Jika menyimak dan mengingat kembali tentang kasus-kasus yang banyak menimpa buruh negeri ini, begitu banyak untuk diurai. Kasus-kasus itu hingga kini ada yang terselesaikan, mengambang, bahkan tidak ada penyelesaian sama sekali. Apalagi jika melihat kondisi buruh perempuan yang tenaganya dialihdayakan (kontrak-red). Perasaan was-was selalu menghantui mereka. Pertanyaan-pertanyaan ketidaktenangan dalam benak mereka selalu muncul. “Bagaimana besok, ke depannya nasib kami jika sewaktu-waktu pihak perusahaan memberhentikan secara tiba-tiba, entah itu habis masa kontrak, atau perusahaan tidak mau memakai tenaga kami lagi?”.
Buruh berburu ratusan ribu Foto: Dok. smeaker.com/
Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut membuat hidup mereka tidak tenang dan nyaman. Bekerja di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Tetapi, mereka melakukan itu demi keluarga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin lama semakin menghimpit. Membebani setiap pundak keluarga yang menginginkan kehidupan lebih layak dengan tingkat perbaikan ekonomi signifikan.
Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan, seperti UU Keselamatan di Tempat Kerja No. 33 Tahun 1947 dan UU Kerja No. 12 Tahun 1948, mengalami beragam deviasi di tingkat pelaksanaan. Politik buruh murah diterapkan rezim Orde Baru sebagai insentif yang ditawarkan bagi investor asing dalam mengeksekusi buruh dari pemenuhan hak-haknya. Bahkan, dari kemampuan menuntut hak-hak asasinya.
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini pada akhir 1997, menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah untuk berhadapan dengan modal asing. Keterpurukan akibat menumpuknya utang luar negeri, ditambah keterasingan rezim saat itu dari dukungan rakyat, segera saja menempatkan Indonesia di bawah kekuasaan rezim neo liberalisme dunia International Monetary Fund (IMF) beserta Bank Dunia.
Adanya pemberlakuan kebijakan flexible labour market sangat signifikan. Setelah pengesahan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing menjadi bentuk sistem kerja yang sah dan legal. Dampak yang dialami buruh semakin menyudutkan dan di bawah bayang-bayang ketidakpastian kerja (job insecurity) dan hak-hak buruh di tempat kerja (right in work) semakin banyak berkurang. Peraturan mengenai perburuhan yang diberlakukan sekarang memang memberikan privilege(hak istimewa) lebih jaminan hak di tempat kerja seperti upah minimum, jam kerja, jaminan sosial, kompensasi PHK,kepada buruh tetap dibanding saat mereka bekerja dengan sistem alihdaya (kontrak).
Meski pada UU Ketenagakerjaan ada batas waktu terhadap jenis dan lamanya sistem kerja kontrak, tekananmodal dan politik perburuhan tetap tidak memihak kepada buruh. Akibatnya, praktik-praktik sistem kerja kontrak menjadi sangat liar. Kita dapat mengatakan secara sederhana, kebijakan perburuhan di negara ini sebagai kebijakan yang “mudah merekrut, mudah pula mem-PHK”.
Jaminan hak-hak buruh yang digaungkan hanya mimpi belaka. Tidak adanya lapangan pekerjaan di dalam negeri, dengan sangat terpaksa membuat penduduk negeri ini mengambil jalan pintas menjadi BMI (Buruh Migran Indonesia) keluar negeri. Meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Mengingat banyak kejadian yang telah menimpa BMI sebelumnya. Walaupun kecenderungan bekerja sebagai BMI atau TKI sudah dimulai sejak tahun 1990-an, akan tetapi krisis ekonomi yang terus berkepanjangan tidak menyurutkan langkah penduduk negara ini menjadi BMI atau TKI. Bahkan, pernah Pemerintah negara ini melalui perpanjangan tangannya Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong rakyatnya untuk menjadi Tenaga Kerja Luar Negeri melalui iklan di televisi. Apa artinya? Itu menjadi bentuk ketidakmampuan pemerintah negeri ini dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Meski Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) sudah dikeluarkan, akan tetapi pemerintah negeri ini perlu sangat serius menata kebijakan dalam sektor tersebut. UU No. 39 Tahun 2004 itu pun sekarang perlu banyak revisi. Mengingat banyak kejanggalan yang ada di dalamnya. Jika dilihat secara detail, di UU itu ada satu kata “perempuan”, yaitu perempuan hamil dilarang bekerja keluar negeri. Tujuh puluh satu kata perlindungan, dan tiga ratus kata penempatan. Artinya, secara implisit terjadi eksploitasi tenaga kerja pada Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tersebut.
Beragam masalah yang menimpa TKI, mulai dari sistem perekrutan, pra penempatan, penempatan di negara tujuan, hingga pasca kepulangan, menjadi indikator nyata, bahwa masih ada banyak hal-hal yang tidak beres yang harus segera diselesaikan dan ditata kembali untuk sektor ini.
Konsepsi Hak Buruh
Ada dua cara dalam melindungi buruh atau pekerja ini, yaitu 1). Melalui undang-undang perburuhan. Dengan adanya undang-undang perburuhan ini, buruh akan terlindungi secara hukum, baik dari jaminan negara yang dapat memberikan pekerjaan yang baik dan layak, memberikan perlindungan di tempat dirinya bekerja (kesehatan, keselamatan, dan upah layak), hingga dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. 2). Melalui adanya serikat pekerja atau serikat buruh. Meskipun undang-undang perburuhan itu dikemas dalam bungkus yang sangat cantik, tetapi buruh tetap perlu keberadaan serikat pekerja atau serikat buruh untuk pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan pekerja atau buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat pekerja atau serikat buruh inilah mereka dapat bermusyawarah untuk mendapatkan hak-hak tambahan di luar ketentuan undang-undang untuk menaikkan kesejahteraan mereka.
Jika masing-masing pihak sudah memahami memahami makna yang terkandung dalam PKB tersebut, selanjutnya melaksanakan PKB secara konsekuen. Oleh karenanya tidak akan timbul masalah yang cukup berarti. Meskipun PKB sudah mengatur hak-hak dan kewajiban pengusaha juga pekerja melalui kesepakatan umum, tidak mustahil akan terjadi penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaannya. Jika terjadi hal-hal seperti itu, kedua belah pihak harus melihat kembali PKB yang telah disepakati dan dipakai sebagai pedoman sehingga segala perbedaan itu dapat diselesaikan secara musyawarah.
Negara-negara yang sudah maju telah membuktikan bahwa kedua alat tersebut telah mengurangi kesenjangan antara si kaya dan miskin, juga sekaligus mengurangi potensi kemarahan sosial. Akan tetapi, apa yang sesungguhnya terjadi di negara kita ini, perlindungan undang-undang dengan status usahanya berorientasi kepada keuntungan (profit). Pemerintah malah ikut-iktan mengambil dana deviden dari keuntungan Jamsostek. Oleh karenanya, uang pensiun yang diterima buruh tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan keluarga buruh atau buruhnya sendiri.
Berawal dari situ dapat kita lihat, hal itulah sebagai salah satu yang menyebabkan pensiunan buruh jatuh dalam lubang kemiskinan yang boleh dibilang tragis. Bahkan, saat bekerja pun hidup mereka sudah berada pada tingkat subsistem, setelah pensiun akan lebih tragis lagi. Semua ketidakadilan itu dapat diketahui oleh seluruh politisi dan pemerintah di negeri ini. Akan tetapi, tidak ada satu partai pun yang membuat hak inisiatif dalam mengubah undang-undang peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Bicara tentang hak buruh artinya kita bicara tentang hak asasi maupun yang bukan asasi. Hak asasi sebagai bentuk konsep moral dalam lingkungan masyarakat dan bernegara, bukan suatu konsep yang lahir seketika dan bersifat menyeluruh. Hak asasi lahir setahap demi setahap melalui periode tertentu dalam sejarah perkembangan masyarakat. Sementara, hak yang bukan asasi berupa hak buruh yang telah diatur dalam beragam peraturan perundang-undangan yang sifatnya non-asasi.
Indonesia secara tegas dan mengakui keberadaan hak asasi manusia seperti tertuang dalam UUD 1945. Negara melaksanakannya di dalam masyarakat. Hak buruh berupa hak dalam memeroleh pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan yang telah diakui keberadaannya dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional. Artinya, negara tidak diperkenankan mengeluarkan kebijakan, baik berupa undang-undang (legislative policy) maupun peraturan pelaksanaan yang dimaksudkan sebagai upaya dalam mengurangi substansi dari hak konstitusional. Bahkan, di dalam negara dengan hukum yang lebih modern (negara kesejahteraan) negara berkewajiban menjamin pelaksanaan hak konstitusional. Begitu pula hak-hak yang bukan asasi, mengalami proses sesuai kepentingan dan perkembangan masyarakat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perlindungan Negara Kepada TKI
Pemerintah pernah mengadakan rapat koordinasi nasional mengenai Perlindungan TKI pada 13 Juli 2006, melibatkan elemen PPTKIS/PJTKI yang selama ini ditengarai sebagai salah satu sumber masalah yang sering menerpa buruh migran. Rakornas itu menghasilkan reformasi terhadap penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri dengan membentuk BNP2TKI dan memangkas birokrasi penempatan. Akan tetapi, BNP2TKI bukan jawaban tepat selama korupsi di negeri ini masih beredar. Depnakertrasn pun menolak meratifikasi konvensi internasional terhadap perlindungan buruh migran dan keluarganya.
Cara-cara pemerintah menempatkan buruh migran pun penuh korupsi. Menurut laporan BPK pada 5 Juli 2006 mengenai pengelolaan dana pembinaan dan penyelenggaraan penempatan TKI ke luar negeri pada 2004 dan 2005, ada sejumlah indikasi korupsi. Seperti penatausahaan berkas penyelenggaraan penempatan TKI belum sesuai rencana, ada perbedaan data TKI antara Dirjen PPTKILN dengan BNP2TKI dan Disnaker, dan TKI yang tidak diikutkan dalam asuransi. Dirjen PPTKILN juga tidak teliti dalam melakukan tugasnya dalam menerbitkan SIUP PJTKI karena 19 PJTKI tidak memenuhi syarat, modal yang disetorkan kurang dari 750 juta rupiah dan 11 PJTKI tidak menyerahkan jaminan sebesar 250 juta rupiah. Temuan BPK lainnya menyebutkan 17.432 TKI yang berada di Arab Saudi tidak mendapat perlindungan asuransi. Mereka juga dibebankan biaya tambahan pembuatan paspor, pemeriksaan kesehatan, dan administrasi. Terdapat pungli terhadap 58.110 TKI yang besarnya 25 ribu rupiah dengan total nilai mencapai 1,4 miliar rupiah.
Kualitas terhadap perlindungan buruh migran Indonesia makin merosot. Buktinya, jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal semakin meningkat. Sistem perlindungan yang ada tidak memiliki kekuatan hukum dan lebih buruk dari ketentuan sebelumnya. Indikasi nyata adalah peraturan tersebut melegalkan sistem penempatan buruh migran Indonesia dengan biaya cukup tinggi. Biaya perekrutan, pembinaan, dan penempatan yang semula tidak dibebankan kepada buruh, kini dibebankan kepada mereka.
Seharusnya, perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap langkah, mulai dari proses perekrutan, selama bekerja, dan ketika pulang ke Indonesia. Dengan kepemilikan dokumen yang benar dan resmi diharapkan TKI terhindar dari risiko yang mungkin timbul selama mereka bekerja di luar negeri. Sisi lain yang diperlukan dalam perlindunganTKI di luar negeri berupa kepastian pekerjaan untuk mereka melalui job order yang disampaikan pengguna TKI secara langsung (calling visa) atau melalui PJTKI. Dalam hal ini dituntut tanggung jawab PJTKI/PPTKIS atau mitra kerjanya di luar negeri dalam pengurusan dokumen untuk tenaga kerja yang ditempatkan.
Dalam hal ini, pemerintah jangan seperti “pemadam kebakaran”, begitu TKI terkena masalah berat, baru sibuk terjun langsung ke lapangan. Alhasil, kasus-kasus yang harusnya terselesaikan dengan cepat, menjadi terbengkalai lama. Semoga, pemerintah negeri ini semakin terbuka lebar mata dan kepalanya untuk lebih konsen menangani buruh-buruh negara ini yang notabenenya menjadi penyumbang terbesar devisa negara.(JJW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H