Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perundungan dan Kebungkaman: Alasan Mengapa Lembaga Pendidikan Harus Bersuara

15 Oktober 2023   13:02 Diperbarui: 19 Oktober 2023   09:46 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban perundungan. (Sumber gambar: KOMPAS.com dari HANDOUT)

Kita sering menyaksikan bagaimana lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, tampaknya memilih untuk berdiam diri ketika kasus perundungan muncul di antara siswa dan mahasiswa mereka. Apakah itu rasa malu atau takut yang membuat mereka terpaku dalam keheningan? 

Sorotan semakin tajam ketika kita melihat kisah perundungan di dalam lembaga pendidikan. Kasus yang baru-baru ini dilaporkan oleh sumber berita menggambarkan bagaimana individu yang menjadi korban perundungan di lembaga pendidikan dihadapkan pada dua pilihan: berdiam diri atau memberanikan diri untuk berbicara.

Lembaga pendidikan yang terlibat dalam kasus ini justru merespons dengan meminta individu yang menjadi korban untuk membuat surat pernyataan bersalah, mengklaim bahwa tindakan individu tersebut merusak citra lembaga. 

Pertemuan antara individu yang mengalami perundungan dan pelaku berujung pada sanksi dan pernyataan bersalah. Ironisnya, korban yang menjadi individu yang harus meminta maaf.

Mengapa lembaga-lembaga pendidikan sering memilih untuk bungkam ketika perundungan terjadi di antara siswa dan mahasiswa mereka? Apakah mereka benar-benar takut atau malu? Padahal, kasus perundungan di dalam lembaga-lembaga pendidikan seharusnya memicu respons yang tegas dan proaktif untuk melindungi para korban dan mencegah perundungan berulang.

Keheningan lembaga dalam menghadapi perundungan tidak hanya merusak rasa kemanusiaan para korban, tetapi juga menciptakan ketidakadilan. 

Kasus perundungan bukanlah sekadar fenomena sesaat; kita melihatnya terjadi berulang kali di berbagai tempat. Dalam beberapa kasus, korban justru menjadi sasaran tuduhan dan kesalahan, sementara pelaku perundungan tampaknya luput dari hukuman.

Kisah yang baru saja diungkapkan adalah cerminan terbaru dari masalah ini. Individu yang menjadi korban harus meminta maaf dan mengaku bersalah atas tindakannya yang membongkar perundungan yang dialaminya. 

Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita akan terus membiarkan perundungan terus berlangsung di balik kebungkaman? Bagaimana masa depan para korban perundungan jika masalah ini tetap terkubur dalam keheningan?

Mengapa dilarang bungkam?

Saat kita memandang perundungan di lembaga-lembaga pendidikan, kita tidak hanya berhadapan dengan kasus yang merusak kemanusiaan para korban, tetapi juga dengan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip yang mendasari Sustainable Development Goals (SDGs).

Kita harus memahami bahwa ketika lembaga dan institusi memilih untuk berdiam diri dalam menghadapi perundungan, mereka secara tidak langsung menyumbang pada ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kerusakan hak asasi manusia yang mendasari berbagai tujuan SDGs.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun