Sekolah sebagai mobilitas sosial, dikiranya jika melonjak jumlah taraf pendidikan tinggi kemungkinan mobilitas untuk anak-anak yang berada di kondisi rendah dan menengah. Faktanya ini bisa saja salah jika pendidikan itu hanya sebatas pendidikan jenjang menengah. Maka dari itu, apabila kewajiban belajar didorong hingga SMTA masih menjadi pertanyaan apakah mobilitas sosial dengan sendirinya akan terjadi peningkatan?
Besar kemungkinan tidak akan ada lagi perluasan mobilitas sosial. Persis yang dikatakan pada ijazah SMA tidak ada lagi yang memberikan mobilitas yang lebih tinggi untuk individu tetapi pendidikan yang tinggi masih bisa memberikan mobilitas tersebut apabila dengan meningkatnya tamatan perguruan tinggi semakin sedikit jaminan ijazah bagi peningkatan pada status sosial.
Pendidikan tinggi masih sangat selektif. Bahkan tidak seluruh orang tua bisa membiayai pendidikan anaknya di jenjang perguruan tinggi. Dengan memakai computer dalam menilai tes seleksi masuk menjadi obyektif. Artinya bukan lagi dipengaruhi posisi orang tua maupun orang yang merekomendasikan anaknya. Tips ini membuka peluang yang lebar untuk anak-anak yang keberadaannya rendah dan menengah jika akan masuk le perguruan tinggi jika dilihat dari prestasinya pada tes seleksi tersebut. Anggaran yang tidak sedikit itu merupakan hambatan yang dialami bagi golongan yang rendah apabila ingin menyekolahkan anaknya di jenjang perguruan tinggi. Siswa-siswa dari pemerintah dan kesempatan untuk mengadakan pinjaman dari bank untuk studi dapat memperluas kesempatan belajar bagi mereka yang berbakat akan tetapi ekonomi lemah (Danandjaja: 58).
Pendidikan menurut perbedaan sosial, kebanyakan di negara yang demokrasi ini manusia sulit menerima adanya golongan-golongan sosial di dalam masyarakat. Jika menurut undang-undang seluruh warga negara itu sama. Sama dalam menerima hak dan kewajibannya, sama perlakuan di hadapan undang-undang. Â Pada kenyataannya tidak bisa dihindari adanya perbedaan sosial itu bisa dilihat pada etika rakyat yang biasa saja terhadap pembesar, orang golongan rendah kepada orang golongan tinggi, aisten rumah tangga kepada majikan, dan karywan kepada bosnya. Perbedaanya itu sangat nyata dalam masyarakat yang dikaitkan dengan simbol-simbol, misalnya symbol kendaraan, symbol rumah, perabotan lukis dan lain sebagainya. Senang atau tidak senang perbedaan sosial terjadi dimana saja, sepanjang hayat meskipun perbedaan sosial tidak mendasar.
Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan dalam membekali setiap individu masing-masing supaya lebih sukses pada kehidupan guna meraih tingakat yang lebih tinggi lagi. Akan tetapi lembaga sekolah itu sendiri tidak bisa menghapus batasan-batasan tingkat sosial tersebut. Maka dari itu banyak daya-daya di luaran sekolah yang memelihara atau mempertajamnya.
Pendidikan yang merupan bagian dari sistem sosial, namun demikian hanya muncul pertanyaan apakah sekolah harus mempertimbangkan adanya perbedaan di dalam kurikulumnya. Maksudnya memberikan pendidikan untup tiap golongan soial yang tepat dalam memenuhi kelengkapan golongan masing-masing yang tujuannya untuk bisa hidup bahagia menurut selera golongan-golongan yang diikuti. Berhubungan dengan itu juga direkrut guru-guru yang dipili yang tepat dengan golongan sosial siswa yang terkait. Peraturan ini didasarkan atas pendapat jika lembaga sekolah itu tidak bisa mengubah struktur sosial dan kondisi ini bisa menerimanya pada kenyataan dan memposisikan diri dengan kenyataan yang ada tepat dengan kurikulum yang sebenarnya.
Tentu akan muncul keberatan terhadap pendirian yang demikian akibat diduga bertentangan dengan prinsio demokrasi akibat membuat diskriminasi pada pendidikan. Cara ini bisa mempererat penggolongan sosial dan menghambat mobilitas sosial yang diinginkan oleh pendidikan. Harapan tersebut sulit diwujudkan karena banyak daya-daya lain yang berada diluran sekolah yang memunculkan stratifikasi sosial yang kuat jika dibandingkan dengan pendidikan paranormal.
Referensi
Danandjaja. Class and Class Conflict Industrial Society. London: Hendli, 2000.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Durkhen. The Invations of Labor in Society. New York : The Fre Pres. T.tp.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H