Bagaimana kita bisa berharap generasi muda kita siap menghadapi tantangan global jika dasar pendidikan mereka dibangun di atas fondasi yang rapuh?
Begini salah, begitu pun salah. Guru seolah terjepit antara integritas dan persona sekolah. Memberikan nilai secara objektif dianggap terlalu tegas, sementara sekadar memberitahukan peringkat kelas tampak sebagai pelanggaran etika.
Guru saat ini hidup dalam dilema, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjaga penilaian yang orisinal dan akuntabel, atau berpihak pada seabrek persona yang perlu dipertahankan.
Jika dipikir-pikir, dunia pendidikan saat ini menyerupai sebuah pertunjukan dongeng, seolah tak perlu khawatir akan berakhir dengan cerita tragis, meskipun dipenuhi berbagai kepalsuan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Padahal, pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam pembangunan bangsa. Ironisnya, kita kini terjebak dalam mekanisme yang seolah memperjuangkan hak anak-anak, tetapi kenyataannya justru mengarah pada pembodohan terselubung. Dunia pendidikan benar-benar berada di ujung tanduk.
Nilai Kecil Itu Salah
Tak perlu khawatir mendapatkan nilai kecil di rapor, karena saat ini hampir tidak mungkin ada nilai merah atau nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)—istilah yang dulu digunakan pada Kurikulum 2013, namun masih sering terdengar dalam obrolan di ruang guru.
Zaman memang semakin aneh; di bawah era Kurikulum Merdeka, kenyataannya guru justru tidak merdeka. Mereka terbebani dengan tuntutan untuk memberikan angka penilaian yang tinggi di rapor.
Akan terasa sangat janggal jika ada guru yang berani memberikan nilai yang sesuai dengan kondisi nyata di rapor. Mohon maaf jika ini menyinggung, tetapi saya merasa perlu menyuarakan hal ini demi kebaikan Indonesia tercinta. Fakta di lapangan memang demikian.
Protes datang dari sesama rekan guru dengan alasan “kasihan anak” atau “sekolah lain nilai siswanya besar-besar,” bahkan “nanti kita kalah saat SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi yang menggunakan rapor).”