"Kalah jadi abu, menang jadi arang." Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk orang yang ribut tak berkesudahan, tetapi tak mendapatkan hasil apa-apa. Ya, yang diributkan pun tenang-tenang saja, melenggang jalan ke mana kaki melangkah. Terus, hasil dari ribut-ribut apa? Berantem.
Berantemnya pun tak hanya berantem di media sosial, tapi merambah ke ranah pribadi. Lanjut berujung ghibah di antara sesama. Flashback sebentar, di era orba (saya cukil sedikit saja), partai hanya tiga, bisa adem ayem. Media sosial pun tak ada. Dulu, boro-boro pake media sosial, bertingkah macam-macam saja sudah "hilang".
Perkembangan teknologi sepertinya tidak dibarengi dengan mentalitas pengguna. Buta mata karena amarah sesaat. Tak lagi bisa membedakan, mana yang baik mana yang benar. Filtrasi seakan tak berperan. Bocor di mana-mana.
Amarah tak dikendalikan, emosi meledak-ledak yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Hal-hal seperti inilah yang sesungguhnya dihindari untuk menyambut pesta demokrasi bangsa ini yang sebentar lagi akan digelar. Memperhatikan banyaknya hujatan, ujaran yang mengarah pada kebencian, radikal, dan diperparah lagi intoleran terhadap keadaan.
Dinamika radikalisme, intoleran, dan ujaran kebencian di negara kita ini selalu saja berubah dalam bentuk yang dinamis sebagai modus, propaganda, rekruitmen, juga jaringannya. Kebencian, radikal, intoleran, seakan tidak pernah mati. Hal apa yang paling berbahaya dari hal itu tak sekadar panggung aksi caci maki yang bisa diperagakan, tetapi masuk lebih jauh ke dalam militansi pribadi kepada pribadi yang mengubah cara pandangnya dan pola pikir dirinya.
Generasi mudalah yang paling rentan dengan ini semua. Sudah jadi rahasia umum, mayoritas pelaku radikal di negara ini adalah generasi muda, mereka yang berusia 20-35 tahun. Generasi muda negara ini menjadi incaran dan target penyebaran kelompok radikal dan intoleran.
Ada banyak alasan memang untuk memberikan penjelasan terhadap generasi muda yang goyah dan mudah terpengaruh ajakan dan propagada radikal intoleran. Salah satuya faktor psiko sosial di area generasi muda yang sangat penuh semangat juga idealisme tinggi. Sementara, pengetahuan mereka cetek terhadap bentuk dan perkembangan radikal intoleran.
Oleh karenanya, radikalisme, intoleran, dan terorisme memang mesti kita hadapi. Jangan pernah ada kata kompromi untuk hal ini. Negara dan penyelenggara negara mesti mengawasi ketat tanpa terkecuali. "Peran agama sebenarnyalah membuat orang sadar mengenai fakta dari umat manusia dan alam sekitar", menukil apa yang diucapkan Gus Dur.
Benar adanya, agama menjadi benteng pertahanan untuk tak mengumbar kebinasaan yang bakal terjadi. Sejumlah riset pun pernah menyebutkan bahwa,banyak dari kelompok radikalisme-terorisme jarang bahkan tidak pernah sama sekali bicara atau dialog dengan pihak yang berbeda dengan keyakinannya, apalagi yang sifatnya intensif.
Padahal, siapapun dan apapaun tindakan yang pernah dilakukan sebelumnya, sadar atau tidak sadar, mereka tetaplah manusia. Sebagai makhluk sosial, oleh karena itu perlu yang namanya komunikasi di alam bawah sadar setiap manusia ada terbersit keinginan untuk dapat bicara secara bijak kepada lain pihak.
Hal inilah yang sering kali terlewat dari jangkauan orang banyak. Di saat banyak orang menyalahkan orang lain, justru PEPNEWS merangkul secara bijak orang-orang yang berbeda pandangan (dalam hal ini penulis) untuk berdialog lewat kata-kata damai dan bertukar pendapat. PEPNEWS mengubah pemikiran sarat kekerasan, radikal, intoleran, dan teror, maupun pengkhianatan kepada negara dalam tulisan damai menenteramkan, menetralisir situasi dan kondisi lebih kondusif lewat pesan damai penulisnya. Semoga PEPNEWS mampu mengubah orang-orang yang berkhianat dan pengkhianatan menjadi kesetiaan lewat tulisan.