Jero Wacik begitu bangga mengenakan jaket kampus berwarna biru itu. Ada nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya untuk membangkitkan semangat pemuda-pemudi Kintamani untuk melihat dunia jauh ke depan dengan menempuh pendidikan tinggi. Semangat itu yang dikobarkan Jero Wacik hingga kini, belajar dan terus belajar.
Tetumbuhan di kaki Gunung Batur me-mentik (red-tumbuh-Bali). Menghias seluruh permukaan kaldera. Wewangian bunga merekah aneka warna menyaput alam Kintamani. Selang beberapa lama, hijaunya daun dan wanginya bunga mulai menguning dan menua, layu dan gugur ke bumi.
Begitu pula dengan kehidupan orang tua Jero Wacik. Saat-saat Wacik berkuliah dan ingin memberikan tanda mata kepada orang tua tercinta--I Nyoman Sudiri--sang Ibu dipanggil oleh Sang Hyang Widi Wasa untuk selamanya. Tak sampai di situ, setahun setelah kepergian ibundanya, ayahnya pun—I Nyoman Bakat, biasa dipanggil Guru Nyoman Shanti—dipanggil ke ribaan zat yang memberi hidup dan kematian. Tetapi, Wacik tetap gigih berjuang hingga menyelesaikan sarjananya.
Menurut Mardjana, Kintamani ini subur, bisa menghidupi seluruh warga desanya. Jadi, untuk apa pergi jauh-jauh dari Kintamani. Alam sudah memberikan segalanya. Orang-orang tua di Kintamani melarang anak-anaknya pergi merantau. Tetapi lain dengan Jero Wacik. Wacik yang pintar berhasil menepiskan hal itu. Dia punya prinsip yang dipegang teguh sampai kapanpun.
Melihat kehidupan masa kecil Jero Wacik yang tak terbilang senang, membuat dirinya menjadi pribadi kuat, tangguh, dan pekerja keras. Sedari SD, dia sudah pandai berdagang, berjualan es dan mengajar teman-temannya di kelas. Tanpa ada rasa malu atau merendahkan dengan lainnya.
Menguak lebih jauh, kenapa Jero Wacik--orang Kintamani-- pintar dan cerdas? Ada hal tersembunyi yang dicuatkan oleh Mardjana tentang hal ini. Orang-orang Kintamani sebagainya layaknya penduduk desa, memanfaatkan apa yang ada di alam. Biasanya mereka suka mengonsumsi jangkrik, laron, juga simper berwarna hijau yang digoreng. Jero Wacik dan sahabat-sahabat kecilnya juga suka ke hutan, bertualang. Biasanya mereka mencari terong Belanda dan jambu biji untuk dikonsumsi.
Alam Kintamani memberikan dan menyediakan bahan pangan sangat banyak untuk kehidupan Jero Wacik, sahabat, dan penduduk desanya.
Bagaimana Jero Wacik Jadi Pemangku atau Pandita?
Bali, salah satu provinsi di negeri ini (baca = Indonesia) yang telah menjejakkan tapak di jagat raya mengitari mancanegara. Di sinilah Jero Wacik mengarungi hidup, dari sebuah desa di Batur, Bangli-Bali.
Sesiapa jika pemberi kehidupan dan kematian sudah bertindak, kita tak dapat berbuat apa-apa. Begitulah hal yang sama terjadi dengannya. Wacik beroleh anugrah dari Sang Hyang Widi Wasa untuk dititahkan menjadi Pemangku. Tak sembarang orang dapat memenuhi hal ini. Artinya, beliau menjadi orang terpilih dan diberi petunjuk olehNya.
Dia diamanatkan menjadi pemangku saat masih sangat belia, sekitar usia 6 tahun. Nama beliau pun sebenarnya sangat singkat, “Wacik”. Akan tetapi, setelah ditetapkan sebagai pemangku, nama tersebut ditambahkan kata “Jero”.