekerjaan rumah (PR) dari dunia pendidikan yang kini menjadi tantangan mendesak bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Persoalan-persoalan ini telah mengendap terlalu lama dan belum terselesaikan dengan baik. Mulai dari kurikulum yang terus berubah tanpa arah yang jelas, penghapusan sistem perankingan yang menciptakan kebingungan, hingga masalah fundamental seperti kesejahteraan guru dan infrastruktur sekolah yang belum merata. Semua ini menjadi beban yang mendesak untuk segera diurai.
Dengan kementerian yang kini lebih terfokus pada pendidikan dasar dan menengah, harapannya adalah solusi yang diambil lebih konkret, menyasar inti masalah di sekolah. Namun, harapan ini harus disertai dengan komitmen dan tindakan nyata untuk mendorong perubahan yang signifikan.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari opini saya sebelumnya, "PR dari Sekolah untuk Prabowo Gibran," yang menyoroti permasalahan di dunia pendidikan dari sudut pandang guru, orang tua, dan siswa. Perspektif ini penting agar semua pihak dapat terlibat dalam proses pembenahan pendidikan.
Sebagai inti dari sistem pendidikan, perbaikan di sektor sekolah tidak hanya soal kurikulum atau kebijakan, tetapi juga bagaimana lingkungan belajar dapat mendukung tumbuh kembang siswa secara optimal.Â
Lingkungan belajar yang baik adalah fondasi bagi generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga siap menghadapi tantangan dunia nyata.
Masih banyak persoalan yang hadir di sekolah sebagai PR bersama di dunia pendidikan. Jika kita ingin melihat perubahan yang nyata, maka penting bagi semua pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam merumuskan solusi.Â
Semoga dengan adanya opini ini, diskusi pendidikan bisa lebih komprehensif dan solusi yang ditawarkan bisa benar-benar menuntaskan masalah dari akar-akarnya, bukan sekadar tambal sulam.Â
Hanya dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar berkualitas untuk masa depan bangsa.
Full Day School yang Melelahkan
Isu full day school sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Banyak pihak, terutama orang tua, merasa bahwa sistem ini telah merampas kesempatan anak-anak untuk berkembang di luar lingkungan sekolah.
Bayangkan, mereka berada di sekolah dari pukul 07.00 hingga 16.00, lima hari dalam seminggu. Tidak heran jika banyak orang tua mengeluhkan kondisi anak-anak yang pulang dalam keadaan lelah dan kehilangan waktu untuk melakukan aktivitas lain, seperti mengaji atau bermain.Â
Dengan rutinitas yang padat, anak-anak seakan terperangkap dalam siklus yang monoton, di mana keseimbangan antara pendidikan akademis dan pertumbuhan pribadi menjadi tidak terjaga.
Sebagai seseorang yang pernah mengalami masa sekolah dengan durasi yang lebih singkat, saya menyadari betapa pentingnya keseimbangan antara waktu belajar di sekolah dan kesempatan untuk beristirahat atau melakukan kegiatan di luar akademis.Â
Dulu, sepulang sekolah sekitar pukul 15.00, saya masih memiliki waktu untuk beristirahat, melaksanakan shalat Ashar, dan pergi ke TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) bersama teman-teman.
Namun kini, anak-anak pulang dalam kondisi letih, seringkali langsung tidur, dan baru bangun saat maghrib. Dampaknya, mereka kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan teman sebaya, dan lebih parahnya, mengasah nilai-nilai religiusitas di luar sekolah.Â
Proses pembelajaran tidak seharusnya hanya terjadi dalam ruang kelas, interaksi sosial dan kegiatan di luar sekolah juga penting untuk perkembangan karakter anak.
Ironisnya, meskipun anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, kualitas kompetensi yang mereka capai tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.Â
Bahkan, semakin banyak keluhan terkait masalah kesehatan mental, burnout, serta kurangnya pemahaman mendasar dalam pelajaran seperti perkalian dan matematika dasar di tingkat SMP dan SMA. Sistem full day yang seharusnya meningkatkan kualitas belajar justru memperlihatkan hasil yang bertolak belakang.
Jika saya boleh mengusulkan, mengapa tidak mengembalikan sistem pendidikan seperti dulu, dengan jam sekolah yang lebih pendek namun tetap efektif?Â
Ini akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang secara holistik, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Sistem full day saat ini membatasi anak-anak untuk belajar bersosialisasi, berempati, dan mengembangkan diri dalam berbagai aspek, termasuk dalam hal religiusitas dan pengembangan karakter.
 Pendidikan tidak hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter yang kuat dan siap menghadapi tantangan hidup.
Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mempertimbangkan ulang kebijakan full day school ini. Kualitas tumbuh kembang generasi sekarang akan sangat memengaruhi arah bangsa di masa depan.Â
Mengabaikan isu ini bisa berdampak besar pada pembentukan generasi yang kurang siap menghadapi tantangan global, baik secara akademis maupun sosial.
Hanya dengan memberikan ruang bagi anak-anak untuk berkembang secara menyeluruh, kita dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi pelajar yang baik, tetapi juga individu yang seimbang, empatik, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Pentingnya PKWU
Satu isu lain yang tak kalah penting dalam dunia pendidikan adalah keberadaan mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) yang mulai tergerus dari Kurikulum Merdeka, khususnya di kelas X.Â
Keputusan ini sangat disayangkan, terutama di tengah bonus demografi yang sedang dialami Indonesia. Dalam situasi serapan tenaga kerja yang semakin sulit, pendidikan tidak boleh sebatas membekali siswa dengan teori akademis.Â
Sebaliknya, pendidikan harus mampu menyiapkan mereka untuk hidup mandiri dengan keterampilan praktis, dan kewirausahaan adalah salah satu yang paling penting.
PKWU bukan sekadar mata pelajaran tambahan, ia merupakan komponen vital yang mengajarkan anak-anak tentang konsep dasar kewirausahaan.Â
Keterampilan ini menjadi semakin penting, terutama di dunia kerja yang kian kompetitif. Dengan bekal dari PKWU, siswa SMA tidak akan lulus dalam kondisi "kosong-kosong," tanpa keterampilan hidup yang memadai.Â
Mereka akan memiliki dasar yang cukup untuk mulai mengelola usaha kecil-kecilan atau sekadar memahami mekanisme pasar, bekal penting untuk bertahan hidup di tengah terbatasnya lapangan pekerjaan formal.
Kekhawatiran muncul ketika kita melihat perubahan kebijakan kurikulum yang menghilangkan mata pelajaran ini dari beberapa tingkatan pendidikan.Â
Saya khawatir pemerintahan baru mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang pentingnya PKWU. Pendidikan di masa kini tidak cukup hanya mengandalkan prestasi akademik semata.Â
Anak-anak harus siap menjadi individu yang mandiri secara finansial, mampu berpikir kreatif, dan berinovasi. PKWU mengajarkan keterampilan-keterampilan ini secara langsung.Â
Dengan adanya mata pelajaran ini, siswa dapat memahami bagaimana merancang produk, menganalisis pasar, hingga memulai usaha sederhana yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mempertimbangkan secara serius dampak dari menghilangkan PKWU dari kurikulum.Â
Mempertahankan dan bahkan mengembangkan PKWU bukan hanya soal mata pelajaran, ini adalah soal membekali generasi muda dengan keterampilan praktis yang sangat mereka butuhkan di dunia yang terus berubah ini.
Dengan mengintegrasikan PKWU ke dalam kurikulum, kita tidak hanya mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di dunia kerja, tetapi juga membangun karakter kewirausahaan yang kuat dalam diri mereka.Â
Keterampilan ini akan membekali mereka untuk menjadi inovator dan pemimpin masa depan, siap berkontribusi dalam menciptakan solusi bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Wasana Kata
Apa yang saya sampaikan mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tetapi saya berbicara dari pengalaman dan keprihatinan yang mendalam.Â
Sebagai guru, orang tua, dan anggota masyarakat, saya merasakan langsung dampak kebijakan full day school yang telah diterapkan.Â
Dalam praktiknya, anak-anak pulang dalam keadaan lelah, tidak memiliki energi yang cukup untuk menyerap materi dengan optimal.Â
Waktu belajar yang diperpanjang sering kali tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, yang justru menambah tekanan bagi siswa.
Kekhawatiran saya sebagai orang tua juga semakin menguat. Anak-anak saya hampir tidak memiliki waktu untuk beristirahat, dan dalam kondisi lelah, mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari berikutnya.Â
Rutinitas ini tidak hanya mengancam kesehatan fisik mereka tetapi juga kesehatan mental. Anak-anak tidak hanya kehilangan waktu bermain, tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan diri secara sosial dan emosional.
Masalah-masalah yang tampak kecil ini bisa menjadi bom waktu yang berbahaya jika kita terus mengabaikannya. Seperti kebakaran hutan yang sering kali dimulai dari api kecil yang dibiarkan membara, isu-isu seperti full day school dan penghilangan mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) bisa mengakibatkan dampak yang luas bagi masa depan pendidikan kita.Â
Jika kita ingin membentuk generasi yang tangguh, mandiri, dan siap menghadapi tantangan zaman, kita tidak boleh menunda-nunda penyelesaian masalah-masalah ini.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bersikap kritis dan proaktif. Kebijakan pendidikan harus mencerminkan kebutuhan dan kenyataan yang dihadapi oleh siswa dan orang tua.Â
Kita perlu mendorong dialog yang konstruktif dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik.Â
Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi sekadar rutinitas, tetapi juga menjadi fondasi yang kokoh bagi masa depan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H