Setiap anak yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci. Karenanya, orang tua dan lingkungan tempat tinggalnyalah yang akan membentuk watak atau karakater anak.
Anak menjadi topik hangat yang tak akan habis diperbincangkan dan menjadi isu penting dalam negara, masyarakat, dan keluarga. Jika kita melihat kasus yang menimpa salah satu anak di Langkat, Sumatera Utara bernama Raju,Dapat dijadikan pembelajaran berharga.
Apakah layak anak di usia 8 tahun yang masih perlu bimbingan orang tua, dalam masa pertumbuhan dan terus berkembang, hidup di balik hotel prodeo dan dihadapkan pada pengadilan? Raju bukan satu-satunya kasus yang mencuat di negara ini. Ada lebih dari 4.000-an anak Indonesia yang dimajukan ke meja hijau atas dasar tuduhan kejahatan ringan seperti pencurian, menurut laporan yang dibuat Steven Allen 2003.
Mereka, secara umum tidak mendapat dukungan dari Dinas Sosial dan pengacara. Tak heranlah apabila dari sekian banyak anak-anak tersebut dijebloskan ke dalam penjara. Melihat masalah paling besar anak-anak yang dihadapkan pada perkara hukum karena Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan, baik dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-undang tersebut tidak memberikan jawaban tepat terhadap penanganan anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak Berkonflik dengan Hukum dan Pemenjaraan
Anak yang punya masalah terhadap hukum diarahkan dan diselesaikan ke pengadilan, akibatnya anak mendapat tekanan mental, psikologis, yang akan mengganggu tumbuh kembang si anak.
Betapa penting peran dan kedudukan anak untuk bangsa ini. Karena itu, kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi dari ketentuan pasal 28B UUD 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak.
Prinsip perlindungan hukum kepada anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Right of the Child) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang pengesahan Convention on the Right of the Child.Jika menelaah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang bermasalah atau berhadapan dengan hukum agar anak-anak dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dan memberi mereka kesempatan untuk dibina menjadi manusia yang punya jati diri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anak menjadi objek dan diperlakukan cenderung dirugikan.
Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “Rumah Penjara” secara perlahan-lahan dianggap dan dipandang sebagai sistem dan sarana yang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkeinginan untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Kepedulian terhadap persoalan anak mulai ada sejak 1920-an setelah Perang Dunia I. Dalam perang itu, pihak yang paling menderita adalah anak dan kaum perempuan. Setelah perang, anak-anak dan perempuan mendapati kenyataan pahit, suami, ayah mereka terluka bahkan meninggal dunia. Perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim-piatu. Oleh karenanya, anak-anak kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan, contoh, dan imam keluarga sekaligus sosok yang mampu melindungi keluarga dari segala bentuk bahaya.
Beragam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasil dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.
Salah seorang perempuan aktivis Eglantyne Jebb mengembangkan butir-butir tentang hak anak pada 1923 yang diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union. Isinya antara lain:
1.Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan, dan kepercayaan.
2.Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.
3.Anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral, dan spiritual.
4.Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar diurus/diberi pemahaman.
5.Anaklah yang pertama-tama mendapat bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.
6.Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat. (JJW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H